Suatu waktu, saya sedang menyiapkan materi untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Pariwisata, temanya tipologi wisatawan. Tema atau materi itu ada di awal-awal perkuliahan, hanya didahului materi sejarah pariwisata dan peraturan/kebijakan pariwisata. Di minggu setelahnya adalah materi soal jenis wisata. Yang membuat saya tercekat adalah: di mana posisi subjek masyarakat lokal dalam perkuliahan ini?
Buku-buku pengantar pariwisata yang saya baca juga disusun dengan logika serupa. Bisa dibilang desain mata kuliah tersebut banyak terinspirasi dari salah satu buku pengantar pariwisata populer (Pitana & Diarta, 2009). Di buku itu, bahasan soal wisatawan ada di awal-awal buku. Baik di perkuliahan atau buku tersebut (dan beberapa buku lain), subjek masyarakat lokal di destinasi wisata agak lebih kentara ketika membahas soal sumber daya pariwisata (seakan-akan ia sumber daya yang bisa ‘dimanfaatkan’) dan dampak pariwisata (seakan-akan ia hanya objek pasif yang terdampak); seakan-akan ia adalah aktor tambahan yang hanya diperlukan untuk mendukung pemeran utama: turis.
Di mata kuliah lain, Sosiologi Pariwisata, saya membalik logika itu dan menempatkan bahasan soal masyarakat lokal beserta segenap lokalitasnya sebagai materi paling awal, setidaknya setelah pengantar singkat soal apa itu sosiologi pariwisata. Bahasan soal turis (aspek sosio-antropologisnya) baru muncul kemudian.
Seakan-akan ia adalah aktor tambahan yang hanya diperlukan untuk mendukung pemeran utama: turis
Mengikuti logika industri?
Yang muncul dalam kurikulum perkuliahan dan buku-buku pengantar pariwisata adalah semacam pakem, sebuah standar, sebuah wacana dominan tentang bagaimana kita memahami pariwisata. Pakem itu sepertinya diadopsi dari gagasan tentang bagaimana industri pariwisata memahami pariwisata selama ini. Di sana, kepuasan wisatawan adalah faktor kunci yang mendorong segenap aktivitas di dalam pariwisata. Semuanya (pengembangan, pemasaran, pengelolaan) dilakukan demi tujuan akhir untuk memuaskan turis. Itu kenapa ‘tourist satisfaction’adalah salah satu konsep penting di pariwisata.
Bagaimana dengan kepuasan masyarakat lokal, dong? Dalam perkembangannya, pelbagai paradigma terkait pariwisata memang mengalami pergeseran. Isu soal kesenjangan sosial, (re)distrubusi pendapatan, kesejahteraan sosial, atau keberlanjutan lingkungan dan budaya perlahan naik ke permukaan. Di situ, posisi subjek masyarakat lokal sepertinya mulai agak diperhatikan secara lebih serius, bukan sekadar pelengkap belaka. Apalagi dengan kemunculan fenomena overtourism sebelum pandemi, resistensi warga terhadap pariwisata, dan kembali populernya Irritation Index-nya Doxey (1975) yang membuat kita jadi agak sadar: selama ini pariwisata memang buat siapa, ya?
Kendati demikian, pariwisata sudah terlanjur dan tetap bersifat tourist-minded; turis adalah pusat, sentral. Membalik logika dan wacana dominan sejatinya adalah pertarungan ontologis: apa itu pariwisata? Selama ini, jawaban untuk pertanyaan itu sederhana: pariwisata adalah turis. Budaya didandani, dikomodifikasi, ditampilkan untuk turis. Atraksi wisata diatur dan dijaga untuk turis. Hotel dan restoran dibikin untuk turis. Pariwisata dibangun, dipromosikan, dikelola, dan dijaga untuk turis.
Selama ini pariwisata memang buat siapa, ya?
Narasi akademis berkelindan dengan pengalaman riil di industri, juga di tempat-tempat wisata, di mana keinginan/kepuasan wisatawan harus selalu diutamakan, diprioritaskan. Keinginan aktor lain hanyalah sekunder, dan hanya relevan apabila ia bertalian dengan keinginan turis. Jika bertentangan, maka turis akan diutamakan; karena tanpa turis, apalah arti turisme. Relasi kuasa yang tak seimbang itu adalah struktur tak-terlihat yang selama ini melandasi pariwisata di banyak tempat. Turis dulu, lokal kemudian: seperti itulah wacana dominan yang ada, baik di industri maupun naskah akademis.
Kisah tentang bikini di Lhoknga
Tentu saja, realitas empirik lebih kompleks dari klise-klise yang disediakan di kuliah pengantar pariwisata atau buku-buku teks kajian pariwisata. Di banyak tempat, pada praktiknya, subjek dan/atau kultur masyarakat lokal tak selalu inferior vis-à-vis subjek/kultur wisatawan. Praktik-praktik semacam itu kemudian bisa menjadi semacam alternatif cara pandang (paradigma) dalam memahami pariwisata.
Adalah sebuah kisah tentang bikini di Lhoknga, Aceh, yang membuat saya berpikir soal anti-wacana, untuk menandingi keresahan saya soal absennya (atau minimnya) subjek masyarakat lokal di silabus mata kuliah yang saya ampu.
Aceh, kita tahu, kental dengan praktik dan hukum berbasis syariat Islam. Di sisi lain, di pantai barat Lhoknga, wisata selancar (dan wisata pantai secara umum) adalah segmen wisata dominan. Sejak 1970-an, peselancar asing rutin menyambangi Lhoknga pada musim angin timur (kira-kira Oktober-April). Tak ada masalah dengan selancar dan syariat. Yang menjadi pertanyaan saya: bagaimana soal turis perempuan yang ingin berbikini di pantai? Atau, bagaimana soal kebiasaan turis asing lain di darat, terutama yang terkait berpakaian (bertelanjang dada, baju tipis, bawahan pendek)?
Dalam kacamata pariwisata yang puritan, kita akan dengan mudahnya bilang bahwa turis bebas berkini di pantai mana saja, termasuk di Indonesia yang katanya beradat ketimuran, termasuk pula di Aceh yang kental dengan praktik kebiasaan berbasis syariat Islam, di mana norma kesopanan soal berpakaian (atau tidak berpakaian) diatur lumayan ketat secara baik tertulis maupun tak tertulis. Jika turis dilarang berbikini, maka itu akan jadi kerugian tempat itu, karena gagal mengakomodir keinginan/kebiasaan turis, dan imbasnya akan gagal memenuhi ekspektasi/kepuasan turis, yang dapat berdampak pada pudarnya citra/image tempat tersebut atau merosotnya pendapatan sektor pariwisata di tempat tersebut.
Yang terjadi di Lhoknga adalah sebaliknya. Bukan berarti turis dilarang sepenuhnya berbikini, tapi mereka dipersilakan mencari tempat yang jauh dari keramaian jika ingin berjemur sambil berbikini. Jika ada turis yang berbikini di pantai yang ramai oleh masyarakat sekitar, masyarakat akan datang dan menegurnya. Sedikit turis, konon, gusar dengan perlakuan semacam itu. Namun, mayoritas memahami alasannya.
Turis-turis yang lebih peka terhadap kultur setempat bahkan sama sekali tak berbikini ketika berlibur di Aceh. Turis laki-laki dan perempuan juga akan berpakaian sopan di jalanan atau tempat umum lain, seperti memakai bawahan yang tidak terlalu pendek, memakai atasan yang tidak terlalu tipis, dan sebagainya. Di laut, ketika sedang berselancar atau berenang, tentu saja mereka bebas bertelanjang dada atau berbikini. Namun, ketika kembali ke darat, mereka tahu harus segera menutupi tubuhnya.
Wisatawan yang peka tak akan masalah soal itu; yang tak peka biasanya akan segera pulang ke tempat asalnya.
Pengelola jasa wisata lokal, seperti pemandu atau staf penginapan, juga tak segan menerangkan soal kebiasaan berpakaian di Aceh. Tujuannya agar wisatawan tidak ‘melanggar’ norma setempat dan menimbulkan masalah sosial. Wisatawan yang peka tak akan masalah soal itu; yang tak peka biasanya akan segera pulang ke tempat asalnya.
***
Tak hanya Aceh, rasanya pengalaman-pengalaman semacam itu juga terjadi di tempat-tempat wisata lain, di mana turis yang datang (juga industri pariwisata) harus tunduk pada nilai, norma, adat, kebiasaan, dan/atau budaya setempat. Kepuasan turis bukan segalanya, dan bukan harga mati. Kita tak perlu selalu harus tunduk pada turis dan segenap keinginannya. Bukan berarti ia tak penting, tapi ia harus didudukkan sejajar dengan keinginan/harapan aktor-aktor pariwisata lain, terutama masyarakat lokal.