Kehadirannya selalu didahului oleh bel atau lagu yang dibunyikan pengeras suara. Wujudnya menyusul kemudian
Hampir dua puluh tahun lalu, sore adalah waktu yang paling saya tunggu dalam satu hari. Saya bisa bebas main di luar rumah bersama tetangga, atau diboncengi sepeda keliling komplek oleh asisten rumah tangga (ART).
Di sela kegiatan sore tersebut, kami selalu awas menunggu datangnya abang penjual roti keliling. Kehadirannya selalu didahului oleh bel atau lagu yang dibunyikan pengeras suara. Wujudnya menyusul kemudian: laki-laki yang mengayuh sepeda, dengan kotak kaca berisi roti-roti di depannya. Ia ‘kan berhenti di depan salah satu rumah; kami segera mengerubunginya.
Roti tawar ialah primadona. Ia bisa didandani isian manis (gula, selai, meses) atau asin (telur, tomat, selada). Seringnya kami beli roti tawar untuk sarapan atau bekal sekolah esok hari. Pula, terkadang saya beli satu roti cokelat untuk langsung dimakan, seraya memungkasi sesi bermain di luar rumah sore itu.
Kini, kegiatan menunggu dan membeli roti dari penjual keliling tak lagi saya rasa. Entah karena jumlah tukang roti keliling kian sedikit, entah karena saya tak punya waktu senggang lagi di sore hari. Pengalaman itu pun makin pudar saat saya hijrah ke London. Tetapi, sebagai ganti, kota ini menyajikan kisah roti yang lain
Adalah The Old Post Office Bakery di daerah Clapham, selatan kota, yang memberi saya kisah roti ala London. Kedai roti ini berdiri sejak 1982, membuatnya sah menjuluki diri sebagai ‘toko roti organik tertua di London’—label yang membikin saya penasaran dan akhirnya membawa saya ke sana. Saya tak tahu seberapa ramai toko ini pada awal berdirinya, tetapi, pagi itu, sejumlah orang telah mengular antrean di luar toko, menjalar hingga menutupi salon di sampingnya.
Antrean terjadi sebab pengunjung mesti masuk secara bergantian. Satu pengunjung masuk, memilih roti, membayar di kasir, baru kemudian satu pengunjung lain boleh masuk dan mengulangi ritme yang sama. Alhasil, meski berukuran kecil, The Old Post Office Bakery sanggup menjamu tiap pengunjung, sekaligus patuh pada protokol jaga jarak era pandemi.
Kendati begitu, antrean berlangsung tak lama. Rasa-rasanya, mayoritas pengunjung adalah langganan, sehingga mereka sudah tahu mau beli roti apa. Bahkan, beberapa mungkin sudah punya roti favoritnya. Seorang staf The Old Post Office Bakery, misalnya, segera menyiapkan roti untuk orang di depan saya ketika ia masih berdiri di pintu toko, menanti giliran masuk.
Pagi itu, sejumlah orang telah mengular antrean di luar toko, menjalar hingga menutupi salon di sampingnya.
Pengalaman saya tentu beda dengan pengunjung sebelum saya, sebab ini kali pertama saya datang ke situ. Saya bertanya roti apa yang jadi ciri khas toko itu, sembari terus memutar bola mata ke roti-roti yang disajikan di meja. “Tergantung apa yang kamu sukai. Kami punya sejumlah rekomendasi untuk yang manis, begitu pula yang asin,” balas seorang staf.
Untuk tak membuat antrean memanjang, saya segera menjatuhkan pilihan dan menyelesaikan transaksi untuk sepotong fruit danish, salah satu rekomendasi mereka untuk roti manis; juga almond croissant dan pain au chocolat, dua jenis roti yang sudah akrab di indera perasa dan sering saya beli di supermarket Lidl dan Sainsbury’s. Ketiga roti itu masing-masing dibungkus dengan kantong kertas berwarna cokelat, siap untuk dibawa pulang ke rumah.
Pengalaman membeli roti di tukang roti keliling dan di The Old Post Office Bakery jelas beda, begitu pula kualitas roti keduanya. Penjual roti keliling mungkin bukan pembuat roti, ia cuma bertugas menjual roti-roti yang diproduksi secara massal, hingga habis tak bersisa setiap harinya. Jika ditanyai saran soal roti andalan, jawaban yang diberikannya bisa jadi roti yang paling sering dibeli orang.
Sedang, The Old Post Office Bakery tak hanya mengedepankan kuantitas, tapi juga seni membuat roti itu sendiri. Memilih bahan dengan teliti, menggunakan alat-alat bermutu tinggi, dan menguasai teknik pembuatan roti secara matang. Alhasil, toko tua itu menyajikan beragam jenis roti yang mengembang sempurna, juga memiliki tingkat kemanisan pas dan buah/sayur yang segar.
Ah, keduanya tak semestinya dibanding-bandingkan. Tempat dan tradisi perihal rotinya pun sudah beda. Roti bukan makanan pokok di Indonesia—kata banyak orang, “belum kenyang kalau belum makan nasi”, sedangkan roti berperan amat penting di kehidupan orang Eropa, dari sarapan hingga makan malam, dari makanan pembuka hingga penutup.
Membeli roti di tukang roti keliling dan di The Old Post Office Bakery sama-sama akan jadi kenangan yang menyenangkan. Jika bertandang lagi ke Clapham, saya tentu akan kembali ke antrean di depan toko roti organik tertua itu. Begitu pula, jika saya bisa memutar waktu, saya ‘kan menunggu tukang roti keliling yang lewat di depan rumah saban sore.