Kita sebenarnya tak pernah mencari buku. Buku-buku yang menemukan pembacanya. Dengan itu, saya bertemu tiga buku. Unlikely Destinations (Tony dan Maureen Wheeler) mendapati saya di Periplus Lotte Shopping Avenue kala saya bosan menunggu kawan yang tak kunjung datang. Barbarian Days (William Finnegan) mendatangi saya di sebuah sore musim semi di toko buku Mollat di jantung kota Bordeaux. Dan, A Fortune Teller Told Me (Tiziano Terzani) adalah kisah yang terus diulang seorang teman Italiano. Saya memesannya secara daring usai bincang malam dengan sepasang kekasih yang mengagumi Terzani.
Ketiganya kisah perjalanan yang menyentuh Indonesia. Tiap kisah punya pencariannya masing-masing. The Wheelers menyambangi Indonesia demi mengumpulkan bahan untuk Southeast Asia on a Shoestring, buku kedua yang diterbitkan Lonely Planet. Finnegan mencari ombak di Bali, Grajagan, dan Nias. Sedangkan Terzani singgah di Bintan dan Medan untuk menggali berbagai cerita supranatural dan bertemu dukun-dukun lokal.
Indonesia hanyalah bagian kecil dari perjalanan panjang yang dilalui keempat penulis tersebut. Jadi, sebenarnya saya sedang menuturkan kembali potongan-potongan kecil yang berserakan tentang Indonesia.
Dari Timor ke Medan
Tony dan Maureen Wheeler pertama kali tiba di Indonesia pada 1972 dalam kelana panjang mereka dari London ke Sydney. Tapi, kunjungan itu terlalu singkat dan terburu-buru. Sampai di Singapura, mereka kehabisan uang. Lantas, Tony meminjam 50 pounds dari orang tuanya. Sisa uang itu harus cukup sampai Sydney. Maka, mereka tak punya cukup uang dan waktu untuk mengeksplorasi Indonesia kala itu.
Dari Singapura, mereka bertolak ke Tanjung Pinang dengan kapal. Lalu Tampomas membawa mereka ke Jakarta dalam perjalanan laut selama 36 jam. Mereka tak mampu membeli tiket penerbangan langsung Jakarta-Sydney, maka perjalanan darat Jawa-Bali ditempuh. Di Bali, Maureen terkesima bukan main. Ia menyebut Bali sebagai “mimpiku yang sempurna tentang suatu pulau tropis” dan “hampir terlalu indah untuk jadi nyata”. Keberuntungan mendatangi mereka. Sebuah kapal akan bertolak dari Bali menuju Selandia Baru. Mereka menawarkan diri sebagai kru dan akhirnya mencapai Australia via laut.
Dua tahun berselang, 1974, mereka kembali ke jalanan. Tinggal di Sydney, mereka tahu mereka tak bisa melewatkan Indonesia lagi kali ini. Mereka telah merintis Lonely Planet, panduan perjalanan yang kemudian kerap disebut sebagai kitab suci kaum backpacker. Buku pertama mereka, Across Asia on the Cheap, laku keras. Mereka tak sabar menerbitkan yang kedua, yang akan berisi perjalanan mereka di Asia Tenggara.
Mereka mulai dari Baucau, Timor Leste (mereka menyebutnya Portuguese Timor). Pesawat mereka mendarat di situ dari Darwin, bersama motor Yamaha DT250 bekas yang akan membawa keduanya menjelajahi Indonesia. Maureen dan Tony melintasi jalan-jalan tanpa aspal “yang tak mungkin bisa dilewati” dan “yang lebih menyerupai dasar sungai yang kering” di sepanjang Timor dan Flores, lalu melewati Sumbawa dan Lombok sebelum menghabiskan berminggu-minggu di Bali.
Seperti banyak kisah pelancong tentang Bali, versi Tony dan Maureen pun mengandung semacam kekhawatiran akan pariwisata massal yang pelan-pelan mencengkeram Kuta dan sekitarnya. “Kami tak mengabaikan Kuta, meski ia telah berkembang secara dramatis sejak kunjungan pertama kami (dua tahun sebelumnya). Desa Legian di sebelahnya sudah mulai menjalani hal yang sama,” tulis mereka. Kendati begitu, Bali 1974 menyimpan “banyak memori indah” untuk keduanya, termasuk ketika pada suatu senja mereka tak sengaja mendapati pertunjukan tari tradisional Bali di sebuah desa di Ubud.
Dari Bali, mereka menyeberang ke Jawa. Mereka mendaki Bromo, mengunjungi Borobudur dan Prambanan, menyambangi Solo, Dieng, Bandung, dan Bogor, lalu akhirnya tiba di Jakarta. Di ibu kota, mereka akhirnya menemukan Jalan Jaksa yang pada 1972 gagal mereka dapati. Mereka melanjutkan kelana ke Sumatra, via Selat Sunda.
Petaka tiba di Jambi. Kamera Tony dicolong orang ketika mereka sedang terlelap tidur di sebuah gubuk pinggir jalan. “Kami yakin lewat jendela seseorang menggunakan tongkat dan mengangkat kamera itu dari meja,” ujar Tony, pasrah. Di Jambi pula mereka mendapati “semangat mereka ada di titik terendah”. Jalanan berbatu menggugurkan salah satu kerangka motor yang terpaksa disangga dengan bambu serta kawat. Lalu hujan turun begitu deras dalam perjalanan dari Jambi ke Padang. “Rasanya seperti Niagara mengalir deras ke tubuh kami,” begitu kiasan mereka.
Di Muara Tebo, seperti pelangi sehabis hujan, nasib mereka tiba-tiba saja membaik. Mereka tiba di sana setelah gelap. Tak ada hotel. Tapi, takdir yang manis mempertemukan Tony dan Maureen dengan seorang perempuan yang menyilakan keduanya tidur di rumahnya. Mereka disiapkan air panas untuk mandi dan dibawa ke kamar tidur “dengan kasur elegan, kelambu, dan seprai yang sebenarnya”. Mereka menganggapnya sebagai “salah satu kamar terbaik yang kami dapati sepanjang tahun”.
Setelah itu, mereka mencapai Padang, Bukittinggi, dan Danau Toba. Samosir, bagi mereka, adalah “tempat paling santai setelah Bali”. Ketenangan Danau Toba berakhir ketika mereka menginjakkan kaki di Medan yang “kotor dan berisik”. Dari situlah mereka meninggalkan Indonesia, dengan Malaysian Airlines menuju Penang.
Komuni dengan ombak
Banyak orang mengenal William Finnegan sebagai jurnalis perang ulung yang bekerja untuk The New Yorker. Tapi, sedikit yang tahu bahwa ia peselancar yang pernah mencicipi ombak-ombak di banyak tempat di bumi. Indonesia salah satunya. Pada 1979, Finnegan terbang ke Indonesia bersama rekan perjalanannya, Bryan Salvatore. Sudah lebih dari setahun mereka bertualang untuk “menemukan” ombak di belahan dunia lain. Mereka ke pulau-pulau di Pasifik Selatan, Australia, lalu akhirnya tiba di Bali.
Di Bali, Bryan langsung mengolok-olok persepsi para peselancar Australia tentang “surga berisi ombak-ombak sepi dan orang Hindu lokal yang lembut”. Ia menulis sebuah artikel untuk Tracks, majalah selancar Australia, dan melaporkan bahwa Bali sudah dibanjiri peselancar dan turis. Katanya: Bali ialah tempat di mana kita bisa “melihat laki-laki dan perempuan Eropa telanjang bulat, mendengar kebohongan peselancardari seluruh dunia, dan menyewa pengangkut papan selancar seraya merasakan sensasi kolonialisme yang membikin pening”.
Finnegan setuju, tapi ia tetap menyukai Bali. Denpasar memberinya inspirasi untuk menulis novel yang tak kunjung rampung, sedang Uluwatu memelihara relasi religiusnya dengan ombak dan lautan. “Spot yang paling dalam menancapkan pesonanya padaku adalah ombak kiri besar yang sudah terkenal bernama Uluwatu,” tulisnya. Pada hari-hari tertentu, ia melukiskan Uluwatu sebagai “tembok biru besar yang tak pernah kulihat di tempat lain”. Ombak Uluwatu “dangkal dan sangat cepat”, membuat karang-karang di bawahnya menyisakan banyak tanda luka di kaki, tangan, dan punggung Finnegan.
Kuta memikat Finnegan dengan caranya sendiri. “Rasanya seperti menghadiri konferensi dunia untuk para penggila ombak,” katanya. Di pantai, losmen, bar, atau di mana saja, para peselancar membahas ombak dengan intensitas yang gila. Mereka mendiskusikan karakter ombak dengan sangat detail, kadang sampai harus mencoret-coret pasir untuk memberi gambaran yang lebih jelas. Seperti seorang guru yang mencoret-coret papan tulis.
Finnegan dan Bryan melanjutkan ziarah ombak mereka ke Grajagan di ujung selatan Banyuwangi. Mereka ditemani dua peselancar lain yang mereka temui di Bali. Grajagan, pada 1979, adalah mitos selancar. Di pertengahan 70-an, surfer Amerika bernama Mike Boyum pergi ke sana dan membangun kamp untuk tempat tinggalnya. “Ini ekspedisi yang sulit,” kenang Finnegan. Ia mengeluhkan proses tawar-menawar yang rumit dengan nelayan setempat, yang dimintai tolong untuk mengantar mereka ke Grajagan. Dengan jukung, mereka akhirnya tiba di sebuah teluk kecil dan menemukan sisa-sisa rumah pohon (terbuat dari bambu) bikinan Boyum. Di sanalah mereka tinggal.
Orang lokal menyebut titik berselancar itu Plengkung. Teluk yang ditinggali Finnegan dkk. adalah bagian dari Alas Purwo, habitat alami harimau jawa, banteng, dan berbagai spesies lain. Satu minggu di Grajagan dilabeli Finnegan sebagai “nasib sial” (“misadventure”). Jeriken-jeriken berisi air yang mereka bawa ternyata bekas bensin, sehingga beberapa terpaksa dibuang, dan mereka mengatur jadwal minum dengan sangat ketat. Gendang telinga Bryan pecah di sesi surfing pertama mereka. Dan, frustrasi menjadi tema harian di atas ombak. Ia mencatat: “The waves were not good as they looked … Frustration is a big part of surfing.”
Dari Grajagan, Finnegan dan Bryan bertolak menuju Nias. Mereka melalui kota-kota di Jawa dengan bus dan kereta, lalu menyebrang ke Sumatra, hingga akhirnya tiba di Padang. “Setelah Jawa, Sumatra adalah perubahan yang menyegarkan buat kami. Lebih berbukit-bukit, tak terlalu padat,” demikian kesan yang ditangkap Finnegan. Mereka pergi ke Nias dengan kapal feri kecil dari Padang, melalui badai yang mengerikan, dan tiba di dermaga kecil Teluk Dalam pada sebuah pagi yang abu-abu dan lembap.
Alkisah, ketika singgah di Pasifik Selatan, seorang kneeboarder asal Australia memberi mereka “peta harta karun” yang berisi lokasi Nias. Di Lagundri, Finnegan membuktikan kebenaran harta karun itu. Ombak Lagundri adalah ombak kanan yang sempurna (“an immaculate right”). Minggu pertama sangat menyenangkan: ombak konsisten. Sampai akhirnya badai selama dua hari penuh sedikit mematikan ombak-ombak di sana. Tak hanya itu, Finnegan terserang malaria dan panas dingin. Namun, perlahan keadaan membaik lagi.
Perjalanan surfing pada akhirnya bukan hanya tentang ombak. Di sela-sela komuni dengan ombak, Finnegan bertemu dan berteman dengan banyak orang. Entah itu peselancar atau warga lokal. Dari situ ia menggali banyak cerita, seperti tragedi pembunuhan massal 1965, jam karet ala Indonesia, atau betapa tak adilnya menjadi “orang putih kaya di dunia miskin orang kulit cokelat”. Ombak menjadi medium yang menghubungkan Finnegan dengan cerita-cerita itu.
Kurang lebih enam minggu Finnegan dan Bryan berdiam di Lagundri sebelum akhirnya ke Singapura. Mereka berencana berpisah di sana. Bryan kembali ke Amerika, Finnegan lanjut ke Afrika. Di hari terakhir di Nias, keduanya mengendarai satu ombak yang sama. Hal yang sebelumnya tak pernah mereka lakukan. Perpisahan manis.
Jangan kencing menghadap matahari
Terzani sampai ke Bintan dan Medan karena seorang peramal nasib di Hongkong melarangnya naik pesawat sepanjang 1992. Jika tidak ia bisa mati. Koresponden Asia untuk Der Spiegel itu pun menurutinya. Maka, pada tahun itu Terzani—yang bermukim di Bangkok—hanya menggunakan moda transportasi darat dan air untuk bepergian. Dengan itu pula takdir mengantarnya ke Bintan, setelah ia lelah dengan Singapura yang begitu artifisial. Sebagai catatan, Terzani menyebut Bintan sebagai Pulau Pinang.
Selama 1992, selain demi tuntutan pekerjaan sebagai jurnalis, Terzani mendedikasikan perjalanan-perjalanan yang ditempuhnya untuk mencari cerita-cerita tentang dunia gaib, ramal-meramal, dan perdukunan. Di tiap tempat yang ia singgahi, ia selalu mencari peramal atau dukun setempat. Tak terkecuali di Pulau Pinang.
Dukun pertama yang ditemuinya tinggal di kedalaman hutan, kira-kira satu jam perjalanan dari Tanjung Pinang. Namanya Ismail, 77 tahun. Menurutnya, Terzani baik-baik saja. Tak ada orang yang punya rencana jahat (“evil eye”) untuknya. Lalu, sang dukun memberinya minyak urapan untuk menolak bala. Terzani hanya perlu mengoles minyak itu ke jidatnya tiap kali merasa dalam ancaman. Tapi, ada satu tabu yang tak boleh dilanggar. “Jangan pernah kencing menghadap matahari!” tandas dukun Ismail. Jika tabu dilanggar, minyak itu pun akan kehilangan kekuatannya.
Terzani terkesan dengan Ismail. “Dia adalah peramal pertama yang sama sekali tak menyebut soal uang, soal menjadi kaya atau tidak,” ungkapnya. Sebelum ke Indonesia, dia telah mendatangi beberapa peramal/dukun di Thailand, Malaysia, dan Singapura, tapi semuanya selalu membahas uang. Padahal, ia sendiri tak tertarik dengan urusan jadi kaya atau miskin. Tak mengherankan jika dukun Indonesia membuatnya semringah.
Selain bertemu dukun, Terzani juga menulis kisah-kisah supranatural yang didapatnya dari orang-orang yang ditemuinya. Nordin, penerjemahnya selama di Pinang, mengaku pernah “dikerjai” orang yang iri pada kemampuannya berbahasa Inggris. Dia punya jimat yang selalu dibawanya ke mana-mana. Lalu, Terzani bertemu seorang Australia bernama Michael yang menaruh minat khusus pada orang Bunian, mitos makhluk halus yang dipercaya banyak orang di Sumatra. Dan, yang paling menarik adalah pertemuannya dengan Romo Willem, seorang pastor Katolik yang sedang singgah di Pinang.
“Di sini sihir adalah dunia nyata. Jika kamu tak memahami itu, kamu tak memahami apa pun soal Indonesia. Sihir ada di mana-mana. Sihir menentukan kehidupan orang lebih dari apa pun juga,” tandas Romo Willem. Pada 1960, ia datang ke Indonesia dari Belanda sebagai misionaris. Awalnya, sebagai orang Eropa, ia tak percaya sihir dan menganggapnya tak masuk akal. Lambat laun, ia belajar menaruh respek pada ilmu sihir. “Bahkan saya bisa bilang bahwa saya memercayainya,” lanjut dia. Menurutnya, agama-agama impor yang dianut orang Indonesia hanya “permukaan” saja. Di bawah permukaan itu terdapat kepercayaan-kepercayaan magis yang lebih kuat diimani dan “lebih murni”.
Sebelum bertolak ke Medan, Terzani sempat bertemu dukun tertua di Pulau Pinang. Ia tinggal di Kijiang, sebelah timur pulau, dan berusia lebih dari 100 tahun. Sang dukun mendoakan Terzani saat pamit, sebelum ia berlayar ke Medan. Pada mulanya, ia berencana pergi ke Jakarta. Ia sudah membeli tiket dan menyiapkan semuanya. Tapi, mimpi buruk dan firasat aneh menghantuinya. Ujung-ujungnya, ia membatalkan Jakarta dan memilih Medan. “Toh dari situ akan lebih mudah kembali ke Bangkok,” tulisnya.
Di Medan, Terzani menyambangi sebuah kuil Cina eksentrik yang dikelola beberapa biarawati vegetarian. Salah satu dari mereka bisa meramal dengan membaca kelopak-kelopak bunga. Si biarawati meramal bahwa Terzani akan memiliki dua istri. Bahkan, ia akan bertemu istri mudanya bulan depan! Ia tertawa geli dan tak kuasa menggoda sang peramal-biarawati: “Mungkinkah istri kedua itu engkau?” Sebelum pulang, Terzani dibekali jimat berupa kelopak-kelopak bunga yang sudah diberkati. Pantangannya? Ia harus jadi vegetarian.
Indonesia akan segera berakhir bagi Terzani. Dia akan menumpang feri yang membawanya ke Butterworth, Malaysia. Sayang, ia menutup bab Indonesia dengan kekecewaan. Sebelum pergi, ia bertemu cucu seorang dukun asal Toba. Usut punya usut, ayahnya anak pertama dari istri pertama si dukun. Jelang ajal, si dukun ingin mewariskan kekuatan saktinya pada anak pertamanya itu. Tapi, si anak menolak. Ia memeluk Kristen dan bahkan telah menjadi pendeta. “Kakek meninggal dengan sangat kecewa karena gagal meneruskan rahasianya,” tukas si cucu. Sebuah halaman telah robek dari buku pengetahuan manusia.