Turis dan pengungsi sama-sama pelaku mobilitas. Namun yang satu disambut dengan sukacita oleh petugas imigrasi di bandara, pelabuhan, atau pos perbatasan darat, sementara yang lain disambut dengan interogasi dan ancaman deportasi.
Ketika mudik dilarang di musim pandemi ini, kita bisa memahami logikanya dengan mudah. Sejak awal pandemi, mobilitas manusia adalah salah satu hal yang pertama kali dibatasi—bahkan dilarang di banyak tempat. Yang mungkin sulit dipahami banyak orang adalah mengapa mudik dilarang tetapi wisata boleh jalan terus.
Saya jadi teringat sebuah kuliah Leisure, Tourism & Globalization beberapa tahun lalu. Sang dosen saat itu membahas soal mobilitas. Ia meletakkan pariwisata dalam kerangka pikir mobilitas. Wisata hanyalah salah satu bentuk mobilitas, kira-kira begitu katanya. Dan kita tahu bahwa bentuk/jenis mobilitas tak cuma satu.
Kenapa turis-turis dengan bebasnya masuk ke sebuah kota (bahkan hingga memberi kita konsep overtourism), sementara pengungsi-pengungsi kesulitan memasuki batas antarnegara?
Hari-hari itu di Eropa Barat, isu pengungsi sedang ramai dibicarakan di televisi, koran, dan obrolan di kantin kampus. Di sisi lain, overtourism—terlalu banyaknya turis di suatu kota—juga tema yang jamak dibahas di media massa dan kelas-kelas.
Sang dosen melanjutkan bahwa sering kali ada ketidakadilan kita dalam memandang berbagai bentuk mobilitas. Kenapa turis-turis dengan bebasnya masuk ke sebuah kota (bahkan hingga memberi kita konsep overtourism), sementara pengungsi-pengungsi kesulitan memasuki batas antarnegara?
Turis dan pengungsi sama-sama pelaku mobilitas. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan bermacam-macam metode—pesawat, mobil, kereta, bus, truk, kapal, jalan kaki, sepeda, dan lain-lain. Bedanya: yang satu disambut dengan sukacita oleh petugas imigrasi di bandara, pelabuhan, atau pos perbatasan darat; yang lain disambut dengan interogasi dan ancaman deportasi.
Wisata = uang
Yang membedakan turis dan pengungsi adalah uang. Turis membawa segepok uang ke sebuah kota, memberi kita retorika ‘kontribusi ekonomi’ dan ‘pertumbuhan ekonomi’. Pengungsi, di sisi lain, lebih sering dibingkai sebagai ‘krisis’—bahkan oleh PBB. Ia adalah semacam ‘persoalan’ dan ‘masalah’ yang harus diselesaikan, entah dengan metode ‘integrasi’ atau deportasi.
Selain itu, mengurusi pengungsi bisa juga dianggap akan membuat boncos anggaran pemerintah negara/kota. Sangat berkebalikan dengan gerombolan wisatawan yang datang dengan dolar yang siap memberi trickle-down effect bagi masyarakat. Entah masyarakat yang mana yang dimaksud.
Persoalan mudik dan wisata hari-hari ini mungkin bisa dipahami dalam konteks yang serupa. Tak bisa dipungkiri, pariwisata—di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir—adalah salah satu panglima paling depan bagi ekonomi negara dan daerah. Ia adalah penyumbang devisa negara dan PAD. Ia menggerakkan roda-roda kapitalisme waktu luang masyarakat yang haus oleh hiburan, liburan, makan-makan.
Sangat berkebalikan dengan gerombolan wisatawan yang datang dengan dolar yang siap memberi trickle-down effect bagi masyarakat. Entah masyarakat yang mana yang dimaksud.
Jika wisata dilarang, seperti di awal pandemi, roda ekonomi akan seret. Sementara ekonomi harus terus berjalan—dengan atau tanpa pandemi. Pariwisata akan menghidupkan denyut-denyut perekonomian masyarakat yang lesu. Ia, yang dulu dianggap bukan jenis perjalanan esensial, tak boleh disetop lagi. Titik.
Dengan sudut pandang demikian, melarang pariwisata adalah ketidakmungkinan ‘politis’. Bagaimana mungkin kita mengatakan tidak untuk ‘dampak ekonomi’ yang siap dihasilkan pariwisata dengan segenap industri turunannya?
Ketidakadilan mobilitas?
Mudik, di sisi lain, sebenarnya tak bisa dibilang tak berkontribusi bagi perputaran ekonomi. Di Indonesia, mudik bukan hanya peristiwa kultural dan sosio-religius yang sakral, tapi juga penting bagi ekonomi daerah. Sejak dulu, mudik menghubungkan (kota-kota) pusat pekerjaan dan pendidikan dengan desa-desa atau kota-kota lain, seraya mengalirkan uang dalam prosesnya.
Narasi ‘wisata boleh, mudik jangan’ ini memberi studi kasus yang menarik bagi telaah-telaah tentang ke(tidak)adilan mobilitas (Montegary & White, 2016; Sheller, 2018). Sebelumnya, kajian ketidakadilan mobilitas lebih sering membahas kasus-kasus terkait migran, pengungsi, (dis)abilitas, ras, gender, dan ekslusi terhadap akses transportasi, ruang publik, atau kewarganegaraan.
Sebelumnya, kajian ketidakadilan mobilitas lebih sering membahas kasus-kasus terkait migran, pengungsi, (dis)abilitas, ras, gender, dan ekslusi terhadap akses transportasi, ruang publik, atau kewarganegaraan.
Pembolehan wisata (meski hanya skala lokal) dan pelarangan mudik (meski hanya skala lokal) mungkin memerlukan pisau analisis lain. Mengapa wisata dianggap menggerakkan ekonomi, tapi mudik dianggap akan membawa penyakit ke kampung halaman? Bukankah mudik juga menggerakkan roda ekonomi di daerah? Bukankah aktivitas wisata juga bisa membentuk klaster baru penyebaran corona? Kenapa keduanya tidak diperlakukan secara adil? Ada apa gerangan?
Seperti disebut di awal, tak sulit bagi saya untuk memahami kenapa mudik dilarang. Di sana ada potensi peningkatan kasus corona. Yang saya sulit pahami adalah kenapa—di saat bersamaan—wisata diperbolehkan. Kenapa tidak dua-duanya dilarang, toh keduanya juga mengandung risiko penyebaran virus?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang membuat kepala saya pening. Mungkin perlu wisata sedikit, ya, supaya relaks?
Referensi
Sheller, M. (2018). Mobility justice: The politics of movement in an age of extremes. Verso Books.
Montegary, L., & White, M. A. (Eds.). (2016). Mobile desires: The politics and erotics of mobility justice. Springer.