Banyak pemangku kepentingan lokal di daerah lain bercita-cita menjadikan daerahnya sebagai destinasi pariwisata. Namun, ketika tidak ada pembeda antara potensi daerah mereka dengan yang lainnya, mereka tidak bisa bersaing.
Pariwisata memainkan peran besar di Indonesia, setidaknya sebelum pandemi mengusik tatanan dan aktivitas masyarakat. Sebut saja, misalnya, pertukaran pengetahuan antara pelancong dan warga lokal, pembangunan infrastruktur demi melancarkan aktivitas pariwisata, atau perputaran roda ekonomi.
Setiap daerah berlomba mengembangkan, bahkan sampai mencari-cari potensi pariwisata, agar dapat mengeruk keuntungan dari sektor ini. Namun, ada satu hal yang terkadang dilupakan sebagian pemangku kepentingan: apakah daerah mereka memiliki keunikan dan peluang untuk bersaing sebagai destinasi wisata? Jangan-jangan potensi mereka sebenarnya ada di sektor lain dan pariwisata hanya dikembangkan sebagai respons dari keberhasilan pariwisata daerah lain?
Tak semua daerah cocok jadi destinasi
Pariwisata sebenarnya bersifat cair dan subjektif. Artinya, setiap orang dapat memilih model perjalanan dan destinasi yang ingin mereka kunjungi, dengan berbagai imajinasi yang mereka miliki tentang pengalaman pelesir yang ideal. Aktivitas pariwisata juga mempertemukan pejalan dengan penduduk lokal yang tinggal di suatu destinasi. Interaksi itu sering kali menguntungkan kedua belah pihak dalam beragam hal.
Alhasil, penduduk lokal dan pemangku kepentingan makin menggebu-gebu pada pariwisata. Pemerintah, yang punya kekuasaan lebih besar dalam hal kebijakan dan promosi wisata, bahkan menjadi aktor yang paling semangat untuk menyulap wilayahnya jadi destinasi wisata.
Namun, banyak penduduk lokal yang telanjur kena iming-iming pemangku kepentingan daerah dan langsung menggantungkan hidupnya pada sektor itu.
Namun, banyak penduduk lokal yang telanjur kena iming-iming pemangku kepentingan daerah dan langsung menggantungkan hidupnya pada sektor itu. Hal ini yang kemudian jadi masalah: ekspektasi kadung tinggi terhadap pariwisata, tapi bisnis wisata tak selamanya berjalan lancar.
Sejak satu setengah dekade lalu, Dwyer dan Kim (2003) mengembangkan model analisis yang mereka sebut destination competitiveness. Dalam model pemikiran ini, mereka menekankan pentingnya aspek sumber daya, manajemen, dan infrastruktur. Lalu, semua aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang bernilai ketika ada permintaan pasar. Ketiganya juga membuat destinasi pariwisata menjadi lebih berkelanjutan.
Dwyer dan Kim menekankan sumber daya, alami dan buatan, sebagai elemen utama dari sebuah destinasi pariwisata. Sumber daya alami bisa berupa potensi alam, misalnya pantai, gunung, dan air terjun. Ada pula situs sejarah yang sudah tidak lagi berfungsi saat ini namun cerita sejarahnya masih tetap hidup. Sementara itu, sumber daya buatan bisa berupa atraksi, wahana permainan, dan permukiman buatan (contohnya Kampung Warna-warni Jodipan di Malang). Singkatnya, sumber daya inilah yang membuat pelancong mau datang ke destinasi.
Selanjutnya, manajemen lokasi. Goffi (2013) turut memberi sumbangan pemikiran bahwa manajemen dari penduduk lokal, pemerintah lokal dan daerah, hingga pemerintah pusat dapat menjadi faktor penting terhadap berlangsungnya pariwisata yang nyaman bagi pengunjung, contohnya keramahtamahan penduduk, kesediaan mereka berinteraksi, dan kesiapan memberi bantuan bagi para pengunjung. Begitu juga dengan batasan mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pengunjung. Pengaturan ini berupaya menciptakan keselarasan antara pemangku kepentingan dan pengunjung.
Kegagalan manajemen lokasi beberapa kali terjadi di pulau-pulau Kepulauan Seribu. Pemangku kepentingan lokal urung membatasi pengunjung ke pulau, padahal jumlahnya sudah terlalu banyak. Akibatnya, mereka harus berebutan memakai air dan kekurangan suplai makanan. Kapasitas destinasi yang dipaksakan memang akan menciptakan ketidaknyamanan. Di sisi lain, operator lokal pun belum siap menghadapi masalah semacam itu. Klasik, kegagalan manajemen pariwisata karena cuma memikirkan keuntungan. Kuantitas tanpa kualitas.
Pemangku kepentingan lokal urung membatasi pengunjung ke pulau, padahal jumlahnya sudah terlalu banyak. Akibatnya, mereka harus berebutan memakai air dan kekurangan suplai makanan.
Penting pula kiranya memikirkan permasalahan air yang berkaitan dengan infrastruktur dasar. Hal ini juga menjadi elemen kunci dalam keberhasilan daerah pariwisata, lantaran, entah secara langsung atau tidak, berkaitan dengan aspek-aspek seperti akomodasi, akses ke destinasi, atau kebutuhan sehari-hari, meski pada akhirnya semua akan kembali pada konteks wisata itu sendiri.
Pengalaman saya ke Desa Baturotok, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pada Mei 2021 pun membuktikannya. Pemangku kepentingan lokal berencana mengembangkan desa tersebut menjadi destinasi wisata. Namun, perjalanan menuju Baturotok yang seharusnya ditempuh selama 2,5 jam—menurut Google Maps—ternyata molor jadi 10 jam karena infrastruktur yang tak mumpuni.
Jalan masih didominasi tanah becek dan berbatu sehingga perjalanan harus ditempuh dengan motor hasil modifikasi, mobil Hardtop, atau truk. Mobil kami pun beberapa kali terperosok dan harus ditarik oleh mobil lain. Di lain kesempatan, kami juga perlu mencangkul gundukan tanah agar mobil bisa meneruskan perjalanan. Padahal, perjalanan itu saya tempuh pada musim kemarau. Musim hujan pasti akan memakan waktu yang lebih panjang.
Sayangnya, banyak destinasi pariwisata yang aksesnya juga masih kurang memadai.
Penduduk lokal Baturotok pun mengeluhkan hal serupa. “Kita mau ke kota dan kembali ke sini saja susah. Jalanan hancur. Harga barang-barang kebutuhan menjadi mahal,” kata kepala sekolah setempat, Khaerudin. Hal ini mempertegas bahwa akses jalan yang tidak mumpuni sudah mempersulit warga lokal untuk beraktivitas, apalagi jika dipaksakan menjadi destinasi pariwisata. Sayangnya, banyak destinasi pariwisata yang aksesnya juga masih kurang memadai. Infrastruktur yang buruk dan belum siap akhirnya hanya akan mengurangi daya saing destinasi.
Kompetitor daerah wisata
Selain alasan internal, suatu destinasi pariwisata perlu memikirkan siapa kompetitor mereka. Destinasi berbasis alam, misalnya, harus mempertimbangkan tempat wisata alam lainnya sebagai kompetitor, baik di daerah dan provinsi yang sama maupun di pulau dan negara lain.
Perbandingan yang setara (apple to apple) bisa menjadi salah satu strategi keberhasilan destinasi agar berkelanjutan. Jika Pantai A lebih indah dibandingkan Pantai B, kenapa pengunjung perlu mengunjungi Pantai B? Jika calon pengunjung hanya mempertimbangkan faktor fisik tanpa melihat elemen lain, mereka pasti lebih memilih Pantai A.
Karena itu, setiap destinasi wisata perlu memikirkan keunikan yang mereka miliki dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Sementara itu, berbicara mengenai pasar, mereka yang tinggal di dekat destinasi pariwisata lokal tentu akan tetap berkunjung ke sana. Namun, jika destinasi tersebut menargetkan skala yang lebih besar atau berkualitas, juga pelancong dari berbagai wilayah yang lebih heterogen, perlu dipikirkan apakah tujuan wisata itu dapat bersaing dengan destinasi lain atau tidak.
Misalnya, Labuan Bajo terkenal dengan hewan komodo serta keindahan perairan dan perbukitan di pulau-pulaunya; Bali dan Lombok yang menawarkan pantai dan beragam aktivitas spiritual; Danau Toba dengan danau dan kekayaan budayanya. Mereka mempertimbangkan destinasi pesaing yang menawarkan potensi serupa, kemudian jika sedikit sekali pesaingnya, atau bahkan tidak ada, mereka dianggap memiliki keunikan atau ciri khas. Inilah yang membuat destinasi-destinasi tersebut cepat terkenal. Karena itu, setiap destinasi wisata perlu memikirkan keunikan yang mereka miliki dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Dalam kasus Baturotok, pemerintah setempat meyakini potensi desa mereka terletak pada budidaya madu dan produksi alpukat. Namun, keduanya dapat ditemukan di berbagai destinasi di Sumbawa, sehingga potensi tersebut kurang memiliki keunikan.
Kasus ini sebenarnya merupakan cerita lama. Banyak pemangku kepentingan lokal di daerah lain bercita-cita menjadikan daerahnya sebagai destinasi pariwisata. Namun, mereka sering kali luput mempertimbangkan daya saing pariwisata daerah tersebut dan bagaimana mereka dapat bersaing dengan para kompetitor. Ketika tidak ada pembeda antara potensi daerah mereka dengan yang lainnya, mereka tidak bisa bersaing.
Iming-iming pariwisata yang berlebihan hanya akan menjebak masyarakat lokal pada ide-ide utopis.
Di belahan dunia lain, Smith (2015) dalam ‘Baltic Health Tourism: Uniqueness and Commonalities‘, menunjukkan keunikan pariwisata medis di beberapa negara Baltik, seperti Estonia dan Latvia. Mereka terbilang unggul dari kompetitornya karena memiliki reputasi hasil dan layanan medis yang baik dan mutakhir. Lalu mereka fokus memasarkan diri sebagai destinasi pariwisata medis yang ajek. Strategi menggabungkan jasa medis antarnegara memunculkan daya tarik tersendiri bagi pengunjung dari Eropa dan benua lain. Mereka bisa berobat sambil pelesir di beberapa negara Baltik.
Ketika sebuah destinasi pariwisata memiliki potensi yang bisa dikembangkan, ia perlu dikemas dengan strategi yang tepat. Sedangkan, daerah yang tidak punya potensi tersebut ada baiknya mengembangkan potensi di sektor lain, seperti pertanian, perikanan, dan sebagainya, daripada memaksakan potensi pariwisata yang mungkin terbatas. Iming-iming pariwisata yang berlebihan hanya akan menjebak masyarakat lokal pada ide-ide utopis.
Intinya, pariwisata tidak bisa dipaksakan.
Referensi
Dwyer, L. & Kim, C. (2003). Destination Competitiveness: Determinants and Indicators, Current Issues in Tourism, 6(5): 369-414
Goffi, G. (2013). Determinants of Tourism Destination Competitiveness: a theoretical model and empirical evidence, PhD Thesis, Universita Politecnica Delle Marche
Smith, M. (2015). Baltic Health Tourism: Uniqueness and Commonalities, Scandinavian Journal of Hospitality and Tourism, 15(4): 357-379