“Saya mengenal hijau. Pada hutan yang selalu memberi keberanian, pada rasa lega oleh siulan burung yang hinggap di dahan. Namun biru, saya tidak kenal. Bagaimana rupa terumbu karang dan ikan-ikan laut, yang bersama burung di udara diciptakan pada hari kelima, saya tak tahu“.
Malam labuh. Pagi tumbuh. Pintu dorong besi menjadi pagar selasar Malioboro yang sepi. Sedikit orang lalu lalang pelan, dan tiga lainnya tergeletak tidur di selasar depan sebuah toko yang belum buka. Sepi. Suasana Malioboro yang bertolak belakang dengan waktu lainnya. Sementara gerimis tipis menambah kesenduan pertanyaan tentang, mengapa saya harus melakukan perjalanan ini?
Saya berjalan dengan mata yang enggan terbuka karena kurang tidur. Membawa beban dua ransel di punggung dan dada membuat langkah sedikit gontai. Tujuannya, Stasiun Tugu. Jarak antara rumah dan stasiun yang dekat, membuat saya selalu berjalan kaki menyusuri Malioboro jika hendak menuju di antara keduanya. Saya selalu senang menikmati sepinya Malioboro, yang biasa hadir pada belum jadinya pagi. Sendu yang asyik.
Awal hari ini saya hendak melakukan perjalanan ke Surabaya dengan kereta api dan akan dilanjutkan menuju tujuan akhir Makassar dengan kapal laut.
Ini kali pertama saya melakukan perjalanan laut yang panjang. Sesuai jadwal di tiket, kapal berangkat pukul empat sore waktu Surabaya, dan akan berlabuh di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, pada pukul 11 malam hari berikutnya. Tiga puluh satu jam dikurangi perbedaan waktu antara Indonesia Bagian Barat dan Tengah akan saya habiskan di atas laut. Amboi! Tiga Puluh jam terapung-apung menghadang di depan mata. Antara rasa senang karena melakukan perjalanan lagi—sesuatu yang telah lama tak dilakukan—dan getar takut atas laut saling tukar di hati.
Lawatan saya ke Makassar adalah ajakan impulsif Syukron, seorang teman, yang tinggal di Gowa, setengah jam dari Makassar. Kebetulan Syu, begitu saya memanggil, sedang berada di Yogyakarta, mengajak saya untuk bersamanya menuju Makassar.
“Ikut sa aja gimana sekalian? Sa rencana (naik kereta dari Yogya ke Surabaya (lalu) naik kapal (ke Makassar),” tulisnya di suatu pesan singkat.
Undangannya itu bukan yang pertama. Syu telah beberapa kali mengundang saya untuk datang ke rumahnya. Berawal pada suatu waktu melalui WhatsApp beberapa bulan lalu, Syu mengirimkan berkas PDF tentang Kebun Tetangga Samata, kegiatan yang dilakukan bersama istrinya, Wulan, bertanam dan beternak di atas lahan terbengkalai milik seorang bapak. Saat itu—dan beberapa ajakan berikutnya—saya menolak dengan beragam alasan yang salah satunya adalah ketakutan saya akan akan laut. Sementara untuk menggunakan pesawat, saya sedang tidak mampu.
Tepat waktu kereta api Sancaka mulai melaju di antara hujan yang semakin deras. Bulir-bulir air hujan yang jatuh dan segala pandangan berjalan mundur. Tersemat harap, semoga tidak pusing, karena menempati tempat duduk yang berlawanan dengan arah laju kereta. Semakin ke sini, saya merasa semakin ringkih, jika enggan dikatakan manja. Jika ada sesuatu yang berjalan tidak seperti biasanya, muncul rasa khawatir berlebih. Yang mabuk, lah. Takut, lah. Belum pernah, lah. Ada saja kekhawatiran muncul yang bisa menghambat langkah untuk maju. Nyatanya, perjalanan kereta api berakhir tanpa kendala apapun hingga sampai di Surabaya. Bahkan untuk memutuskan, haruskah menerima ajakan Syu, saya perlu banyak pertimbangan. Langkah kaki kali ini tak serta merta mampu saya putuskan. Pertanyaan demi pertanyaan hinggap membuat ragu. Apakah saya harus benar-benar melakukan perjalanan ini? Apa yang akan saya lakukan di Gowa, entah sampai kapan. Apa yang akan saya dapat di sana dan apakah uang yang saya keluarkan akan sebanding dengan perjalanan ini? Apakah perjalanan laut saya akan selamat? Masihkah ada usia saya kemudian? Bagaimana kalau saya mati tenggelam di laut? Saya harus meminta dibacakan garis tangan oleh Mbak Rika, seorang sahabat, untuk mencari jawaban.
“Ini wis Oktober, lho, non. Seharusnya kamu sudah pergi,” ucapnya mengingatkan saya pada pembacaannya sebelumnya. Ia melanjutkan, “Nek kenthikkan dhit, takkorek-korek seka kene.”
Perkataannya senada dengan pendapat Mas Ari, seorang teman lain yang saya tanyakan pendapatnya, “Pengalaman enggak bisa dibandingkan dengan uang, non.”
Saya tertegun, dua teman baik saya mendukung perjalanan ini, yang entah untuk apa. Mereka menginginkan saya pergi ke pulau seberang mencari pengalaman. Maka saya berangkat.
Lepas makan siang di sebuah warung rawon dekat Stasiun Gubeng, kami—saya dan Syu—bergegas menuju Pelabuhan Tanjung Perak. Meninggalkan Indra, seorang teman yang menjamu kami beberapa jam di Surabaya, dengan tagihan makan siang.
Taksi terus melaju ke utara. Lepas kawasan kolonial di tengah kota, bersambung dengan pecinan yang sejak dulu memang mendekati pelabuhan. Hingga akhirnya hujan jatuh ketika kami tiba di Tanjung Perak.
Ketakutan akan laut yang sempat hilang karena sepiring nasi rawon kembali muncul satu demi satu bersama rinai hujan. Ada sendu yang entah apa berdiam di area gelap dalam dada. Saya takut laut. Dan perjalanan kali ini bukan hal yang mudah untuk saya lalui.
Di pelabuhan, saya merasakan dunia yang berbeda. Jawa yang bukan Jawa, selain merasakan Indonesia yang mundur beberapa tahun dari sekarang, yang tak bisa saya jelaskan selain nuansa. Memasuki ruang tunggu, dari balik jendela kaca ruang tunggu pelabuhan, saya melihat sebuah kapal laut besar. Dindingnya terbagi dua warna. Bawah berwarna krem, sementara putih di atasnya. Di dinding krem tertulis Nggapulu. Empat lantai dek yang mampu saya lihat, entah lainnya. Panjang dan lebarnya tak mampu diperkirakan. Yang pasti, Nggapulu adalah kapal terbesar yang pernah saya lihat.
Syu berkata, gunung dipakai untuk menamai kapal laut. Nggapulu adalah nama salah satu puncak Gunung Jaya Wijaya di Papua, selain ada kapal lain seperti Sinabung, Kelimutu, dan Dabunsolo. Dia tak tahu persis alasannya. Sementara saya hanya mengira, bahwa harapannya agar tak tenggelam. Gunung dan laut menjadi bentangan alam yang memiliki cerita mitologi sehingga dipercaya sebagai guru bagi masyarakat di rimbanya. Ketika gunung dipercaya sebagai jembatan menuju Swarga Loka, laut adalah kosmos lain. Maka, ketika kapal laut menggunakan gunung sebagai nama, berharap paus besi itu tetap berdiri tegak seperti gunung di atas laut.
Tiga sore waktu Surabaya. Mengulur jarak di belakang Syu, saya melangkah memasuki kapal. Langkah yang masih saja gontai semakin goyang. Entah karena berpijak pada laut, atau karena ketakutan akan laut, atau entah apa. Melewati tangga, kami memasuki area kabin penumpang yang berisi deretan tempat tidur dengan kasur tipis berwarna hijau. Kabin yang lebih menyerupai barak pengungsian. Saya bergumam dalam hati, ini adalah tempat saya selama 30 jam ke depan. Pertanyaan kembali muncul, bisakah saya tidur dengan lampu yang tentu saja akan terus menyala beserta bising suara manusia serta kemungkinan lain? Melewati pintu kamar mandi, muncul pertanyaan lain, bagaimana rupanya? Bersihkan ia? Lancarkah airnya? Bisakah saya buang air besar? Di hadapan kabin tidur dengan nomor 508, sesuai yang tertera di tiket, saya duduk lunglai.
Suara terdengar dari pengeras, bahwa kapal akan mengalami keterlambatan karena masih dalam proses bongkar muat. Saya putuskan untuk menenggak obat anti mabuk agar tidur. Dua jam berlalu, kapal tak jua menjauhi dermaga. Harapan waktu layar akan berkurang menjadi sia-sia. Dan ketika suara terdengar lagi, memberitahukan bahwa awak telah selesai melakukan bongkar muat dan kapal siap berangkat, kami memutuskan naik ke buritan. Saya ingin melihat kapal lepas landas.
Gerimis sedikit. Kami duduk di salah satu bangku di area kantin. Sebuah kapal kecil mendekat ketika matahari sudah sepenuhnya redup.
“Tugboat,” jawab Syukron ketika saya bertanya tentang kapal itu.
Syu menjelaskan kepada saya sembari memperagakan kapal tunda bekerja. Saking besarnya, kapal ini membutuhkan bantuan untuk bermanuver.
“Berarti gede, dong, tenaganya?” tanya saya sedikit heran.
Syu mengangguk, “Biasanya buat narik tongkang batu bara dan akan mendampingi kapal besar sampai masuk perairan lepas.”
Saya mengamati kapal kecil dengan satu lampu sorot di depan itu; menyaksikan ia bekerja. Tubuhnya yang tak sebanding dengan Nggapulu, menabrakkan diri agar paus besar bergerak. Ia mundur, merentangkan tali yang sudah terpasang di keduanya, menarik Nggapulu untuk semakin bergerak. Berkali dan berulang. Hingga akhirnya Nggapulu berhasil bermanuver.
Benar ucapan Syu, melewati deretan tiang derek peti kemas dan pembangkit listrik Paiton sampai habis, tunda mengiringi keberangkatan kami hingga laut lepas. Ia seperti seorang ibu yang merestui perjalanan anaknya hingga corong kapal mengeluarkan bunyi hong panjang sebagai tanda perpisahan.
Tiga puluh jam bukan waktu yang sebentar jika dilalui dengan ketakutan. Selama di kapal, yang bisa saya lakukan hanya berputar tidur di kabin dan duduk di buritan jika ingin menikmati udara lepas. Pun yang tampak hanya garis cakrawala laut dan langit. Tak ada lain. Laut yang biru dan putih langit.
Laut.
Adalah kuburan tanpa batas yang tak mampu digali manusia. Ia senyap mematikan. Seperti cadik yang kehilangan layar, tanpa angin dan tanpa ombak, tanpa bintang dan tanpa bulan, menunggu tenggelam. Yang telah tenggelam akan habis menjadi makanan ikan-ikan buas dan hanya menyisakan tulang-tulang yang kemudian menjadi terumbu. Atau akan mengembung membiru dan terus mengembung lalu pecah oleh tekanan laut dalam.
“Pun tak tahu betul mengapa saya takut laut”
“Muncul pertanyaan di benak, berapa jumlah sekoci? Apakah mampu menampung seluruh penumpang jika terjadi kecelakaan?“
Pernah terdengar satu teori konspirasi, bahwa manusia bukan semata berasal dari kera, melainkan semua makhluk hidup berawal dari makhluk bersel satu yang kemudian berfotosintesis menjadi makhluk multiseluler, membentuk banyak kingdom, dan terus berevolusi menjadi serangga, krustasea, ikan, amfibi, menjadi reptil, reptil raksasa, mamalia, hingga akhirnya lahirlah kera besar yang menjadi nenek moyang manusia. Tak tahu benar keberanan teori itu. Saya pun tak mau ambil pusing.
Pun tak tahu betul mengapa saya takut laut. Apakah karena saya tidak bisa berenang? Mungkin saja. Pengalaman tenggelam di kolam renang barangkali menjadi penyebabnya. Berkali-kali saya belajar berenang, tapi tak pernah berhasil. Kata Mbak Rika yang pernah mengajarkan, saya tidak mampu mengangkat bagian perut ke bawah untuk sejajar dengan dada. Padahal saya sudah merasa seimbang. Orang lain berkata, pada dasarnya kita bisa secara otomatis mengambang, karena berat tubuh kita tak sebanding dengan volume kolam renang, apalagi laut. Namun mengapa itu tak terjadi pada saya?
“Kuncinya adalah tenang,” begitu katanya.
Di bawah atap buritan, saya memandang laut lepas itu. Laut Jawa. Angin di sini terasa berbeda. Angin yang saya rasai ganjil. Hening pesisir pun berbeda dengan hening gunung. Di sini, terdengar ringkihan air laut menyentuh gading-gading kapal, bunyi hong. Saya hening dengan ketakutan akan laut yang dalam.
Saya mengenal hijau. Pada hutan yang selalu memberi keberanian, pada rasa lega oleh siulan burung yang hinggap di dahan. Namun biru, saya tidak kenal. Bagaimana rupa terumbu karang dan ikan-ikan laut, yang bersama burung di udara diciptakan pada hari kelima, saya tak tahu. Pada gelapnya biru pekat dasar laut, yang menyimpan makhluk-makhluk bersengat dan menyala, saya benar-benar buta. Pada arus bawah laut yang katanya ganas itu, bahkan untuk membayangkannya saja, sudah membuat mual.
Saya arahkan mata pada sekoci-sekoci di tiang-tiang besi. Muncul pertanyaan di benak, berapa jumlah sekoci? Apakah mampu menampung seluruh penumpang jika terjadi kecelakaan? Apakah tersedia juga pelapung? Lalu berapa kapasitas penumpang kapal ini? Berapa presentase jaminan keselamatan penumpang kapal dengan pelampung dan sekoci jika terjadi kecelakaan?
Saya tersandung pikiran sendiri.
Di gunung, saya seolah mendapat kekuatan, tidak pernah merasa lelah meski berat jalur dan tas gunung yang mengucurkan keringat. Setidaknya, sudah saya temukan cara untuk menguasai diri sendiri. Sedangkan di laut, saya buta.
Trauma. Ada apa dengannya?
Ia mampu menghilangkan ketenangan hingga kita tenggelam.
Saya putuskan untuk kembali ke kabin. Melihat orang-orang beraktivitas seperti di rumah, saya heran. Mereka mandi, berganti baju, lalu berbincang sembari menikmati kudapan seperti di teras rumah. Satu pertanyaan muncul, mengapa orang-orang ini bisa hidup santai seperti di rumah?
Daripada kalut, saya putuskan menenggak kembali obat anti mabuk karena ombak kali ini lebih terasa daripada sebelumnya. Dan tidur adalah pilihan yang tepat.
Comments 1