Di masa ketika manusia saling mengambil jarak, entah kenapa Lawu seperti mengajak mendekat. Maka pada Lawu saya kembali. Di setapaknya saya melangkah, satu setengah tahun sejak pandemi menghantam Bumi.
Rabu pagi itu, pukul sembilan, Dusun Ceto, Karanganyar, cukup cerah. Matahari sedang bungah di ufuk timur. Saya duduk di bangku Lawu Barokah dengan secangkir kopi panas di meja. Gunung Merapi, Merbabu, dan Ungaran tampak di kejauhan, menari-nari di atas awan, menjadikan kopi saset kali ini terasa lebih nikmat dari biasanya.
Ini kali kedua saya mendaki Lawu. Di kali pertama pada Juli 2019, saya bersama seorang teman, Roro, lewat Cemoro Sewu. Kala itu, di kamp pangkal saya dan Roro bertemu dengan empat anak muda dari Sidoarjo dan Jepara. Sama seperti kami berdua, mereka mengaku belum pernah mendaki Lawu.
“Sepertinya rencana berkemah di Gupakan Menjangan hanya akan menjadi angan-angan.”
Entahlah. Kala itu Lawu seolah memberi peringatan kepada saya untuk tidak angkuh melakukan pendakian berdua saja. Enggan menerima manusia yang datang berdua, ia meramu takdir dan membuat saya memasuki belantaranya bersama lima manusia lain.
Dan kali ini, seakan menegaskan pendiriannya, Lawu kembali membuat saya mendaki bersama lima orang teman. Kecuali Ariel, Yanu, Arni, Deni, dan Cahya adalah teman baru saya.
Jam sebelas siang kami meninggalkan kamp pangkal, telat dua jam dari waktu yang direncanakan. Menyusuri deretan anak tangga yang curam di sisi kiri Candi Cetho, saya bergumam dalam hati, “Sepertinya rencana berkemah di Gupakan Menjangan hanya akan menjadi angan-angan.”
Tak mengapa. Gunung bukanlah tempat untuk berlomba adu cepat, melainkan rumah untuk berserah. Mendaki gunung adalah untuk tenggelam dalam ketinggian. Semakin tinggi kaki ini menapak, semakin dalam pula seharusnya diri ini tenggelam.
Saya dan kelima orang teman pun sepakat untuk mengikuti berjalannya hari dan berhenti ketika matahari sudah pergi. Tak ada yang diburu. Kami hanya ingin membayar rindu pada gunung, merasakan kesunyataan hutan belantara, dan kembali ke rumah dengan selamat.
Saya percaya, di dalam pekatnya hutan, batas antara hidup dan mati hanya selangkah kaki.
“Kulo nuwun, Mbah Lawu. Nderek langkung, nyuwun slamet,” ucap saya dalam hati ketika memasuki pintu rimba. Saya percaya, di dalam pekatnya hutan, batas antara hidup dan mati hanya selangkah kaki. Salah sedikit, kaki ini bisa saja masuk jurang dan tak kembali. Maka ucapan salam adalah doa keselamatan.
Melewati Candi Kethek, saya melihat seekor anjing putih di kejauhan. Barangkali itu Jiro, anjing yang cukup terkenal di kalangan pendaki Lawu. Ini bukan kali pertama saya menjumpai anjing ketika sedang mendaki gunung. Waktu menuruni Gunung Rinjani dahulu, seekor anjing putih bahkan menemani saya menyusuri hutan Senaru, yang licin sehabis hujan, sampai keluar dari rimba.
Saya teringat cerita Mahabarata. Hanya Yudhistira dan seekor anjing putih dengan mata menyala yang berhasil menggapai Mahameru dan masuk ke Swarga Loka. Sementara Pandawa lainnya, bersama Drupadi, mati oleh dinginnya keangkuhan. Sebuah kegagalan selepas kemenangannya di Kurusetra.
Barangkali, ya, barangkali, anjing adalah makhluk yang ditunjuk para dewa sebagai penjaga para pendaki.
Tak jauh dari candi yang berbentuk piramida itu ada Patirtaan Sapta Rsi. Ada yang percaya sumber air itu adalah tempat Prabu Brawijaya V dan ketujuh resi pengikutnya menyucikan diri ketika melakukan perjalanan ke Gunung Lawu, bersembunyi dari kejaran pasukan Demak, di akhir era Majapahit.
“Percaya mitos?” tanya Yanu kepada saya di suatu kala sebelum pendakian.
Saya mengernyit, lalu berujar, “Kalau bicara percaya atau enggak, itu seperti agama.” Saya beri jeda, lalu saya lanjutkan. “Tapi aku ngerti maksudmu. Layaknya bertamu, deh. Kita harus menghormati apa pun yang dipercaya di tempat itu, meski tak kita imani.”
Sebagai simbol kosmologi, puncak gunung, dengan bentuknya yang segitiga, adalah pusat spiritualitas, yang akan mengantarkan segala doa serta puja-puji bagi Tuhan.
Gunung acap kali dianggap sebagai tempat suci, terutama bagi orang-orang yang hidup di lerengnya, yang mengambil makan dan minum dari tubuhnya. Sebagai simbol kosmologi, puncak gunung, dengan bentuknya yang segitiga, adalah pusat spiritualitas, yang akan mengantarkan segala doa serta puja-puji bagi Tuhan. Gunung-gunung juga dipercaya sebagai pusering jagat, sehingga mereka menjadi tujuan tetirah atau sekadar ziarah.
Dalam langkah yang konstan, saya menyisir ladang sayur warga yang mengering. Maklum, musim kemarau. Untungnya sedikit hujan malam tadi, sehingga pendakian kali ini tidak dipenuhi debu. Udara pun tidak panas tidak juga dingin. Ia menyejukkan napas yang mulai menyesuaikan diri dengan tempo lambat langkah kaki di ketinggian 1.600 mdpl.
Hujan juga turun ketika kami berkemah di Pos Cemoro Dowo. Ada untungnya juga hujan. Hujan dan dingin musim bediding bulan Juli begini bikin tidur kami nyenyak.
Keesokan harinya, lepas sarapan, kami memulai pendakian menuju Mbok Yem di Hargo Dalem, melewati Pos Penggik, Bulak Peperangan, Gupakan Menjangan, dan Pasar Dieng.
Jalur menuju Pos Penggik adalah tanah setapak yang menanjak tanpa ampun. Saking curamnya, lutut dan dagu saya kerap bertemu. Jalur yang ditempuh selama satu setengah jam itu membuat saya mulai kelaparan. Ini aneh. Entah apa yang salah: asupan kalori yang kurang dari makanan atau jalur yang terlalu menguras tenaga?
Rasa lapar juga menghantui teman-teman lainnya. Langkah kami mulai terseret-seret—bahkan ketika berjalan di sabana Bulak Peperangan yang landai sekalipun—tak harmonis dengan paru-paru kami yang tersengal-sengal menyerap oksigen tipis di ketinggian. Lambung kami berusaha keras mengais tenaga dari sisa makanan di perut. Saya harus mengunyah potongan jahe dari bekal air jahe; Cahya mengunyah tembakau; dan Arni mengisap obat herbal cair.
Sungguh, kami benar-benar kelaparan.
Manusia, oh, manusia. Bahkan untuk makanmu sendiri saja kau lupa.
Apa lacur, kami harus tetap berjalan maju, tak bisa mundur. Sepiring nasi pecel Mbok Yem di atas sana adalah satu-satunya sumber energi yang bisa mengantarkan kami kembali ke kamp dengan selamat.
Bersandar pada batang pohon tumbang, melihat punggung Yanu menghilang memasuki punggungan hutan di hadapan, saya memikirkan kesalahan: saya luput membawa bekal makanan. Manusia, oh, manusia. Bahkan untuk makanmu sendiri saja kau lupa. Yang dipikirkan hanya membawa beban seringan mungkin agar bisa berjalan lebih cepat.
Namun apa guna larut memikirkan kesalahan? Tak perlu disesali. Kesalahan membuat kita belajar untuk kembali bangun. Maka, dalam embusan napas panjang, saya bangkit dari duduk, bergumam, “Ayo, bangun!”
Begitu juga ketika kami kembali menyusuri jalan yang sama untuk turun ke Cemoro Dowo, usai berhasil mencapai Hargo Dalem dan menyantap nasi pecel terenak yang pernah dimakan. Matahari sudah doyong ke barat. Gelap malam menggurui langkah di jalur yang curam. Satu per satu, kami pun terjatuh dengan gaya masing-masing yang, tentu saja, mengundang tawa. Jika ada yang jatuh, yang lebih dahulu datang adalah suara tawa, baru kemudian pertolongan. Tapi, terjatuh di gunung hal biasa, sekadar pengingat untuk kembali bangun dan bergegas kembali ke kediaman—tenda.
Tak jadi soal seberapa lambat perjalanan itu, sebab yang terpenting adalah kembali ke rumah dengan selamat.
Jatuh dan bangun terulang keesokan harinya ketika kami turun. Hujan yang mendera membuat tanah purba Lawu menjadi sangat licin. Saya harus beberapa kali mengentak-entakkan kaki untuk menyingkirkan lumpur yang menempel pada sepatu, mengurangi licin, meski itu percuma.
Saya tetap terjatuh, lagi dan lagi. Basah dan lumpur melumat dari atas sampai bawah. Tersadar ini belum usai, saya kembali bangun dan terus berjalan agar bisa segera menyeruput secangkir kopi saset.
“Jatuh berapa kali?” tanya pemilik warung ketika akhirnya kami berhasil keluar dari rimba.
“Jatuh bangun, Pak,” jawab Yanu.
Seperti hidup, pendakian Lawu kali ini mengajarkan saya bahwa terjatuh adalah perihal biasa. Manusia perlu terjatuh. Kadang kala manusia hanya bisa belajar dari sebuah kesalahan; harus jatuh dulu biar tahu cara untuk bangun dan kembali berjalan. Tak jadi soal seberapa lambat perjalanan itu, sebab yang terpenting adalah kembali ke rumah dengan selamat.
Saya kini mafhum mengapa Lawu menarik saya untuk kembali; ia menyediakan dirinya sebagai tempat melarung doa serta menyerahkan segala nasib yang entah apa namanya.