“Saya menekuk dengkul saya, dengan posisi telapak kaki tidak menyentuh lantai bus. Betis depan saya menempel pada barang penumpang lain. Sebuah karung besar berwarna putih dan sedikit empuk, namun padat.”
Bengkulu – Padang
Sudah sekitar 10 menit kendaraan di belakang kami membunyikan klakson secara kontinu. Jalan yang sempit menghambatnya untuk melewati bus yang kami tumpangi. Terang saja, bus kami berjalan di tengah-tengah jalan. Jalan yang sedikit berkelok pun mempersulit kendaraan di belakang kami untuk tancap gas melewati bus.
Sampai di salah satu tikungan yang cukup lebar, kendaraan tersebut melaju dengan cepat. Persis saat berada di samping bus, si supir meneriakkan berbagai macam makian kepada supir bus kami. Saya tidak cukup ingat kata makian dengan bahasa Sumatra tersebut, tetapi terlihat jelas kekesalannya karena tidak diberi ruang untuk melewati bus sepanjang perjalanan.
Supir bus kami terlihat mengeluarkan sikut sebelah kanan keluar jendela dan dengan santai menjawab, “Ada apa rupanya?”
***
Medan – Parapat
Kami berdiri di sebagian perjalanan dalam bus. Tidak ada ruang gerak yang leluasa selama bus berjalan. Pertukaran keringat lazim terjadi dari awal perjalanan hingga kami sampai di tujuan. Maklum, bus non-AC ini hanya bermodalkan angin yang masuk dari jendela. Itu pun tidak terlalu kami rasakan karena berdiri di posisi tengah. Mungkin hanya mereka yang duduk di posisi samping saja yang dapat merasakan angin segar.
Beberapa kali kami tertegun saat melihat ada orang yang menunggu di pinggir jalan hendak menumpang di bus kami. Bagaimana bisa, pikir saya. Sekarang saja kami sudah tidak ada ruang gerak sama sekali. Namun, kenek bus mendorong orang di paling pinggir sehingga muncul sedikit ruang untuk orang lain masuk. Akhirnya, bus semakin padat. Hawanya pun semakin panas.
Di tiga perempat perjalanan, kenek mulai menagih biaya perjalanan pada para penumpang. Saya agak kehabisan akal, bagaimana cara mengambil uang di kantong. Posisi tangan kanan memegang pegangan di atas. Tangan kiri tertahan di antara badan orang lain. Namun, dengan berbagai upaya, tangan kiri berhasil merogoh kantong celana sebelah kanan untuk mengambil uang.
Saya menunggu kenek untuk datang meminta biaya perjalanan, sambil berpikir bagaimana ia bisa mendatangi saya dengan kondisi bus sepadat ini. Selama perjalanan, saya terus mengamati posisi kenek yang dengan berbagai upaya mendorong penumpang sebisanya untuk mengambil uang dari penumpang di bagian depan.
Setelah beberapa lama, penumpang bagian depan sudah ditagih semuanya. Namun, ia tidak dapat masuk lebih jauh karena kondisi bus yang terlalu sesak.
Ternyata ia punya cara sendiri untuk meminta uang dari penumpang yang berada di tengah maupun belakang bus. Ia keluar dari pintu depan, lalu mulai bergelantungan menginjak jendela bus yang ada di sebelah kiri. Secara perlahan, ia meminta uang pada penumpang yang ada di bagian samping dan tengah. Sebentar ia berdiri, sebentar ia menekuk dengkul untuk meminta uang. Ya, bergelantungan.
Akhirnya, ia dapat menyelesaikan tugasnya untuk meminta uang dari semua penumpang. Barulah ia kemudian masuk dari pintu belakang.
***
Lampung – Bengkulu
Saya menekuk dengkul saya, dengan posisi telapak kaki tidak menyentuh lantai bus. Betis depan saya menempel pada barang penumpang lain. Sebuah karung besar berwarna putih dan sedikit empuk, namun padat. Mungkin isinya semacam pakaian yang disesakkan agar bisa masuk banyak di dalam karung.
Ini adalah satu-satunya posisi kaki yang paling mungkin saya terapkan. Jika telapak kaki saya menapak lantai, maka tidak ada cukup ruang untuk dengkul saya karena akan beradu dengan karung di depan. Dan, saya harus bertahan pada posisi tersebut sekitar 6-7 jam perjalanan.
Satu-satunya kesenangan waktu itu adalah ketika kami berhenti di warung makan. Akhirnya, saya bisa meluruskan kaki, mencari hawa segar, dan makan. Kami langsung memesan makanan di warung makan bersama para penumpang lain. Saya dan teman tentu bingung karena kobokan yang dipakai ternyata digunakan bersama-sama dengan orang lain di meja yang sama. Begitu pula kain lap tangannya. Ternyata begitu kebiasaan orang-orang di warung makan lintas Sumatra. Hal baru bagi kami yang datang dari Jawa.
Tiga puluh menit kemudian, satu per satu penumpang kembali masuk ke dalam bus. Saya pun cepat-cepat masuk dan sedikit mendorong karung yang tadi ada di depan saya, agar setidaknya kaki saya bisa menapak lantai bus. Pasti orang yang duduk di depan karung jadi merasa lebih sempit sedikit karena ruangnya berkurang. Tidak peduli, yang penting saya bahagia.
Akhirnya, kaki saya menapak. Meski begitu, posisi badan selama perjalanan tidak bisa berubah karena ada orang lain di kanan, kiri, dan belakang saya. Badan kami saling menempel, dan harus sabar saat orang di kanan dan kiri bergantian ketiduran, sambil sesekali menjatuhkan kepala ke pundak saya. Rasanya kepala saya pun demikian ketika itu.
***
Bima – Sape
Bus kami berhenti di terminal dekat Pelabuhan Sape sekitar jam dua malam. Kalau tidak salah, kapal yang akan kami tumpangi mulai berlayar sekitar pukul enam atau tujuh pagi. Akhirnya, tidur di dalam bus menjadi pilihan paling logis mengingat kondisi kantong kami.
Tidak banyak orang tersisa di terminal malam itu. Hanya ada beberapa bapak yang duduk santai dengan kaos belel, sambil mengisap rokok dengan gelas kopi yang hampir habis. Sedangkan, di dalam bus hanya ada tiga orang saat itu. Seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun, teman saya, dan saya sendiri. Saya memilih untuk tidur di dalam bus yang membawa kami dari kota Bima. Rasanya itu pilihan paling baik jika dibandingkan tidur di atas kursi kayu yang ada di depan warung-warung yang ada di terminal.
Namun, pada suatu momen, saya mulai berbincang dengan si laki-laki di dalam bus.
“Mau ke mana, Bang?” tanya saya.
“Mau pulang ke Sulawesi,” jawabnya.
“Di sini ada kegiatan apa, Bang?”
“Itu kan sedang ada kerusuhan di kota, lumayan dapat satu motor.”
Seketika saya ingat, ah, dia laki laki yang mulai menumpang bus kami di tengah perjalanan. Dia mengikat sebuah motor di bagian belakang-atas bus siang tadi.
Akhirnya, saya mengerti maksud si laki-laki ini. Dia jauh-jauh datang dari Sulawesi ke Sumbawa, dengan tujuan mencuri barang di kota yang sedang kerusuhan. Alias, curanmor.
Tak selang berapa lama, saya mulai memakai sarung, mencari posisi tidur enak di kursi bus.
Tidak lupa, dompet dan ponsel saya peluk lebih erat dari biasanya.