Terkadang perjalanan membuat malam menjadi teramat panjang.
Suatu pagi, Ramadan 2017, saya duduk di sebuah gazebo di pinggir Sungai Melaka. Kata seorang kawan yang pernah kuliah di Malaysia, bantaran Kota Tua Melaka akan riuh pada sore hari. Orang-orang akan duduk-duduk santai meminum entah apa sambil menunggu matahari terbenam. Suasana pagi bertolak belakang. Tak ada riuh, hanya hening. Permukaan sungai begitu tenang seperti seorang begawan penuh pengetahuan. Promenada pun hanya sesekali dilewati manusia. Langit pagi yang pucat barangkali memang tak semenggugah sore yang oranye.

Di permulaan hari itu, mata saya mengantuk. Tapi keadaan belum mengizinkan saya untuk tidur. Masih ada satu pekerjaan lagi yang mesti saya lakukan: mencari penginapan.
Kemarin pagi saya masih di Padang Besar merutuki kelalaian saya. Gagal mengantisipasi perbedaan zona waktu antara Thailand dan Malaysia, gagal pula saya berangkat ke Kuala Lumpur naik kereta cepat pagi.
Ongkos kereta cepat pagi beberapa puluh ringgit lebih murah ketimbang kereta siang. Juga, naik kereta pagi bakal bikin saya tiba di Kuala Lumpur lebih awal. Jika tiba di sana lebih awal, barangkali saya akan mencapai Melaka sebelum gelap, leluasa mencari hostel, dan bisa langsung merebahkan badan di kasur empuk. Tubuh saya mulai capai setelah dihantam perjalanan kereta delapan belas jam melintasi Negeri Siam. Naik kereta siang berarti saya mesti bersiap-siap menghadapi malam panjang.
Sambil menanti waktu keberangkatan, 12.55 Waktu Piawai Malaysia, saya berbaring di kursi besi panjang. Peron stasiun itu kembali hening setelah semua pelintas batas selesai mengurus tetek bengek imigrasi. Dinding beton stasiun yang dicat putih bikin hari jadi makin hambar. Mata dan pikiran saya masih perlu menyesuaikan diri dengan perubahan drastis dari Thailand yang warna-warni ke Malaysia yang monokrom.
Mata dan pikiran saya masih perlu menyesuaikan diri dengan perubahan drastis dari Thailand yang warna-warni ke Malaysia yang monokrom.
Sekira tengah hari, sebuah kereta cepat meluncur dari arah selatan. Begitu berhenti, ia mendesis dan pintu-pintunya membuka secara otomatis. Para penumpang berhamburan keluar, para calon penumpang berhamburan ke peron. Saya segera menggendong ransel dan berjalan menuju salah satu pintu. Tapi petugas keamanan melarang saya masuk. Belum waktunya, katanya. Begitu saya kembali duduk di bangku panjang, para juru bersih stasiun muncul entah dari mana. Sebagian mengelap jendela-jendela gerbong, sebagian lain masuk ke dalam kereta dan segera menyapu. Begitu mereka masuk, semua pintu ditutup.
Saya masuk gerbong sekitar sepuluh menit sebelum kereta berangkat. Termasuk saya, hanya ada dua orang di gerbong itu. Ransel saya taruh di rak dekat pintu dan saya duduk di deret paling depan menghadap monitor. Selang sebentar, kereta itu mulai meluncur. Peluncuran yang mulus. Saya tak merasakan hentakan. Sang masinis segera memacu kereta itu. Laju. Saya melongok ke monitor. Ada informasi soal kecepatan: 130 km/jam!
Kota, desa, sawah, stasiun, perkebunan sawit, dan lain-lain mundur dalam gerak teramat cepat. Tapi tak ada angin. Selepas Ipoh dan perbukitan batugampingnya, mata saya sudah jengah melihat pemandangan. Akhirnya saya menonton film, lalu tidur, bangun lagi, menonton film, tidur lagi, begitu terus sampai matahari makin dekat ke cakrawala.
Stasiun itu riuh. Wujudnya yang modern bikin saya merasa seperti manusia udik yang baru sekali itu ke kota.
Hari makin sore dan langit kian petang. Semakin dekat kereta itu dengan Kuala Lumpur semakin banyak pula penumpang di gerbong. Lalu, ketika hari sudah gelap, lanskap luar mulai tampak urban.
“Sudah tiba di KL,” ujar pria yang duduk di samping saya.
Saya cuma menoleh saja ke arahnya, tak merespons, sebab—karena ia bicara dengan cengkok Melayu kental—saya tak tahu apakah itu pernyataan atau pertanyaan. Namun, sebentar kemudian, ketika kereta itu berhenti di sebuah stasiun, saya lihat ada tulisan ‘Kuala Lumpur’ di plang. Mungkin ini KL Sentral.
Bergegas saya ke rak, mengambil ransel, lalu keluar dari gerbong. Namun rupanya itu bukan KL Sentral. Pantas tak banyak yang turun. Akhirnya saya kembali ke kereta. Tapi saya tak duduk di bangku semula, hanya berdiri di bordes sambil melihat garis langit metropolis Kuala Lumpur. KL Sentral ternyata hanya satu stasiun dari sana. Stasiun itu riuh. Wujudnya yang modern bikin saya merasa seperti manusia udik yang baru sekali itu ke kota. Ikut kerumunan, saya naik eskalator, mencari plang petunjuk, lalu membeli tiket komuter menuju Bandar Tasik Selatan.
Di pertengahan jalan menuju Melaka, di tol yang dipagut perkebunan sawit di kanan-kirinya, keringat dingin saya mulai menetes dan jantung saya mulai berdebar-debar. Sudah jam sembilan malam. Kalau tak ada halangan, saya akan tiba di Melaka Sentral jam sepuluh nanti—bisa jadi lewat. Jam sepuluh, di kota yang tak terlalu besar seperti Melaka, agak-agaknya sudah terbilang larut malam. Bus kota barangkali sudah tidak ada.

Bus itu pun akhirnya keluar tol. Di jalan yang tak terlalu besar begitu, bus itu terasa seperti ugal-ugalan, meskipun tetap masih kalah nakal ketimbang Mira atau Sumber Kencono. Lewat jam sepuluh, bus itu tiba di terminal, Melaka Sentral.
Saya turun bus, berkelit menghindari supir taksi, lalu masuk ke terminal yang sepi. Benar belaka: bus kota sudah tak ada. Tak mau naik taksi, saya pilih bermalam saja di terminal.
Di bus menuju Melaka saya hanya mengisi perut dengan biskuit dan Milo gratisan yang dibagikan awak kabin kereta ETS. Sekarang lambung saya sudah meronta-ronta. Tadi, sebelum bus masuk terminal, saya lihat di seberang jalan ada beberapa warung tenda. Mungkin ada makanan enak di sana.
Saya pun kembali mengangkat ransel, keluar dari kawasan Melaka Sentral, lalu melintasi jalan besar itu lewat jembatan penyeberangan. Lalu saya duduk di salah satu warung tenda dan memesan char kway teow. Ketika char kway teow itu tiba saya langsung melahapnya. Sang juru masak dan istrinya duduk dekat saya, mengamati saya makan. Mereka tak tahu bahwa char kway teow itu adalah makanan paling enak yang saya makan selama perjalanan sekitar dua minggu itu.
“Dari mana?” sang pria bertanya ketika saya menyeruput es teh tarik. Piring char kway teow itu sudah kosong.
“Indonesia,” jawab saya. Senang rasanya kembali bicara menggunakan Melayu Pasar.
“Hendak kerja?” ia lanjut bertanya.
Saya ceritakan perjalanan saya padanya. Saya kisahkan sedikit tentang Vietnam, Kamboja, dan Thailand kepadanya. Mukanya tampak berseri-seri ketika saya bilang bahwa char kway teow-nya adalah makanan terlezat yang saya makan sepanjang perjalanan.
Menjelang tengah malam saya kembali ke terminal. Saya duduk di bangku beton dan menyandarkan badan ke jendela kaca tebal. Tadi saya sudah beli Red Bull di 7-Eleven, biar bisa begadang sampai pagi—tapi tetap saja saya mengantuk. Saya berbaring di bangku beton itu dan mencoba tidur. Tapi tak bisa. Nyamuk makin banyak dan saya tak punya Autan. Sialan. Masih sekitar enam jam lagi sebelum terang dan saya tak tahu kapan bus kota pertama akan mulai jalan.
Sekitar jam dua dini hari, perut saya lapar lagi. Di seberang sana, di pinggir terminal, ada sebuah warung makan 24 jam. Saya angkat ransel ke sana. Kasir warung itu tampak lelah. Matanya merah. Supaya suasana meriah, saya kasih lelucon. Entah karena lelucon saya memang terlalu garing atau ia terlalu lelah, ia meresponsnya dengan muka datar—jika saya teruskan mungkin saya akan dilempari wajan.
Nasi biryani itu cepat datang, tapi lekas pula habis.
Usai makan, saya kembali ke tempat tadi dan tidur-tidur ayam. Sekali waktu satpam muncul. Ia menatap tajam pada saya tapi tak berkata apa-apa. Saya bertanya kepadanya jam berapa bus mulai jalan.
“Pukul lapan,” jawabnya. Masih lama.

Menjelang pukul enam, seorang perempuan datang. Selang sebentar, sebuah bus kota tiba dan berhenti di peron. Saya mengintili perempuan itu masuk ke bus. Saya bertanya ke juru mudi apakah bus itu lewat kota tua. Tidak, jawabnya. Saya disuruhnya menunggu bus nomor 17.
Betapa gembiranya saya ketika bus nomor 17 datang. Begitu ia berhenti dan pintunya dibuka, saya naik, membayar tiket ke juru mudi, lalu duduk di salah satu kursi. Pagi-pagi begitu, bus tak mengetem lama. Sebentar kemudian ia mulai melaju di jalanan Melaka yang masih sepi.
Usai meliuk-liuk mengikuti beberapa belokan, bus itu tiba di depan Stadhuys. Saya meloncat turun lalu duduk di beranda gedung berkapur merah itu, menanti terang. Burung gereja beterbangan di pohon dan bercuit-cuit riuh.

Terang sedikit, saya menyeberangi jembatan dan menelusuri Kota Tua Melaka untuk mencari penginapan. Hanya satu yang pintu depannya buka. Saya coba masuk ke sana. Ada orang. Saya bertanya apakah ada kamar kosong. Cepat sekali ia menjawab ‘tidak ada’. Barangkali saya berkeliaran terlalu pagi—atau saya terlalu kumal.
Lalu insting menuntun saya ke sebuah gazebo di pinggir Sungai Melaka. Terang sudah datang, tapi ‘malam’ saya belum usai. Saya masih harus mencari penginapan. Masih harus mencari penginapan.
Hari sudah terang, tapi bagi saya malam masih panjang.