Ini cerita lama. Pertengahan 2016, saya berkesempatan untuk mengunjungi Lanny Jaya di pegunungan tengah Papua. Tidak cukup lama, hanya sekitar dua bulan.
Pada perjalanan tersebut, saya mengamati upacara “bakar batu” atau barapen dalam bahasa setempat. Barapen dilakukan oleh masyarakat pegunungan tengah Papua untuk mengucap syukur atas kelimpahan yang diberikan Tuhan, seperti kelulusan anak sekolah, peresmian gereja, atau peresmian kantor kepala daerah. Semuanya bersifat seremonial.
Pada dasarnya, barapen berarti memasak dengan mematangkan bahan makanan di dalam lubang kecil di dalam tanah. Sejak zaman dulu, masyarakat Lanny Jaya sudah memasak dengan cara ini di rumah masing-masing, tetapi hanya berskala kecil. Saat ini, masyarakat biasanya memasak menggunakan kayu bakar dengan panci alumunium. Sedangkan barapen dijadikan wujud pesta syukur dengan skala besar. Siapa pun yang mengenal tuan rumah dan warga setempat, termasuk dari kampung sebelah, akan diundang.
“barapen berarti memasak dengan mematangkan bahan makanan di dalam lubang kecil di dalam tanah”
Saya mengikuti dua acara barapen yang terbilang cukup besar. Satu di antaranya merupakan syukuran atas peresmian Gereja Kristen Dukom. Ribuan orang diundang dan setidaknya 300 ekor babi dipotong.
Ada beberapa proses yang dilakukan selama barapen. Awalnya, para laki-laki menggotong babi dengan tandu ke area upacara, lalu memotongnya dengan cara membelah bagian wajah sampai buntut. Kelompok laki-laki yang lain mempersiapkan batu panas dan tongkat untuk mengambilnya. Para perempuan menyusul dengan membawa sayuran dan ubi atau petatas.
Setelah semua berkumpul, mereka mulai membuat lubang di tanah dengan diameter sekitar dua meter dan kedalaman sekitar 1,5-2 meter. Ukuran lubang ini sebetulnya cukup bervariasi, menyesuaikan jumlah makanan yang hendak dimasak. Bersamaan dengan itu, warga juga membakar batu-batu besar, seukuran buah kelapa, dalam jumlah banyak. Kemudian, mereka menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak, yakni sayur ubi (dapat diganti sayuran lain), ubi atau petatas, dan komponen utama: babi.
Untuk memasaknya, warga menumpuk bahan-bahan itu ke dalam lubang sesuai urutannya. Daun alas dimasukkan paling pertama, lalu batu panas (hasil dibakar sebelumnya), sayuran, babi yang dibelah besar-besar, ubi atau petatas, sayuran lagi, batu panas di bagian atas, dan daun kering. Terakhir, semua bahan ditutup dengan kain terpal dan didiamkan sekitar dua jam. Sambil menunggu, beberapa warga pulang ke rumah untuk bersih-bersih.
Semua warga baru hadir kembali ketika makanan matang. Babi dipotong kotak-kotak ukuran 7-10 cm untuk disantap di tempat bersama sayuran dan petatas. Kemudian, ada bagian yang dipotong lebih besar untuk dibawa pulang.
Tidak lupa juga, selama upacara berlangsung, pemimpin agama terus menyerukan doa dan ucapan syukur kepada Tuhan.
Babi sebagai elemen utama
Barapen tidak terlepas dari babi atau wam dalam bahasa lokal. Meski kadang masyarakat setempat mengganti babi dengan ubi atau petatas—menghormati tamu yang tidak makan babi—babi lebih sering jadi elemen penting. Hal ini sebenarnya tidak serta-merta karena masyarakat menyukai hewan tersebut, tetapi ada cerita tersendiri di balik makna babi bagi masyarakat Lanny Jaya.
Cerita pertama dianggap paling masuk akal oleh masyarakat setempat. Sejak zaman dulu, masyarakat Lanny Jaya di pegunungan tengah Papua hidup sangat miskin. Mereka tidak memiliki uang, emas, gading gajah, atau apa pun yang bisa dibanggakan sebagai harta. Status sosial mereka pun tidak pernah berupa material.
Akhirnya, setelah sekian lama, masyarakat baru menggunakan babi sebagai representasi harta material mereka. Babi dipilih karena termasuk salah satu hewan paling besar yang ada di pegunungan tengah. Jadi, mau-tidak mau babi yang dipilih.
“Babi dipilih karena termasuk salah satu hewan paling besar yang ada di pegunungan tengah”
Cerita kedua berasal dari legenda masyarakat setempat yang masih dipercaya dan diceritakan secara turun menurun. Legenda itu secara garis besar mengisahkan suatu keluarga yang tinggal di dekat Kurima, Yahukimo—nenek moyang orang Lanny Jaya diyakini berasal dari daerah ini. Keluarga itu terdiri dari tiga kakak laki-laki dan seorang adik perempuan bernama Musan. Mereka hidup dengan kondisi sangat miskin.
Suatu waktu, Musan meminta ketiga kakaknya pergi ke sebuah pohon yang ditunjuknya tiga hari kemudian. Namun, ia tiba-tiba menghilang. Kakak-kakaknya menerka ada hubungan antara petuah tentang pohon dan misteri hilangnya sang adik.
Beberapa hari berselang, ketiganya pun mendatangi pohon yang disebutkan Musan. Di sana, mereka menemukan beberapa ekor babi. Mereka teringat permintaan sang adik agar tidak saling berebut jika menemukan sesuatu di pohon itu. Barang tersebut boleh digunakan sebagai harta mereka, baik mas kawin, alat tukar, maupun makanan.
Mereka mempercayai babi sebagai titisan adiknya yang sangat mencintai kakak-kakaknya. Karena itu, babi dinilai sangat mahal dan bermakna.
Kristen dan babi, tidak terpisahkan
Tiom, ibu kota Lanny Jaya, diyakini sebagai pusat penyebaran agama Kristiani pertama di pegunungan tengah Papua. Aktivitas ini dilakukan pada 1956 oleh sepasang misionaris agama Kristen asal Australia. Sejak saat itu, para misionaris asing maupun lokal secara silih berganti mendatangi masyarakat. Agama Kristiani pun berkembang pesat di Lanny Jaya.
Oleh sebab itu, tidak heran jika masyarakat di sana selalu menggunakan agama sebagai referensi dalam menjalani hidup. Kepercayaan agama Kristen selalu mengajarkan soal bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan. Ajaran ini tentunya berkaitan dengan barapen, yang merupakan praktik simbolik untuk mengucap syukur.
Bicara soal barapen dan babi, saya teringat cerita di kitab suci beberapa agama tentang manusia yang memberikan persembahan terbaik kepada Tuhan. Pelaksanaan barapen-pun jadi masuk akal. Masyarakat merasa diberkati Tuhan sehingga mereka harus mengucap syukur. Caranya dengan melakukan barapen. Bahan yang perlu disiapkan untuk syukuran itu adalah bahan terbaik yang mereka punya, yakni babi.
Mengutip antropolog Marvin Harris dalam Cows, Pig, Wars and Witches: The Riddles of Culture (1974), penggunaan babi di upacara bakar batu bisa dianggap sebagai bagian dari materialisme kultural. Alias, bentuk material yang dimaknai tertentu (dalam hal ini harta) untuk melanggengkan kebudayaan dan semangat religius masyarakat setempat hingga saat ini.
Selain itu, masyarakat Lanny Jaya mengartikan berkumpul, membelah babi, dan memasak sebagai pesta. Ada kelimpahan Tuhan yang perlu disyukuri. Wujud syukur itu perlu dilakukan dan dibagi dengan semua warga, agar sama-sama senang. Mari berpesta!