‘Terlalu santai di Pulau. Rasanya masih seperti liburan, bukan turlap. Memang saya ngobrol dengan orang-orang tentang ombak, surfing, dan apa pun yang terkait topik penelitian (bahkan yang tak terkait). Namun kemalasan dan mood liburan terus menghantui. Sulit untuk lari darinya. Tiba-tiba saja saya berpikir tentang peneliti-peneliti pariwisata lain yang meneliti di tempat-tempat wisata lain di dunia. Apa yang mereka pikirkan tentang pengalaman riset mereka? Bagaimana mereka menyeimbangkan tujuan penelitian dan ambiens liburan? Bagaimana mereka bisa survive dari mood untuk tak melakukan apa-apa ini?’ (17-11-2017)
Kutipan di atas saya cuplik dari catatan lapangan ketika berada di Siberut, Mentawai, untuk meneliti tentang relasi manusia-ombak di sana. Riset itu untuk tesis S-2 saya. Di hari berikutnya, tema soal ‘kemalasan’ masih menghantui buku catatan saya: ‘”Selancar adalah olahraganya orang-orang malas,” kata FR kemarin. “Hati-hati, bisa jadi kami mengontaminasimu,” tambahnya pagi ini. Hujan turun sejak pagi hari. Mood masih sama seperti kemarin.’
Kira-kira begitulah keluh-kesah menjadi peneliti pariwisata. Sering kali ketika berada di lapangan, saya lupa menempatkan diri dan terlalu asyik menjadi turis: berleyeh-leyeh di hammock, mandi laut saban sore, duduk-duduk di pantai, dan beragam aktivitas anti-produktif lain. Terutama di awal penelitian, mood liburan biasanya lebih dominan.
Tapi, bukan berarti hari-hari menjadi turis atau pejalan itu sama sekali tidak relevan. Hari-hari itu bisa jadi adalah masa yang krusial untuk memetakan situasi, tempat, orang, dan ritme spasio-temporal lokal, seraya pelan-pelan memerangi mood untuk tak melakukan apa-apa. “Suatu hari nanti,” tulis saya juga pada 17 November 2017, “saya pasti akan bosan pada ‘liburan’ ini dan mulai melakukan kegiatan penelitian yang ‘sebenarnya’”.
Apa itu ‘kegiatan penelitian yang sebenarnya’ tentu bisa diperdebatkan. Belakangan, saya memahami bahwa berpergian (to travel; passing by) dan numpang tinggal sementara (just being there) di suatu tempat adalah bagian dari metodologi. Agustus lalu, di Dunedin yang dingin, saya bilang di seminar departemen bahwa metode saya cuma dua: ‘pertemuan’ (encounter) dan ‘memperhatikan’ (paying attention). Dengan kata lain, menjadi turis atau pejalan—orang yang numpang lewat dan singgah sementara—adalah bagian dari ‘kegiatan penelitian yang sebenarnya’, setidaknya selama saya tetap membuka ruang interaksi dan peka pada detail-detail etnografis.
Semua itu bisa jadi kilah belaka. Bukan tak mungkin penelitian (lapangan) sebenarnya hanyalah alat dan alasan yang saya pakai untuk bisa terus jalan-jalan. Ia memungkinkan saya untuk kemana-mana, ke tempat-tempat ‘baru’ dan ‘lama’, di usia yang tak lagi muda-muda amat. Tubuh-turis dan tubuh-peneliti—beserta mood liburan dan kewajiban meneliti—itu kemudian berkelindan, membentuk pengalaman penelitian/liburan yang tak melulu sederhana.
***
Salah satu hal yang tak sederhana itu adalah menjelaskan ke orang bahwa saya benar-benar sedang meneliti. Di lapangan, selalu saja ada orang yang bertanya, seperti di Lhoknga, Aceh, dua bulan lalu, “Sebenarnya abang penelitian apa? Kok kulihat duduk-duduk di pantai aja.” Untungnya, di meja percakapan saat itu ada orang ketiga yang membantu saya menjelaskan, “Ya, tapi Bang Pitor mencatat semua.” Tepat sekali. Catatan lapangan—berisi apa yang saya amati, dengar, obrolkan, dan renungi—adalah napas dari penelitian lapangan. Ialah yang sejatinya membedakan liburan dan penelitian pariwisata. Tanpanya, kedua hal itu memang sekilas tak ada beda.
Apalagi, di banyak tempat, ‘penelitian’ seringkali dimaknai sebatas survei, dan peneliti adalah orang yang kemana-mana membawa kuesioner/angket. Peneliti kualitatif yang kerjanya hanya ngobrol ngalor-ngidul, mengamati hal-hal yang sehari-hari, dan ‘duduk-duduk di pantai’ tentu sulit dibayangkan sebagai ‘peneliti’ oleh kacamata awam.
Tentu tak semua orang (perlu) tahu bahwa saya mencatat saban malam. Atau, aplikasi Notes di ponsel saya dipenuhi poin-poin menarik yang saya dengar, amati, obrolan, dan renungi. Kadang, sambil bersantai di hammock atau minum es kelapa muda, kepala saya sebenarnya sedang berputar-putar memikirkan relasi dari beragam informasi yang bertubrukan dan/atau mengingat-ingat apa persisnya kata-kata interlokutor yang saya dengar barusan.
Tapi, tetap saja, kenyataan menjadi peneliti (di tempat) pariwisata tidak serumit itu. Berbagai kerumitan teoretik jangan sampai menghalangi kita menikmati liburan, eh.. turlap. Yang rumit-rumit dicatat dulu, baru dipikir kemudian di kampus.
Bu, degannya setunggal, nggih.
***
Sejak 2017, penelitian saya berfokus pada masyarakat lokal yang tinggal/berumah di tempat-tempat yang kerap disebut sebagai ‘destinasi wisata’. Fokus itu membuat saya perlu tinggal relatif lama, setidaknya berminggu-minggu, untuk bisa memahami praktik dan persepsi lokal yang ada di masyarakat. Fokus itu juga membuat saya—meski tak selalu berhasil—belajar hidup seperti lokal di lokasi-lokasi penelitian.
Salah satu bentuknya yang paling subtil adalah soal akhir pekan, atau libur hari besar. Setidaknya di Lhoknga dan Watukarung, dua lokasi penelitian saya dalam empat bulan ke belakang, paling malas saya ke pantai pada akhir pekan atau tanggal merah. Pada hari-hari itu, pantai akan ramai dipenuhi turis-turis lokal/domestik dari Banda Aceh atau Medan (Lhoknga) dan Jogja, Solo, atau Pacitan (Watukarung). Oh mak!
Saya ingat suatu waktu saya mengajak Raidi Asmara, yang rumahnya saya tumpangi selama di Lhoknga, untuk duduk-duduk di pantai pada hari Minggu. Dengan palak-nya ia bilang, “Halah ngapain, rame kali kalau hari begini. Besok-besok aja hari biasa kita ke pantai.” Perspektif (lokal?) itu saya pakai di akhir-akhir pekan setelahnya. Jika tak perlu-perlu banget, saya tak ke pantai pada akhir pekan, apalagi pada jam-jam dan tempat-tempat yang ramai. Saya ke pantai—untuk bersantai dan menikmati suasana—pada hari-hari biasa, yang tak terlalu ramai.
Merasakan tempat yang kita sebut ‘tempat wisata’ pada hari-hari yang bukan hari libur, atau bukan puncak musim wisata di sana, sejatinya akan memberi kita sensibilitas baru dalam memahami apa itu ‘pariwisata’ (ontologi). Seakan-akan paradigma kita digeser, atau diacak-acak, dan dipaksa memahami ‘pariwisata’ dengan cara yang sama sekali berbeda. Mencuri frasa usang yang sering kali diucap para peselancar: “Cuma peneliti pariwisata yang tahu rasanya.”