Mengalami lika-liku singkat kehidupan nelayan Cibuaya, sebagai anak Jakarta saya iri juga.
Hari itu kami berbuka puasa dengan menu ikan kakatua yang dibakar, ditemani nasi liwet, sayur daun chaya, dan sambal kencur. Di tengah obrolan santai sambil mengisap beberapa batang rokok, sisa teh manis hangat pendamping takjil pun kami seruput perlahan.
“Besok mau ikut nggak?” tanya Hendra, nelayan tuan rumah, dengan ekspresi setengah mengajak.
“Wah, jam berapa, Kang?”
“Ya, pagi jam enam.”
Awalnya saya ragu. Sebagai orang Jakarta yang tinggal agak berjarak dengan pantai, aktivitas melaut rasanya cukup asing. Tapi rasa penasaran akhirnya mengusir keragu-raguan.
Maka jadilah kami bersama tiga kawan lain berangkat pagi-pagi menuju lokasi perahu sewaan ditambatkan. Bensin diisi penuh ke mesin baru keluaran tahun 2020. Hari itu, pikiran Hendra fokus melaut. Wajahnya yang tenang pagi itu mendadak diiringi sorot mata konsentrasi.
Sambil menggendong beberapa tas berisi perlengkapan trolling, ia mengendarai motor dari rumahnya menuju perahu. Berbekal pengalaman melaut sejak kecil, Hendra yang kini berumur 33 tahun sudah lumayan ahli dan jadi panutan bagi rekan-rekannya yang lebih muda di Pantai Cibuaya, Ujung Genteng.
Meski mengaku muslim, Hendra hampir tidak pernah berpuasa. Sebagai nelayan yang menggantungkan sebagian besar sumber pendapatannya kepada laut lepas, puasa dirasa berkali-kali lipat lebih berat dan berisiko.
“Kalau di tengah laut, perut nggak boleh kosong,” katanya.
Setelah mengisap sebatang rokok, ia minum obat sakit kepala sebelum turun ke laut.
Sekitar tiga puluh menit setelah mesin perahu dinyalakan, kami telah melewati ombak pantai. Tandanya, perahu sudah tiba di lokasi tujuan pertama. Hendra dan kawan-kawan mulai menurunkan umpan. Pagi itu mereka melakukan trolling (metode pancing tonda), istilah perikanan untuk menebar umpan yang dikaitkan dengan benang pancing khusus.
Mesin perahu yang dioperasikan oleh Odel dinonaktifkan sebentar agar alat trolling bisa diatur dengan baik. Odel adalah adik kandung Hendra. Usia mereka terpaut lumayan jauh: 11 tahun.
Sasaran mereka yang utama adalah ikan tenggiri, karena bisa dijual ke pengepul dengan harga tinggi. Jika tenggiri belum berhasil ditemukan, benang trolling biasanya menangkap ikan-ikan pelagis seperti tongkol. Kira-kira 10 menit sejak melepas benang itu, tongkol menggigit umpan. Sayang, tongkol pertama sukses kabur.

Tidak lama, beberapa tongkol menggigit umpan. Kali ini Odel berhasil menangkap dua-tiga ekor sekaligus. Setelah itu kami pindah tempat. Tujuan berikut adalah lokasi yang banyak burungnya. Menurut Hendra, lokasi yang banyak ikannya bisa dilihat dari banyaknya burung yang terbang rendah dan bersiap menyergap.
Benang pancing pun disebar lagi. Di saat yang bersamaan, seorang kawan nelayan yang ikut di perahu kami bersiap memakai baju dan peralatan selamnya. Membawa jamparing, alat tembak ikan, dan tas untuk membawa tangkapan, ia lincah turun menyelam.
Karena ramah lingkungan, alat “trolling” termasuk alat yang direkomendasikan.
Perahu kami bergerak menuju lokasi karang. Harapannya, kami bisa menemukan lobster yang bersembunyi di bawah karang. Tapi niat itu urung dilakukan karena air laut sedang keruh. Kami memutuskan untuk makan siang dulu. Rupanya, selain alat-alat trolling, tas Hendra juga berisi bekal makanan yang cukup untuk kami semua.
Dari lubang lobster, perahu pun bergerak lagi ke lokasi lainnya. Beberapa tongkol berhasil didapatkan lagi.
Karena ramah lingkungan, alat trolling termasuk alat yang direkomendasikan. Selain itu juga mudah didapatkan. Beberapa nelayan bahkan bisa membuatnya sendiri dari barang-barang yang didapatkan secara terpisah. Dengan benang trolling, umpan hidup juga bisa digunakan.
Odel dan Hendra menyiapkan satu ekor tongkol yang dikaitkan di benang sebagai umpan hidup. Menurut mereka, tenggiri biasanya bisa ditangkap dengan cara itu.
Tiba-tiba, perahu kami melintas di tengah-tengah kumpulan tongkol yang sedang dikerumuni burung yang terbang rendah di atasnya. Benang mendadak menegang. Rupanya ikan tenggiri besar menggigit umpan. Dengan lincah, Odel dan Hendra merangsek ke tengah perahu. Jika tongkol ditangkap dari sisi belakang perahu, tenggiri harus dari sisi kanan atau kiri karena ukurannya yang besar.
Dalam dua jam, ia berhasil menangkap beberapa ikan kakap dan kakatua.
Saya melipir ke sisi kanan kapal untuk menjaga keseimbangan. Meski punya niat untuk ikut membantu, saya lebih banyak diam karena tampaknya mereka sudah sangat tahu apa yang harus dikerjakan cukup berdua saja.
Tenggiri berhasil digiring mendekat ke perahu. Dengan sigap Hendra mengambilnya dari sisi perahu, menggendongnya, dan menaruhnya di tengah.
“Alhamdulillah,” kata Hendra.
Sambil menolak lengah, mereka berdua pun segera kembali ke belakang dan menarik benang yang lagi-lagi sudah digigit tongkol. Setelah keadaan tenang, perahu diarahkan kembali menjemput kawan mereka yang tadi menyelam. Di lokasi selam, ia dipanggil naik. Dalam dua jam, ia berhasil menangkap beberapa ikan kakap dan kakatua. Kami pulang kembali ke daratan. Total, kegiatan kami di laut lepas memakan waktu sekitar 7-8 jam di bawah terik matahari.
Setiba di pantai, tenggiri dan kakap diantar ke lokasi pengepul, sementara ikan-ikan tongkol langsung dibersihkan dan dibawa pulang. Reni, istri Hendra, rupanya sudah menyiapkan menu berbuka lengkap dengan lauk-pauknya. Ia agak menggerutu karena Hendra melaut dan berencana bakar ikan tanpa sepengetahuannya. Tapi kemudian ia tampak sabar. Sebagai istri yang usianya lebih tua delapan tahun dari Hendra, ia memang punya karakter yang lebih banyak ikhlas dan sabar.
Drama rumah tangga nelayan
Sebelum menikah dengan Hendra, Reni pernah menikah waktu usianya baru lima belas tahun. Dua tahun setelah menikah, anak pertamanya lahir. Ketika bertemu dengan Hendra, ia sudah punya tiga anak. Hendra sendiri adalah duda beranak dua. Mereka berdua memutuskan untuk menikah hanya seminggu sejak pertama kali bertemu di Sukabumi.

Ceritanya, Hendra kala itu sedang berjualan es buah dan Reni masih bekerja sebagai asisten rumah tangga. Beberapa bulan setelah menikah, sifat asli keduanya mulai tampak. Karena itu, rumah tangga mereka terbilang unik. Hendra yang baru 33 tahun sudah terkenal suka main perempuan. Meski tidak mau mengakuinya, warga di sekitar Pantai Cibuaya itu sudah sama-sama tahu. Tapi Reni tidak pernah benar-benar marah. Ia bahkan pernah menyuruh Hendra menikahi perempuan idamannya.
Pernah suatu kali seorang perempuan datang ke rumah mereka karena diajak Hendra. Respons Reni cukup santai. Ia menanyakan kepada pacar Hendra itu apakah ia sudah siap dinikahi suaminya? Di luar dugaan, sang perempuan idaman itu justru pergi menjauh.
Baginya, yang paling penting untuk suaminya adalah bagaimana ia bisa terus sibuk beraktivitas dan tidak banyak waktu senggang.
Keesokan harinya, telepon genggam Hendra berdering. Sayang kala itu Hendra sedang mandi. Vina, perempuan yang menelepon itu, sudah jadi incaran Hendra dan beberapa kali mereka sudah kencan.
“Tadi itu Vina, pacarnya Hendra, nelpon,” kata Reni kepada saya malam itu.
Baginya, yang paling penting untuk suaminya adalah bagaimana ia bisa terus sibuk beraktivitas dan tidak banyak waktu senggang. Ia sendiri mengisi hari-harinya mengurus rumah tangga sambil merawat penginapan yang dikelola keluarga dan mencari batu karang jahe yang konon bisa dijual ke Jakarta.
Di desa itu, warga senang menamai warung atau tempat usahanya dengan nama keluarga. Warung es kelapa, misalnya, diberi nama Kedai Neng Salsa, merujuk pada almarhumah anak bungsu pedagangnya. Tempat saya menginap sendiri diberi nama Pondok Dika, karena anak bungsu pengelolanya adalah Dika, adik kandung Hendra.
Bercangkir-cangkir kopi dalam obrolan
Di Ujung Genteng, selain air putih, kopi adalah minuman harian yang utama bagi masyarakat. Di antara cangkir-cangkir kopi, Rahman, seorang remaja usia belasan, bercerita panjang soal hasratnya ingin merantau ke Jakarta. Mengendarai motor rakitan yang tidak ada lampunya, ia mondar-mandir tiap malam. Agendanya cuma main dan berjaga di pos. Maklum, sekolahnya masih dari rumah karena pandemi. Sekolah Menengah Atas tempat Rahman menimba ilmu terletak di Surade, sekitar 30 menit perjalanan mengendarai motor dari rumahnya.

Meski secara demografis masyarakat Ujung Genteng terhitung mayoritas usia produktif, jumlah anak usia sekolah juga tidak kalah banyak. Namun, lokasi sekolah yang jauh jadi salah satu alasan kuat mengapa anak-anak muda di sana banyak yang putus sekolah sejak tamat SMP, atau bahkan SD. Kemungkinan besar, itu pula yang membuat anak-anak kecil terbiasa mengendarai sepeda motor menantang bahaya setiap hari.
“Belum pernah liat Monas, Bang. Pengen juga rasanya jalan-jalan ke Jakarta,” kata Rahman.
Anak kandung seorang nelayan itu punya ketertarikan yang tinggi pada dunia otomotif. Si Aman, begitu teman-temannya memanggilnya, enggan melaut meski mengaku sudah cukup bisa. Menurutnya, banyak nelayan yang terganggu pendengarannya karena menghadapi tekanan air di kedalaman 4-5 meter dengan peralatan selam yang sangat sederhana. Saya teringat obrolan pertama dengan Hendra ketika saya tiba di rumahnya. Katanya, banyak kawan nelayan sudah pecah gendang telinganya akibat tekanan air itu.
Mungkin karena itu juga mengakali motor rakitannya sendiri menjadi kegiatan seru bagi Aman sehari-hari.
Mungkin karena itu juga mengakali motor rakitannya sendiri menjadi kegiatan seru bagi Aman sehari-hari. Menurut pengakuannya, Aman biasa tidur pagi hari ketika matahari mulai terbit. Tiap malam, ia pergi main bersama teman-teman seusianya yang juga punya kebiasaan tidur pagi. Setiap kali melintas dengan motornya, saya tanya Aman mau ke mana. Jawabannya tak pernah lebih dari sekadar mau pergi main atau ke pos jaga malam. Sering kali ia mampir untuk menyeruput kopi yang saya seduh tiap malam untuk para tamu. Sesekali Aman menerima panggilan masuk di ponselnya. Malam itu, seorang tetangga menelepon dan meminta Aman mengantarkan 5 liter beras. Ibu kandung Aman membuka usaha warung sembako di rumahnya.
Setelah dua malam, kebiasaan menyeduh kopi di malam hari itu terus saya lakukan untuk para tamu yang melintas. Dari seduhan kopi itu obrolan mengalir dan membentang dari topik seputar Monas hingga Australia.
Dalam beberapa malam yang sejuk dan bernyamuk itu, saya mendapatkan informasi mengenai kelompok Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang aktif menjalankan tugas menjaga keamanan di wilayah itu. Kata Rahman, ada tiga ormas besar di sana; Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), Pemuda Pancasila, dan Barudak Cibuaya. Anak tiri Hendra jadi salah satu anggota aktif Ormas Barudak.
Di lokasi itu tidak ada penerangan sama sekali kecuali bulan di langit dan bintang-bintang.
Barangkali karena sistem keamanan komunal itulah warga yang beraktivitas di malam hari merasa cukup aman. Suatu kali, sekitar pukul sembilan malam, saya diajak berburu ikan di sebuah kubangan bekas pembuangan tambak udang yang sudah tidak lagi beroperasi. Warga lokal menyebutnya trismen. Di sana, Hendra menyelam mencari ikan. Ia ditemani adiknya, Aman, Aji, dan saya yang ke sana dengan seorang kawan lagi. Di lokasi itu tidak ada penerangan sama sekali kecuali bulan di langit dan bintang-bintang. Kami membawa beberapa lampu senter mengendap-endap bagai si Pitung sedang dikejar kompeni Belanda.
Dari trismen kami pulang dengan tangan hampa.
Menurutnya, makhluk halus penunggu trismen akan dengan senang hati menemani tiap kali mereka ke sana mencari ikan. Tapi kalau pohon tempatnya duduk ditarik atau ia merasa terganggu, ia akan pergi. Sialnya, kalau ia sampai pergi, ikan-ikan akan disembunyikan. Tidak kelihatan satu ekor pun meski lampu senter anti air sudah digunakan. Malam itu, Aji rupanya tidak sengaja menarik dahan pohon.
“Udah dibilang jangan ke sebelah pohon itu, malah ditarik,” kata Hendra kepada saya.

Aji memang tidak mengandalkan laut sebagai sumber penghasilannya. Ia mengaku sering mendapat proyek membangun gedung atau rumah di Tangerang. Bersama ayahnya yang jadi pemborong bangunan, dan adiknya, ia kerap ke Tangerang atau wilayah lain sekitarnya untuk bekerja sebagai kuli bangunan.
Suatu pagi, saya kaget karena seorang anak warga yang baru 19 bulan batuk-batuk berdahak seperti orang dewasa. Orangtuanya tidak khawatir karena baginya itu sudah biasa. Saya yang justru merasa bersalah karena beberapa hari sebelumnya saya memberikan beberapa permen agar ia berhenti menangis. Karena itu, sore harinya saya mampir ke minimarket untuk membelikan obat batuk anak.
Ah, asuransi ini-itu sama aja. Kalau mati, ya, ga dapet apa-apa,” kata Hendra dalam celetukannya.
Baru malam kelima saya menginap di sana, kejadian mengerikan terjadi. Seorang pemuda yang dianggap orang stres oleh tetangga menebas-nebaskan goloknya ke seorang kawan. Tidak ada alasan khusus. Beruntung, korban selamat meski ada beberapa luka yang cukup berat. Dua hari kemudian, kami dikejutkan oleh peristiwa kecelakaan mengerikan yang menewaskan seorang pengendara motor di sebuah jalan utama desa itu.
Soal kecelakaan kerja bukan tidak disadari oleh komunitas nelayan di sana. Mereka tahu persis risiko pekerjaan mereka di lautan lepas. Karena itu, mereka menurut ketika salah satu lembaga negara pernah mendaftarkan mereka sebagai peserta asuransi. Masalahnya, mereka tidak paham bagaimana mengajukan klaim. Alih-alih mencari tahu, mereka memilih untuk tidak ambil pusing.
“Ah, asuransi ini-itu sama aja. Kalau mati, ya, ga dapet apa-apa,” kata Hendra dalam celetukannya.
Mengalami lika-liku singkat kehidupan yang mereka jalani, sebagai anak Jakarta saya iri juga. Di kota ini, rasanya sulit sekali menyanyikan lagu tenar Koes Plus “Kolam Susu” dengan gembira. Karena di Jakarta kail dan jala saja pasti tak cukup untuk menghidupi kita.