Perjalanan tidak lagi menjadi tujuan utama. Fokusnya beralih pada mendapatkan banyak jempol dan komentar.
Sekitar akhir 1990-an sampai awal 2000-an, saya dan keluarga sering melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa, terutama saat liburan sekolah. Cirebon biasanya menjadi titik henti pertama karena banyak anggota keluarga besar berasal dan tinggal di kota ini. Alhasil, kami lebih sering melewati jalur utara dibanding selatan.
Setelah singgah di Cirebon, kami akan melanjutkan perjalanan ke kota-kota lain hingga mendekati perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seingat saya, itulah titik terakhirnya. Kami tidak banyak melakukan perjalanan ke timur Pulau Jawa ketika itu, mungkin hanya satu atau dua kali dari total puluhan perjalanan.
Kami juga senang mencicipi berbagai macam makanan di tiap kota yang kami datangi. Kefasihan orang tua saya berbicara dalam beberapa bahasa, seperti Sunda, Cirebon, dan Jawa, memudahkan kami untuk bertanya pada masyarakat lokal tentang lokasi penjual makanan atau tempat menarik lain.
Peta digital pada ponsel belum jamak digunakan kala itu, sehingga mencari jalan dan menghitung waktu tempuh selama perjalanan menjadi tantangan tersendiri. Karena itu, tersesat dalam perjalanan bukan hal aneh bagi kami. Terkadang, kami malah menemukan banyak hal menarik dan tak terduga. Hitung-hitung menambah pengalaman.
Ayah yang hobi fotografi kerap menyetop mobil sepanjang perjalanan, lalu memotret pemandangan, momen, atau orang-orang. Tak luput ia memotret kami, anggota keluarganya. Sampai saat ini, foto-foto di berbagai lokasi itu masih tersimpan rapi berupa hasil cetakan foto di tembok rumah dan album foto, juga yang masih dalam bentuk fail digital, bahkan rol film.
Foto-foto tersebut menjadi media paling ideal untuk mengingat momen-momen yang terjadi di masa lampau. Berbagai kenangan bisa dirasakan kembali saat melihat foto. Kemudian, dalam imajinasi, foto seolah bergerak, dan sekali lagi, saya menjadi aktor di dalamnya.
Media sosial datang, kenangan dipaksa pergi
Setelah 2005, kehadiran media sosial, seperti blog, Friendster, dan Facebook, memberikan kesempatan pada para pejalan untuk membagikan momen mereka pada teman, anggota keluarga, dan khalayak luas. Ada yang sekadar berbagi pengalaman mengenai tempat yang mereka kunjungi, ada juga yang membagikan informasi lengkap terkait lokasi, akomodasi, maupun akses di daerah tertentu. Tidak jarang, sebagian orang mendapatkan keuntungan materi dari aktivitas berbagi di media sosial tersebut.
Oliveira dkk. (2020), dalam studi “Why do people share their travel experiences on social media?“, mengungkap salah satu alasan orang berbagi di media sosial adalah untuk mendapat kesenangan pribadi saat dirinya dinilai “tertentu” oleh orang lain. Berbagai foto, baik pemandangan maupun diri sendiri, diharapkan dapat memengaruhi pandangan orang lain terhadap apa yang ingin dicapai si pengunggah foto. Istilah trendinya adalah aktualisasi diri.
Akhirnya, semakin banyak orang menulis di blog perjalanan atau mengunggah foto dan video mereka di media sosial. Lewat medium-medium itu mereka bisa menceritakan pengalaman yang mereka rasakan selama perjalanan. Saya pun bisa dimasukkan dalam kategori ini. Karena bekerja di bidang pariwisata, mengunggah foto perjalanan di berbagai belahan dunia bisa menjadi nilai tambah. Apakah foto-foto yang saya unggah dapat memengaruhi pikiran orang tentang diri saya? Bisa jadi, iya. Begitulah cara kerja media sosial saat ini sebagai sarana aktualisasi diri.
Meski begitu, tidak semua orang mau membagikan pengalaman jalan-jalannya di media sosial. Ada yang mempertimbangkan masalah keamanan dan privasi.
Sejak kehadiran Instagram, apalagi saat jumlah penggunanya kian meledak, semua orang seakan berlomba untuk membagikan kisah perjalanannya, baik di story maupun feed. Semua yang ada pada diri mereka dibagikan. Namun, apakah yang mereka bagikan merupakan gambaran diri mereka yang asli? Belum tentu. Banyak teman yang terlihat bahagia dan makmur di media sosial mengaku kondisinya serbaberkebalikan di kehidupan nyata.
Aktualisasi diri kini tidak hanya membuka kesempatan bagi orang lain untuk menilai, tapi juga berupaya mengatur dan mengarahkan orang lain untuk berpikir sesuai dengan yang diharapkan. Rasanya hal ini telah berjalan selama 4-5 tahun terakhir.
Aktualisasi diri kini tidak hanya membuka kesempatan bagi orang lain untuk menilai, tapi juga berupaya mengatur dan mengarahkan orang lain untuk berpikir sesuai dengan yang diharapkan
Hal lain yang menarik bagi saya, seringkali saya mendengar teman yang kebingungan karena tidak ada konten yang bisa mereka unggah di media sosial, sehingga mereka “harus” melakukan perjalanan untuk ngonten. Ada juga teman yang memiliki banyak foto perjalanan di media sosial, namun ia tak dapat menceritakan secara detail kenangan yang terjadi di tempat tersebut. Baginya, yang penting sudah memiliki foto di Menara Eiffel, Times Square New York, Pulau Padar Komodo, atau tempat ikonik lain. Sisanya, termasuk cerita perjalanannya, buram.
Jika ditelisik lebih dalam, akhirnya perjalanan tidak lagi menjadi tujuan utama. Fokusnya beralih pada foto-foto, aktualisasi diri, dan mengisi laman media sosial demi mendapatkan banyak jempol dan komentar. Perjalanan hanya jadi konteks bagi konten, yang terpenting adalah diri sendiri. Ibaratnya, orang berfoto di studio dengan latar Menara Eiffel, namun “kebetulan” saja lokasinya asli.
Realitas virtual ini membuat mereka seolah hidup di media sosial, namun tidak menghidupi perjalanannya.
Realitas virtual ini membuat mereka seolah hidup di media sosial, namun tidak menghidupi perjalanannya. Para pejalan akhirnya terasing dari makna perjalanannya sendiri. Mungkin inikah wajah perjalanan kita di masa sekarang?
Referensi:
Oliveira, T., Araujo, B., & Tam, C. (2020). Why do people share their travel experiences on social media?. Tourism Management, 78: 1-14.