Wisata pertanian dianggap sebagai perwujudan simbiosis mutualisme antara turis dan petani.
Telah lama sebenarnya pariwisata masuk ke sendi-sendi kehidupan masyarakat petani. Awalnya lewat terma wisata perdesaan (wisata rural) dan kemudian dalam konteks desa wisata dan agrowisata. Yang kerap luput dalam bahasan adalah subjek petani.
Petani mengolah lahan menjadi sumber pangan dan memberi lanskap rural yang sering kali didamba turis-turis dari kota (seperti sawah terasering di Ubud atau sawah jaring laba-laba di Manggarai Barat). Selain itu, aktivitas sehari-hari petani kerap disulap jadi ‘atraksi wisata’ atas nama edukasi dan ekonomi. Tapi, sebenarnya, bagaimana posisi petani dalam konteks aktivitas pariwisata di tempatnya berkehidupan?
Selain itu, aktivitas sehari-hari petani kerap disulap jadi ‘atraksi wisata’ atas nama edukasi dan ekonomi.
Artikel lawas yang ditulis Michael Dower (1973), berlatar di Inggris, memberi gambaran dasar tentang relasi pariwisata dan petani. Meski mengakui berbagai konsekuensi negatif yang dihasilkan pariwisata terhadap kehidupan petani, seperti kemacetan di jalan-jalan desa, tumbuhan-tumbuhan yang terinjak, ternak-ternak yang ketakutan, sampah, dan vandalisme, Dower menegaskan, jika direncanakan dengan tepat, petani bisa memanfaatkan kedatangan para turis dari kota demi keuntungan mereka.
Wisata (di) pertanian, mewisatakan pertanian
Wisata pertanian melalui proses transisi yang kompleks hingga tiba di posisinya saat ini. Busby dan Rendle (2000) mengamati proses transisi dari ‘wisata di pertanian’ (tourism on farm) ke ‘wisata pertanian’ (farm tourism) dan menyebut beberapa indikator. Pertama, transisi terjadi ketika pendapatan dari aktivitas pariwisata justru melebihi pendapatan dari aktivitas agrikultur. Kedua, ketika petani mengadopsi rencana bisnis wisata yang matang. Ketiga, ketika suatu tempat didapuk sebagai ‘wisata pertanian’ oleh konsumen (turis). Kendati mayoritas petani tidak mengeruk laba yang besar dari pariwisata, pendapatan sekunder dari pariwisata kerap menjadi pembeda antara mereka yang berkecukupan dan yang tidak.
Turis-turis dari kota bisa mengonsumsi sejumput ruralisme lewat wisata, sedang petani mendapat keuntungan finansial.
Wisata pertanian mulanya berkembang karena faktor ekonomi. Studi menunjukkan dua perhatian utama petani dalam wisata pertanian: memperoleh pendapatan tambahan dan menghasilkan keuntungan bagi ekonomi lokal (Elson dkk., 1995, dalam Busby dan Rendle, 2000). Singkatnya, wisata pertanian dianggap sebagai perwujudan simbiosis mutualisme antara turis dan petani. Turis-turis dari kota bisa mengonsumsi sejumput ruralisme lewat wisata, sedang petani mendapat keuntungan finansial. Keuntungan itu biasa didapat dari menyediakan akomodasi, menjual hasil tani kepada turis, dan menawarkan beragam ‘aktivitas rekreasi’, seperti memetik buah, belajar memanen, mengurus sawah, atau sekadar berjalan-jalan di lahan pertanian, perkebunan, atau peternakan.
Belakangan, di ranah akademis, istilah agriwisata atau agrowisata lebih populer ketimbang wisata pertanian. Beberapa peneliti bahkan lebih suka menggunakan istilah ‘wisata perdesaan’ atau ‘wisata rural’ untuk menjelaskan proses pariwisata yang ada di wilayah pertanian dan yang melibatkan masyarakat petani. Apa pun kerangka konseptual yang digunakan, realitas di lapangan menunjukkan kelindan yang kian erat antara pariwisata dan petani. Di era pertumbuhan pesat pariwisata, setidaknya sebelum pandemi, banyak petani mau tak mau mesti terlibat dalam kerumitan industrial sektor pariwisata.
Di era pertumbuhan pesat pariwisata, setidaknya sebelum pandemi, banyak petani mau tak mau mesti terlibat dalam kerumitan industrial sektor pariwisata.
Saya mengingat kegiatan karyawisata saat masih sekolah dulu, di mana kami mengunjungi kebun teh dan berjalan-jalan di antara daun-daun teh yang semerbak wanginya. Bukankah itu bentuk agrowisata? Di Indonesia, beragam studi kasus di desa wisata juga menunjukkan relasi antara pariwisata dan aktivitas petanian/perkebunan/peternakan, biasanya lewat aktivitas bersifat eduwisata, seperti menanam padi, memberi makan ternak, memerah sapi, memetik buah langsung dari kebun, dan lain-lain. Dalam konteks itu, kehidupan sehari-hari petani, pekebun, atau peternak dikomodifikasi menjadi atraksi wisata.
Dalam beberapa penelitian tentang petani dan pariwisata di Indonesia, dua kata kunci yang kerap muncul adalah ‘partisipasi’ dan ‘kesejahteraan’ (Budiarti dkk., 2013; Saputro dkk., 2016; Marwanti dkk., 2013). Keduanya menunjukkan ketakutan sekaligus harapan, yaitu 1) ketakutan bahwa aktivitas agrowisata gagal melibatkan petani sebagai tuan rumah dan gagal memberikan kesejahteraan yang layak bagi masyarakat petani dan 2) harapan bahwa agrowisata perlu dibangun dan dikelola separtisipatif mungkin demi terwujudnya partisipasi aktif dan kesejahteraan masyarakat petani. Jika tidak, agrowisata hanya akan jadi semacam ‘invasi orang-orang kota yang tak berpendidikan di area perdesaan’ (Dower, 1973).
Pariwisata yang tak ramah petani
Di luar narasi agrowisata dan semacamnya, relasi antara pariwisata dan petani juga memiliki wajah buram. Adalah Jordi Gascon yang kali pertama membuka pandangan saya soal proses depetanisasi (depeasantization) lewat skema pariwisata (Gascon, 2016). Penelitian Gascon berfokus pada wisata residensial (residential tourism), bentuk wisata semi-permanen yang kerap mengambil latar di daerah perdesaan. Pengamatan jangka panjangnya menunjukkan proses depetanisasi yang gradual di Cotacachi dan Vilcabamba, Ekuador. Di Indonesia, depetanisasi dalam konteks wisata juga sebenarnya telah terjadi (Basri dkk., 2020), terlebih di tengah ambisi pembangunan wisata yang riuh belakangan ini.
Perubahan fungsi lahan itu mau tak mau mengubah—atau lebih tepatnya mengurangi—aktivitas pertanian dan jumlah orang yang beraktivitas sebagai petani.
Depetanisasi sendiri dapat dipahami sebagai proses pengikisan praktik-praktik pertanian dan penggantian ke arah rasionalitas pasar dalam kegiatan agrikultur (McMichael, 2012). Secara global, Araghi (1995) menyebut depetanisasi dapat digambarkan oleh proses deruralisasi (berkurangnya populasi dan area perdesaan) dan urbanisasi (konsentrasi manusia dan aktivitas ekonomi di perkotaan) yang masif.
Pada konteks pariwisata, depetanisasi dapat terjadi dalam beragam bentuk. Pertama, kemunculan pariwisata mengubah lahan-lahan pertanian menjadi tempat-tempat untuk pariwisata (akomodasi, atraksi wisata, bandara, toko cendera mata, kolam renang, dsb.) atau akses bagi mobilitas pariwisata (pelebaran jalan raya, jalur kereta, dsb.). Perubahan fungsi lahan itu mau tak mau mengubah—atau lebih tepatnya mengurangi—aktivitas pertanian dan jumlah orang yang beraktivitas sebagai petani.
Singkatnya, petani tak akan mampu bersaing di tengah harga tanah yang menjulang.
Kedua, pariwisata mendongkrak harga tanah secara tidak masuk akal, yang kemudian membuat petani lokal tak lagi memiliki sumber daya (ekonomi) yang cukup dalam mengakses tanah untuk dijadikan lahan pertanian. Singkatnya, petani tak akan mampu bersaing di tengah harga tanah yang menjulang. Bahkan bukan tak mungkin banyak petani akan tergiur menjual tanah dengan harga selangit ke investor bisnis wisata.
Ketiga, pariwisata menarik orang-orang yang tadinya bekerja di sektor agrikultur untuk bekerja melayani turis. Jika terjadi secara permanen, populasi petani akan berkurang dan regenerasi petani bisa jadi terhambat. Di banyak tempat wisata, sudah sering ditemui bahwa anak-anak muda lebih suka tumbuh besar sebagai pekerja pariwisata daripada mewarisi mata pencaharian tradisional orang tuanya (petani, nelayan, dsb.).
Di tempat-tempat itu, pertanian menjadi ruh utama, sehingga mengikis lahan pertanian dan aktivitas petani justru akan menghilangkan esensinya.
Kendati begitu, Gascon (2016) mengingatkan bahwa pariwisata bukanlah faktor tunggal penyebab proses depetanisasi yang terjadi di tempat-tempat wisata. Mobilitas manusia dari desa ke kota untuk bekerja di sektor-sektor ekonomi perkotaan juga merupakan salah satu penyebab penting depetanisasi. Dengan atau tanpa pariwisata, depetanisasi bisa saja tetap terjadi. Namun, tentu saja pariwisata dapat mengakselerasi proses tersebut.
Penting juga untuk diingat bahwa secara konseptual depetanisasi akan lebih sulit terjadi pada lokasi-lokasi agrowisata atau wisata pertanian. Di tempat-tempat itu, pertanian menjadi ruh utama, sehingga mengikis lahan pertanian dan aktivitas petani justru akan menghilangkan esensinya. Dower (1973), hampir setengah abad lalu, telah mengingatkan bahwa aktivitas wisata di wilayah perdesaan dan pertanian sebaiknya tetap menaruh titik berat yang dominan pada kegiatan produksi pangan. Dengan itu, ia sebenarnya tunduk pada argumen bahwa pariwisata hanyalah aktivitas ekonomi sekunder bagi petani. Dan sebaiknya memang seperti itu.
Referensi
- Araghi, F. A. (1995). Global Depeasantization, 1945–1990. The Sociological Quarterly, 36(2), 337-368.
- Basri, H., Tamrin, M., & Alfatwari, D. (2020). Shifting Society in Response to the Tourism Industry: A Case Study of New Challenges in Lombok Utara. Jurnal Pariwisata Terapan, 4(2), 183-194.
- Budiarti, T., & Muflikhati, I. (2013). Pengembangan Agrowisata Berbasis Masyarakat pada Usahatani Terpadu guna Meningkatkan Kesejahteraan Petani dan Keberlanjutan Sistem Pertanian. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 18(3), 200-207.
- Busby, G., & Rendle, S. (2000). The transition from tourism on farms to farm tourism. Tourism management, 21(6), 635-642.
- Dower, M. (1973). Recreation, tourism and the farmer. Journal of Agricultural Economics, 24(3), 465-477.
- Gascón, J. (2016). Residential tourism and depeasantisation in the Ecuadorian Andes. The Journal of Peasant Studies, 43(4), 868-885.
- Marwanti, S., Nurhaeni, I. D. A., & Sugiarti, R. (2013). Penguatan Partisipasi Masyarakat Petani Menuju Ekonomi Kreatif Melalui Pengembangan Pariwisata Berbasis Sumber Daya Pertanian. Cakra Wisata, 17(1).
- McMichael, P. (2012). Depeasantization. The Wiley‐Blackwell Encyclopedia of Globalization.
- Saputro, E. A., Sanjoto, T. B., & Sriyanto, S. (2016). Partisipasi petani kentang dalam pengembangan pariwisata di dataran tinggi dieng (Studi Kasus di Desa Sembungan Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo). Edu Geography, 4(3), 35-41.