Setelah seharian bergumul dengan cuaca delapan derajat Celsius, semangkuk soto Betawi hangat yang menguarkan aroma rempah kuat terhidang di depan saya.
Tembang ‘Sepanjang Jalan Kenangan’ mengalun dari seorang pria paruh baya di pusat perbelanjaan Hoge Vucht di Breda. Ia duduk di kursi tinggi yang diletakkan tepat di tengah sebuah panggung mini. Dari sosoknya—badan besar, kulit sawo matang, dan tatapan mata yang tajam—saya duga ia adalah warga keturunan Maluku yang tinggal di Belanda. Sebab, memang banyak warga keturunan Indonesia timur yang menetap di sini pascakemerdekaan. Jadi, saya rasa tebakan itu tepat.
Alunan lagu itu membuat saya berhenti sejenak, lalu ikut melantunkan lirik-lirik syahdunya. Saya jadi teringat kisah-kisah cinta masa muda di Jakarta. Jalan berdua, bergandengan tangan, sesekali berpelukan. Kenangan tersebut rasanya menghangatkan saya di tengah dinginnya kota kecil ini.
Hari itu saya memang ditakdirkan untuk merindukan Indonesia. Beberapa menit sebelumnya, saya dibuat kesal oleh teman serumah. Setelah menghabiskan tisu toilet, ia pergi begitu saja entah ke mana. Saya yang mau buang air besar pun jadi kerepotan. Sudah cebok dengan tisu tidak nyaman, eh habis pula, keluh saya dalam hati.
Akhirnya, saya naik sepeda ke Hoge Vucht untuk membeli tisu gulung, melawan cuaca dingin disertai hujan rintik yang membuat kaki gemetar serta hidung dan leher memerah. Saya ingin buang air besar tanpa perasaan gelisah akibat kehabisan tisu. Ah, saya jadi membayangkan betapa menyenangkannya cebok dengan air seperti kebiasaan di rumah orangtua saya.
Sesampai di sana, saya langsung memarkir sepeda di parkiran khusus kendaraan roda dua itu dan masuk melalui pintu utama. Saya bertemu pelantun ‘Sepanjang Jalan Kenangan’ tadi, kemudian makin tenggelam dalam nostalgia.
Saat itu, saya benar-benar merasa seperti sedang berada di Indonesia.
Setelah lagu selesai, saya melanjutkan perjalanan ke toko penjual tisu. Namun, saya kembali berhenti ketika mendapati tiga bapak berperawakan nusantara yang begitu bersemangat melantunkan lagu ‘Poco-poco’ di tengah pusat perbelanjaan. Walaupun berbadan kurus, suara mereka amat menggelegar hingga berhasil mengajak para penonton berjoget dan memeriahkan Hoge Vucht.
Penontonnya pun bukan hanya orang Indonesia. Banyak warga Belanda yang menari Poco-poco dengan antusias dan gemulai. Sepertinya mereka sudah sering melakukan gerakan tersebut bersama teman-teman dari Indonesia. Saat itu, saya benar-benar merasa seperti sedang berada di Indonesia.
“Mari badansa, jo!” kata seorang ibu berdarah Sulawesi di samping saya. Ajakan itu membuat saya tanpa ragu turun ke lantai dansa dan ikut geal-geol bersama mereka. Niat membeli tisu pun kembali tertunda.
Sialnya, harga-harganya cukup mahal. Maklum, mereka pun mungkin susah payah mendapatkan bahan-bahan itu di Belanda.
Usai berdansa, dengan badan penuh keringat dan mulut mulai kaku karena terlalu banyak tersenyum, saya kembali berjalan menuju toko langganan untuk membeli tisu. Di tengah perjalanan, saya melewati toko ayam panggang yang semerbak aromanya. Akan tetapi, bukannya tergiur dengan ayam itu, saya justru teringat pada masakan Indonesia. Saya yakin, ini pasti efek ‘Sepanjang Jalan Kenangan’ dan ‘Poco-poco’.
Saya pun segera membeli tisu dan menuntaskan keinginan buang air besar untuk mengurangi kegelisahan. Lalu, saya menghubungi dua teman sesama mahasiswa Indonesia untuk memasak makanan dari Tanah Air. Saya mulai membayangkan berbagai menu, mulai dari nasi goreng, sambal goreng ati, soto, hingga rendang.
Kedua teman saya mengiyakan ajakan tersebut dan kami sepakat bertemu di Oriental yang hanya berjarak sekitar dua kilometer dari rumah kami masing-masing. Toko itu menjual bahan-bahan makanan khas Asia yang jarang ditemukan di supermarket umum, misalnya sayuran segar seperti tauge dan sawi hijau, atau produk instan berupa mi, bumbu kacang, tahu, dan tempe. Sialnya, harga-harganya cukup mahal. Maklum, mereka pun mungkin susah payah mendapatkan bahan-bahan itu di Belanda.
Saya mencetuskan ide untuk memasak soto Betawi. Ini karena saya teringat akan tempat langganan saya di sekitar Jalan Kartini, Jakarta Pusat. Meskipun hanya berupa tenda sederhana di pinggir kali, tempat makan itu selalu menyajikan semangkuk soto Betawi yang kaya cita rasa. Kuah santannya kental, kuat dengan rasa kaldu sapi, ditambah minyak warna merah di pinggiran mangkuk. Potongan daging dan jeroan pun besar dan empuk. Tak lupa, saya menambahkan perasan air jeruk limau ke dalam satu porsi yang akan saya santap. Gurih dan asam bercampur menjadi satu.
Sepanjang perjalanan, saya sudah membayangkan makan soto Betawi hangat dengan nasi putih pulen.
Akhirnya, ide itulah yang kami sepakati untuk jadi menu makanan hari itu. Jangan bayangkan kami akan mengulek setiap bahan. Itu terlalu istimewa. Kami hanya membeli bumbu instan yang sudah terdiri dari berbagai racikan seperti lengkuas, kayu manis, serai, dan daun salam. Lalu, kami juga menambah beberapa bahan pelengkap, seperti daging, bawang merah dan putih, santan, daun bawang, dan, yang sangat penting, bawang goreng.
Selesai belanja di Oriental, kami bergegas dengan sepeda masing-masing menuju rumah salah seorang teman. Sepanjang perjalanan, saya sudah membayangkan makan soto Betawi hangat dengan nasi putih pulen.
Begitu tiba, teman kami itu langsung menyimpan sepeda di bagian belakang rumah, sementara kami sebagai tamu mengunci sepeda di halaman depan. Saya selalu mengunci sepeda di ban belakang, juga menambatkannya ke pagar dengan rantai serat baja. Saya memang masih terkungkung mental khas orang Jakarta yang takut kehilangan barang.
Kami kemudian masuk ke dalam rumah dan langsung membuka jaket yang basah karena kena hujan seharian. Kamar teman saya berada di lantai tiga, yang posisinya berada di langit-langit rumah. Rumah-rumah di Belanda biasanya tidak memiliki langit-langit, lantaran semua bagian dimaksimalkan menjadi kamar. Untung saja ada alat pemanas yang bisa dinyalakan kapan saja sehingga kami tidak terlalu kedinginan. Udara dingin dan energi yang terkuras karena naik ke lantai tiga membuat perut saya semakin meronta-ronta.
Setelah seharian bergumul dengan cuaca delapan derajat Celsius, kini di depan saya ada soto Betawi yang hangat dan memiliki aroma rempah yang kuat.
Bahan sudah lengkap, peralatan telah tersedia, kami pun siap memasak. Ada yang memasak nasi, ada yang membuat soto Betawi. Saya bertugas mengulek bawang merah dan bawang putih serta memotong daun bawang. Selanjutnya, kami menumis ulekan bawang itu dengan bumbu instan. Potongan daging—hanya itu yang kami gunakan sebab jeroan sulit dicari—dan air panas pun dimasukkan berikutnya secara bergantian ke dalam panci.
Dengan api sedang, kami menunggu kuah soto matang dan daging berubah empuk. Kami juga menambahkan santan di sela proses memasak. Sembari menunggu, kami terus mengendus wangi soto Betawi yang menyebar ke seluruh ruangan. Percayalah, saya sangat ngiler waktu itu. Setelah seharian bergumul dengan cuaca delapan derajat Celsius, kini di depan saya ada soto Betawi yang hangat dan memiliki aroma rempah yang kuat.
“Rasanya … kenyang bego, ya,” kata teman saya.
Tak berapa lama berselang, soto Betawi matang dan bisa disantap. Kami langsung mengambil nasi dan menyeruput kuah yang kental. Meski tidak seperti soto jagoan saya di Kartini, rasa gurihnya mampu menghangatkan suasana. Kami makan dengan lahap, bahkan sampai menambah nasi putih hangat dan menghabiskan kuah soto hingga tetes terakhir. Ah, nikmat sekali—dan cukup mengobati rasa rindu saya pada Indonesia.
“Rasanya … kenyang bego, ya,” kata teman saya. Mungkin dia benar, sebab saya merasa kekenyangan sekali, mengantuk, dan tak bisa memikirkan apa pun. Kami hanya mengobrol ngalor-ngidul sambil sesekali memejamkan mata.
Perut kenyang, tisu gulung terbeli.
Ketika waktu menunjukkan pukul satu dini hari, saya memutuskan pulang ke rumah. Letak rumah saya tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh menit dengan bersepeda santai.
Ah, memang hari itu saya ditakdirkan untuk merindukan Indonesia.
Meski hujan masih rintik, saya menikmati perjalanan pulang itu. Jalanan begitu kosong. Tidak ada orang yang lewat. Lampu-lampu menyala dengan cahaya tidak berlebihan. Hanya ada gerombolan bebek di danau kecil di depan Franciscuskerk. Mereka pun rasanya mulai mengantuk malam itu.
Saya kembali melantunkan lagu yang saya dengar sore tadi di Hoge Vucht sambil bersantai di sadel sepeda. Ah, memang hari itu saya ditakdirkan untuk merindukan Indonesia.
Hujan yang rintik-rintik, di awal bulan itu…
Penambah nikmatnya malam syahdu…