“Transportasi umum yang tersedia kali ini pun cuma bus, sekali lagi membuktikan kelebihannya dalam menjangkau lokasi terpencil—dan teramat indah, karena Cauterets bagaikan diciptakan langsung dari buku dongeng.”
Di salah satu sudut kota Paris, saya duduk di atas kursi besi panjang, sembari berpangku tangan pada carrier biru saya, menunggu bus malam menuju Lourdes yang baru akan datang satu jam lagi. Saya sesekali celingak-celinguk, menebak penumpang mana yang kira-kira punya tujuan sama dengan saya, lantas pandangan saya berakhir pada papan pengumuman kedatangan bus.
Hal itu tentu saya lakukan untuk mengusir bosan. Sebab, saya bukan sedang berada di sudut kota yang berhadapan dengan Sungai Seine yang puitis dan romantis, tetapi “terperangkap” di dalam terminal bus yang rupanya lebih mirip lantai basement parkir mobil mal-mal di Jakarta.
Ketika saya menyusuri terminal itu untuk menghampiri bus yang sudah saya tunggu, bau rokok, keringat, dan pesing pun tak jarang hinggap di indra pencium.
***
Saya bisa jadi penumpang termuda kala itu. Baru berusia tiga tahun, duduk manis di pangkuan Oma, dan dari kursi barisan depan bus malam, siap membelah jalanan Jakarta menuju kampung halaman saya di Rembang. Itulah perjalanan jauh pertama saya, yang sebetulnya tak lagi saya miliki memorinya secara utuh, tetapi yang mungkin pula menjadi awal keakraban saya dengan bus dan perjalanannya.
Tahun-tahun berikutnya, pulang kampung jadi ritual tahunan yang paling saya tunggu, salah satunya karena akan menempuh perjalanan panjang dengan bus malam. Seringkali Oma yang datang dulu ke Jakarta, menjemput saya, baru kami sama-sama naik bus ke Rembang. Atau, beberapa kali juga Ibu yang turut pulang kampung dan menemani saya di bus.
Alasan yang mendasari kesenangan saya pada bus malam sewaktu itu pun sederhana. Pertama, saya suka tidur dalam kendaraan bergerak sehingga naik bus yang terus berjalan sepanjang malam membuat saya bisa tidur pulas dalam jangka waktu lama—terlebih, kami selalu naik bus Nusantara, bus kelas premium, dengan pendingin sejuk dan ruang kaki mumpuni.
Kedua, saya bisa membawa bekal favorit saya, yang memang cuma nasi dengan mi instan atau chicken nugget, yang sebetulnya bisa saya nikmati pada kesempatan lainnya, tetapi entahlah, mungkin karena digabungkan dengan hal favorit saya yang lain, rasa senangnya jadi berlipat ganda.
Sedangkan, alasan Oma dan Ibu memilih bus malam tentu lebih ekonomis dan praktis. Pertama, harga bus lebih murah dibandingkan pesawat. Pun harganya tak jauh beda dengan kereta, kami masih perlu naik moda transportasi lain dari stasiun kereta di kota terdekat dengan Rembang ke rumah Oma-Opa—total ongkos perjalanan bisa jadi lebih mahal ketimbang naik bus malam.
Kedua, Ibu dan Oma bisa membawa oleh-oleh dalam bentuk apa saja dan jumlah berapa pun tanpa khawatir akan aturan batas maksimal yang diizinkan, seperti yang berlaku di pesawat. Jadilah kami selalu pulang ke Rembang, juga saat kembali ke Jakarta, tak hanya dengan satu-dua koper, tetapi juga beberapa kardus.
Namun, seiring tambah usia, alasan Ibu dan Oma punya porsi kian besar dalam keputusan saya memilih bus malam ketika akan melakukan perjalanan, bukan lagi memikirkan alasan-alasan sederhana saya sewaktu kecil—meski, saya tetap perlu berterima kasih pada alasan-alasan itu, sebab merekalah yang membuat saya familiar, terbiasa, dan tak ragu naik bus.
Itu pula yang terjadi saat saya merencanakan perjalanan panjang ke Eropa pada September 2022. Durasi yang lama—total 26 hari perjalanan—artinya membutuhkan banyak tempat menginap, jadi saya perlu menghemat pengeluaran pada bagian lain: transportasi.
Sama halnya dengan Pulau Jawa, harga bus lintas kota dan negara di Eropa seringkali jauh lebih murah daripada kereta dan pesawat. Kisaran harganya €20-30 untuk satu kali perjalanan bus, sedangkan kereta bisa mencapai €50-60 per perjalanan dan pesawat lebih tinggi lagi dari itu—sebab, saya harus membeli bagasi untuk carrier biru saya, yang dijual terpisah dari tiket.
Apalagi, dengan naik bus malam, saya tak perlu merogoh kocek lagi untuk penginapan malam itu. Ibaratnya, satu kali naik bus malam, dua-tiga langkah hemat pengeluaran telah dilakukan.
Selain perhitungan harga, bus mampu mengantar penumpang langsung ke kota-kota kecil yang relatif jarang, atau bahkan tak bisa, dilalui kereta dan pesawat. Misalnya, dari ibu kota yang bising layaknya Paris ke kota destinasi ziarah yang tenang seperti Lourdes—rute yang juga saya tempuh. Sementara, kalau naik kereta, saya perlu berganti kereta di Toulouse, baru sampai di kota tujuan saya.
Lalu, di Lourdes, ada bus-bus lain yang bisa membawa saya menuju kota-kota lebih kecil lagi di kaki Pegunungan Pyrenees, sekitar 1-2 jam perjalanan, seperti Cauterets. Transportasi umum yang tersedia kali ini pun cuma bus, sekali lagi membuktikan kelebihannya dalam menjangkau lokasi terpencil—dan teramat indah, karena Cauterets bagaikan diciptakan langsung dari buku dongeng.
Meski, semua “kemewahan” yang ditawarkan bus malam punya ganjarannya sendiri, seperti jam keberangkatan yang kurang masuk akal. Sekali waktu, saya menunggu bus malam tujuan Milan di bandara Nice yang berangkat jam satu dini hari. Sudah lama menunggu, tak bisa tidur pulas pula di dalam bus. Pendingin tampaknya tak bekerja maksimal, lantas bus kami dicegat beberapa polisi Italia di pintu perbatasan negara itu untuk pengecekan paspor.
Sialnya, dua orang penumpang bermasalah, membuat bus kami jadi terhenti lebih lama. Saya memerhatikan gerak-gerik mereka, tampaknya penumpang pertama merupakan orang Italia yang lupa membawa paspornya, sementara penumpang kedua rasanya imigran yang tak punya paspor—ia duduk di seberang saya dan terus berkelit bahwa paspornya ada di bagasi bus ketika ditanya polisi. Mereka pun akhirnya diturunkan dari bus dan tak bisa meneruskan perjalanan.
Waktu lainnya, saya menunggu bus dari Florence menuju Sorrento yang bertolak jam tiga pagi. Kali ini, tak hanya jam berangkat yang kurang masuk akal, tetapi juga tempat menunggunya—ternyata, terminal bus di Paris bukan yang paling parah. Saya berjalan sendirian sekitar jam dua pagi dari penginapan menuju titik temu bus, yang bukan berupa terminal, melainkan hanya halte kecil di pinggir jalan yang gelap dan sepi.
Pada hari-hari baik, menunggu kedatangan bus di tempat yang tak nyaman pada jam yang tak masuk akal tetap bisa saya romantisasi, tetap bisa saya ambil hikmahnya. Ketika di Florence, misalnya, saya tak begitu menyesali keputusan saya naik bus malam. Saya bisa menyaksikan kota itu berubah sepi, yang malah terasa kian romantis.
Saya pun bertemu dan mengobrol dengan seorang perempuan dari Roma—ia menunggu bus yang sama dengan saya—yang ternyata cukup cakap berbahasa Indonesia setelah belajar di Duolingo. Katanya, sebagai bekal saat suatu hari berkunjung ke tanah air.
Sayangnya, pada hari-hari kurang baik, kebiasaan meromantisasi dan rasa senang saya terhadap bus malam akan kalah dari kondisi tak nyaman yang menyelimutinya. Waktu perjalanan yang lama, jam berangkat yang tak wajar, tempat menunggu yang ala kadarnya. Ini pun terjadi pada hari-hari terakhir saya di Eropa, apalagi badan sudah sangat lelah dan remuk.
Akibatnya, saya tak lagi menikmati berada di dalam bus dan tiap detik perjalanannya, bahkan sampai berubah jadi rasa kesal, lantas berulang kali menyesali keputusan saya banyak naik bus dalam perjalanan panjang ini.
***
Jam empat sore waktu Sorrento, saat matahari masih begitu terik, saya berdiri di pinggir jalan utama kota itu bersama carrier biru kesayangan di samping saya, menunggu bus menuju Roma. Bus akan berhenti dan menjemput penumpang di sini, bukan di terminal, tak ada pula halte, hanya ada markah jalan bertuliskan BUS STOP persis di depan saya berdiri.
Saya kembali celingukan, menebak penumpang mana yang kira-kira punya tujuan sama dengan saya, sambil sesekali mengusap keringat yang sudah mengumpul di dahi, lalu pandangan saya berakhir pada ponsel yang saya pegang guna mengecek waktu.
Tak lama, bus itu tiba di depan muka. Saya segera menghampiri sang supir, menyodorkan tiket saya, lantas memasukkan carrier ke bagasi bus dan menempati kursi di barisan tengah. Ah, rasanya lega sekali, ini perjalanan bus terakhir saya selama di Eropa. Tak akan ada lagi uring-uringan soal bus esok hari.