Nihilnya kepastian mengenai akhir pandemi, bahkan apakah kondisi serupa akan terulang di kemudian hari, membuat paradigma orang-orang yang berkecimpung di sektor pariwisata rasanya perlu diubah.
Pariwisata terbukti tidak memiliki posisi yang kuat di masa pandemi COVID-19. Sektor yang menjadi bagian dari kebutuhan tersier ini—atau sebaik-baiknya kebutuhan sekunder bagi sebagian orang—kalah esensial dibandingkan sektor pangan dan kesehatan. Dia kini hanya menjadi nomor dua, tiga, bahkan empat. Padahal, para pelakunya pun membutuhkan pendapatan untuk memenuhi dua sektor tersebut: membeli bahan pangan dan mengakses layanan kesehatan.
Pengalaman hidup di tengah pandemi tentu memberikan ruang berpikir bagi mereka yang selama ini hidupnya bergantung penuh pada pariwisata. Pasalnya, ketergantungan itu memberikan hempasan kencang saat pariwisata mati suri. Hal ini juga menjadi ‘duri dalam daging’ bagi pemerintah, terutama mereka yang berwenang di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Pengalaman hidup di tengah pandemi tentu memberikan ruang berpikir bagi mereka yang selama ini hidupnya bergantung penuh pada pariwisata.
Sayangnya, pariwisata bergantung pada faktor-faktor di luar dirinya. Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kurleni Ukar, mengatakan berbagai kebijakan pariwisata akan bergantung pada situasi pandemi. Entah terkait jumlah kasus COVID-19, pemulihan ekonomi, atau kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan. Masalahnya, kondisi di lapangan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Keberanian masyarakat beraktivitas di luar rumah dengan protokol kesehatan bukan ukuran usainya pandemi di Indonesia. Toh, angka pasien terus bertambah.
Hal ini juga dituliskan I Dewa Gde Sugihamretha dalam artikel ‘Respon Kebijakan: Mitigasi Dampak Wabah Covid-19 Pada Sektor Pariwisata’ (2020). Menurutnya, pariwisata akan terus terpuruk seiring dengan penerapan pembatasan sosial yang keras didengungkan pemerintah dan World Health Organization (WHO). Efek domino terjadi, lantas memaksa para pelaku dan pemangku kepentingan—baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pariwisata, seperti UMKM lokal dan rumah makan—ikut terdampak.
Karena itu, ia berpendapat, solidaritas dan solusi yang terkoordinasi antarsemua pemangku kepentingan di masyarakat adalah kunci utama dalam menekan penyebaran virus corona. Artinya, pariwisata tidak mampu mengembalikan eksistensinya secara sendirian.
Selaras dengan sektor lain
Pemerintah, akademisi, dan pelaku pariwisata terus mencari opsi pemulihan riil di sektor ini. Namun, nihilnya kepastian kapan pandemi berakhir, bahkan apakah kondisi serupa akan terulang di kemudian hari, membuat paradigma orang-orang yang berkecimpung di sektor pariwisata rasanya perlu diubah.
Desa Nglanggeran di DI Yogyakarta memiliki metode pariwisata yang lebih resilien semasa COVID-19 meluas di Indonesia. Desa ini menawarkan pariwisata berbasis pengalaman, yakni mengajak wisatawan ikut melakukan apa yang dilakukan masyarakat lokal, seperti menanam padi dan memetik buah. Meski menjadi peluang pariwisata, Ketua Pokdarwis Mursidi mengatakan penduduk desa selama ini tetap melakukan pekerjaan utama mereka sebagai petani atau pekerja di kebun. Alhasil, walaupun pandemi terjadi, mereka tetap bisa bertahan dengan memaksimalkan hasil pertanian dan perkebunan. Perekonomian masyarakat tidak terpuruk. Bahkan, mereka masih dapat hidup berkecukupan.
Mereka kembali pada pekerjaan tradisional, seperti menjadi petani atau nelayan.
Sebagian besar pelaku pariwisata di Bali juga kini terpaksa meninggalkan sektor nan rentan tersebut. Mereka kembali pada pekerjaan tradisional, seperti menjadi petani atau nelayan. Liputan Deutsche Welle (DW) pada Oktober 2020 menunjukkan alih pekerjaan ini justru mampu menghidupi masyarakat selama pandemi.
I Gede Darma Putra, contohnya, seorang pelaku pariwisata di Bali, kini mencari pendapatan dengan menjadi nelayan rumput laut, pekerjaan yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Meski begitu, ia berhasil mengembangkan budi daya rumput laut lalu menjual hasilnya untuk pemasukan sehari-hari. Keberhasilan tersebut juga memunculkan gagasan untuk menjadikan budi daya rumput laut sebagai aktivitas yang dapat ditawarkan pada wisatawan di masa mendatang. Dengan begitu, setelah COVID-19 berakhir, ia bisa meneruskan budi daya ini sekaligus menciptakan minat wisatawan untuk datang dan terlibat dalam proses budi daya.
Beberapa negara di Kepulauan Pasifik juga menerapkan metode serupa. Dua peneliti Massey University, Regina Scheyvens dan Apisalome Movono (2020), dalam artikel ‘Traditional skills help people on the tourism-deprived Pacific Islands survive the pandemic’ mengatakan masyarakat lokal mengembangkan kembali kemampuan tradisional yang mereka miliki—bertani, berkebun, beternak, dan menangkap ikan—meski perlu mengingatnya terlebih dahulu. Langkah tersebut dilakukan agar mereka dapat hidup berkecukupan di tengah situasi sulit ini.
Menyelaraskan pendapatan dari pariwisata dan pekerjaan yang lebih mengandalkan alam—akar dari masyarakat itu sendiri—akan memperkuat ketahanan pelaku pariwisata.
Perjuangan mereka melepas ketergantungan pada sektor pariwisata dan kembali pada sektor yang sudah lama mereka tinggalkan ternyata memberikan banyak pengaruh positif. Dampak yang paling mendasar adalah mampu menyediakan kebutuhan pangan secara mandiri. Tak hanya itu, sistem kerja tradisional yang memerlukan lahan bersama—dengan tetangga maupun komunitas klan dan gereja—meningkatkan solidaritas mereka. Masyarakat di Kepulauan Pasifik pun sadar ke depannya tidak perlu selalu mengandalkan pariwisata untuk memutar roda ekonomi atau bisa mengombinasikan keduanya, seperti di Desa Nglanggeran dan Bali.
Menurut World Travel & Tourism Council, pariwisata berbasis pengalaman memberikan wawasan baru yang berbeda dari rutinitas para wisatawan. Sementara bagi masyarakat lokal, melakukan pekerjaan utama sambil memandu wisatawan akan menambah pendapatan mereka. Selain itu, mereka dapat mempertahankan nilai sosio-kultural yang ada di komunitasnya sehingga perubahan nilai bagi wisatawan untuk datang dan belajar secara perlahan dapat terealisasi. Kedua belah pihak menjadi untung, pun kerentanan pariwisata dapat diminimalisasi.
Terlebih, mayoritas destinasi pariwisata di Indonesia berbasis alam. Menyelaraskan pendapatan dari pariwisata dan pekerjaan yang lebih mengandalkan alam—akar dari masyarakat itu sendiri—akan memperkuat ketahanan pelaku pariwisata. Dengan begitu, jika pandemi semacam ini terjadi kembali, masyarakat dapat menggantungkan hidupnya pada sektor lain. Sedangkan, ketika pariwisata berjalan lancar, sektor lainnya dapat menyeimbangkan kebutuhan pariwisata, baik bagi wisatawan maupun masyarakat sendiri. Atau, dengan kata lain, perkembangan pariwisata dapat terus dilakukan, tetapi ketergantungannya perlu dikurangi.
Referensi
Sugihamretha, I. D. G. (2020). Respon Kebijakan: Mitigasi Dampak Wabah Covid-19 Pada Sektor Pariwisata. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning, 4(2), 191-206
Liputan Deutsche Welle (2020). www.dw.com/en/bali-tourist-workers-return-to-their-roots-during-pandemic/av-55121482
theconversation (2020). https://theconversation.com/traditional-skills-help-people-on-the-tourism-deprived-pacific-islands-survive-the-pandemic-148987