“Running is my way of scoping,” kata Bryan, di Siargao, Filipina, setelah ia selesai lari sore. Lari, katanya, memberinya alasan untuk melakukan pemetaan mula-mula terhadap realitas sosio-kultural di sekitar. Lari adalah praktik mengamati, yang setidaknya jauh lebih observatif dibanding dari balik jendela mobil.
Ketika saya lari pagi atau sore di sekitar rumah, di barat Jogja, saya sebenarnya—meminjam kerangka pikir kawan Filipino di atas—sedang mengamati. Sawah-sawah di Godean memberi saya vitamin bagi mata, yang hari-hari ini lelah dihantam radiasi gawai yang menghubungkan saya dengan dunia maya. ‘Daring’ adalah kata kunci hari ini. Apa-apa daring: belanja, belajar, bekerja, silaturahmi, mengumpat.
Kaki-kaki saya yang berlari adalah alat metodologis untuk ‘mencari jalan’ (wayfinding).
Jika langit sedang bersih di pagi hari, pucuk Merapi akan terlihat di utara. Saya akan lari sambil mengamati lekuk-lekuknya yang siluet, yang jauh sekaligus dekat.
Sambil berlari, dulu ketika baru pindah, saya sebenarnya sedang menghafal jalan serta memahami konsekuensi dari tiap belokan. Lewat sini lebih cepat, lewat sana lebih lama. Kaki-kaki saya yang berlari adalah alat metodologis untuk ‘mencari jalan’ (wayfinding).
Lewat berlari pula saya mengamati perubahan (yang terjadi secara gradual). Saya mendapati sawah-sawah diratakan, diganti dengan tanah, pasir, dan batu yang lebih alot, kemudian di atasnya diletakkan bangunan semisal rumah, restoran, toko, atau entah apa.
Yang menarik bagi saya adalah kemunculan resto-resto ‘ndeso’. Mungkin mengambil inspirasi dari Kopi Klothok dan kawan-kawannya yang sudah lebih dulu ada, resto-resto ini menjanjikan sensasi kuliner berbeda dengan menawarkan suasana perdesaan yang syahdu: sawah-sawah hijau, makanan rumah ‘ndeso’, dan arsitektur yang napasnya kayu atau bambu, bukan beton abu-abu yang lesu itu.
Perlahan, resto ‘ndeso’ menjelma tren (wisata) kuliner baru. Makanan dicampur pemandangan. Semuanya terasa lengkap: kita mengonsumsi ruralisme!
Apakah pisang atau tempe goreng yang dilabeli ‘ndeso’ akan cukup menyelamatkan bisnis?
Yang agak paradoksikal, bagi saya, adalah bagaimana resto-resto ‘ndeso’ membabat sawah untuk menawarkan vista persawahan. Joglo-joglo dipindah ke sawah-sawah yang telah dikeringkan, lengkap dengan ornamen-ornamen yang mengesankan tradisionalisme, atau sesekali hiasan-hiasan kekinian yang dicomot dari kota.
Sementara itu, sawah-sawah yang masih sawah menjadi ‘atraksi’ tambahan. Oh, betapa tenangnya tinggal di desa. Mungkin perasaan semacam itulah yang ingin ditanam ke kepala turis-turis dari kota, ketika mereka menikmati wedang dan sepiring pisang goreng sambil memandangi—seraya sesekali memotret—sawah-sawah yang kehijauan.
Hanya saja, saya khawatir. Ketika semua sawah telah dikeringkan nanti, entah untuk rumah, klaster, restoran, atau toko, apa yang akan tersisa? Apakah resto ‘ndeso’ tetap bernuansa ‘desa’ ketika sawah-sawah telah raib diganti bukan-sawah? Apakah pisang atau tempe goreng yang dilabeli ‘ndeso’ akan cukup menyelamatkan bisnis?
Kebetulan rumah saya dekat sekali dengan salah satu resto bernuansa ‘ndeso’, tradisional, atau apalah namanya itu. Konon, ia salah satu resto ‘ndeso’ mula-mula di sekitar. Sesekali saya ke sana untuk membeli lauk, jika malas memasak. Sesekali pula, saya ke sana untuk duduk, ngopi, sambil mengerjakan tugas kantor yang menumpuk.
Waktu paling asyik adalah Sabtu pagi. Jika sedang ingin dan punya duit, saya akan bangun pada suatu Sabtu pagi, mencuci muka, lalu berangkat ke sana untuk menyesap kopi pertama hari itu, bersama kudapan yang baru dimasak. Sambil mengusir kantuk dan menunggu kopi mendingin, saya akan memandangi ladang-ladang di kejauhan.
Mungkin resto-resto ‘ndeso’ hanya menawarkan nostalgia tentang sebuah kehidupan yang tak lagi dirasakan para konsumennya sehari-hari, atau tentang sebuah kehidupan yang sedang terkikis pelan.
Di resto lain, yang juga cukup lama berdiri dan sedikit lebih jauh dari rumah, saya akan menikmati persawahan. Sering saya ke sana setelah belanja pagi di pasar, menikmati sarapan yang dibuat orang lain dan kopi yang, sayangnya, sasetan.
Selain dua resto itu, dalam radius dua kilometer dari rumah, mungkin ada 6-8 resto lain yang mengusung konsep atau nuansa serupa, dengan berbagai pembedanya, entah itu nama, menu masakan/minuman, desain arsitektur, fasilitas parkir, harga, atau target pasar. Beberapa lainnya mungkin akan berdiri dalam bulan-bulan mendatang.
Saya lihat beberapa sawah telah kering dan tiang-tiang telah terpacak.
Apa yang disebut ‘ndeso’ saya juga tidak tahu persis. Apalagi ketika desa-desa kian menyempit dan kota-kota membengkak, ketika desa jadi area suburban dan pelan-pelan memiliki watak yang lebih urban daripada rural.
Mungkin suatu hari semua akan mengurban. Mungkin resto-resto ‘ndeso’ hanya menawarkan nostalgia tentang sebuah kehidupan yang tak lagi dirasakan para konsumennya sehari-hari, atau tentang sebuah kehidupan yang sedang terkikis pelan. Sawah-sawah, yang telah hilang dan yang masih ada, mungkin menjadi metafora dan pengingat untuk itu.
Tapi, semoga tidak.
Sumber Foto: Pexels