“Ironisnya, dalam perjalanan yang katanya penuh pencarian, yang dicari justru bukan diri sendiri—melainkan pengakuan dari orang lain”
Di era digital ini, arah perjalanan tak lagi ditentukan oleh kompas, tetapi algoritma. Tempat-tempat yang dikunjungi bukan lagi dipilih karena maknanya, melainkan karena daya tarik visualnya di media sosial—yang Instagrammable. Perjalanan bukan lagi proses menemukan, melainkan pertunjukan. Maka lahirlah generasi pejalan baru: mereka yang lebih sibuk mencari sinyal daripada keheningan, lebih peduli pada pencahayaan daripada pelajaran hidup yang bisa diserap dari jalan itu sendiri.
Mereka mendaki gunung bukan untuk bertemu sunyi atau menguji diri, melainkan demi satu momen: sebuah foto selfie di puncak, dilengkapi caption bijak hasil comot dari Pinterest. Puncak bukan lagi simbol pencapaian spiritual, melainkan trofi digital. Yang penting foto dulu—peduli nanti. Alam hanya dijadikan latar, bukan lagi guru.
Para pejalan kekinian lebih fasih menyusun itinerary konten daripada menghargai jejak langkah mereka sendiri. Mereka tahu persis di mana spot matahari terbit terbaik, tapi tak tahu etika paling dasar untuk tidak meninggalkan puntung rokok di tanah. Semua demi satu tujuan: likes, views, dan validasi semu yang basi terlalu lekas.
***
Alam Jadi Konten
Ironisnya, dalam perjalanan yang katanya penuh pencarian, yang dicari justru bukan diri sendiri—melainkan pengakuan dari orang lain. Kita ingin terlihat sederhana tapi tetap mewah, tampak seperti petualang tapi tetap bersih, terlihat alami tapi tetap estetik. Kontradiksi ini dikemas rapi lewat editan warna, komposisi simetris, dan filter dramatis. Keaslian bukan lagi tujuan, tapi strategi pencitraan.
Sementara itu, alam menjadi korban dari ambisi digital manusia. Sampah berserakan di jalur pendakian, bunga liar diinjak demi pose ‘keren’, dan satwa terusik oleh suara tawa dan speaker portabel yang tak tahu waktu. Tapi itu semua dianggap wajar. Selama engagement naik, kerusakan bisa dimaklumi. Toh nanti bisa ditebus dengan satu unggahan story bertagar #SaveNature—seolah satu swipe bisa menutupi jejak dosa yang ditinggalkan di tanah.
Di Taman Nasional Gunung Rinjani, misalnya, tercatat lonjakan kunjungan yang mencolok. Pendapatan non-pajak (PNBP) dari sektor wisata naik dari Rp 18,9 miliar pada 2021 menjadi Rp 78,9 miliar di tahun 2023—lonjakan lebih dari 300 persen hanya dalam dua tahun. Angka-angka ini menggembirakan di atas kertas. Tapi di balik statistik, ada beban yang tak kasat mata: jalur-jalur yang rusak, gunungan sampah yang belum sempat dibersihkan, dan tekanan ekologis yang terus menggerus daya dukung alam.
Tahun ini, NTB menargetkan 2,5 juta wisatawan. Sebuah ambisi besar bagi perekonomian, namun menjadi pertanyaan mendalam bagi kelestarian: seberapa kuat alam mampu menampung ego sebanyak itu? Dan lebih penting lagi, seberapa sadar kita—para pejalan, pencari gambar, pemburu validasi—akan jejak yang benar-benar kita tinggalkan?
***
Motivasi yang Bergeser
Perubahan cara kita memandang perjalanan ternyata tak luput dari riset-riset di universitas. Banyak peneliti angkat suara tentang bagaimana motivasi dalam berwisata telah bergeser—dari eksplorasi menjadi ekspose. Carla Ruiz dari Universitas Zaragoza menyebut bahwa desakan untuk terus memproduksi konten foto dan video berkualitas tinggi telah mendorong munculnya fenomena baru: wisata bukan lagi soal mengalami sesuatu secara otentik, melainkan membangun citra diri lewat tur digital self-branding.
Temuan tersebut didukung temuan lain, oleh Lim Sze Yee dkk., yang menunjukkan bahwa visualisasi destinasi di media sosial memiliki pengaruh langsung terhadap keputusan seseorang untuk berkunjung. Daya pikat estetika mengalahkan pertimbangan akan kapasitas ekologis atau kesiapan infrastruktur. Dengan kata lain, selama tempat itu terlihat indah di layar, dampak nyatanya pada alam sering kali tak diperhitungkan.
Fenomena ini menyebar di mana-mana. Survei yang dilakukan Talker Research bersama BeachBound Vacations mencatat bahwa 39 persen wisatawan Amerika Serikat mengaku “berperilaku seperti influencer” saat berlibur. Di Indonesia, gejala yang sama terasa kentara: jalur-jalur pendakian yang rusak karena over-kapasitas, spot-spot alami yang kehilangan keaslian karena terus-menerus diekspos tanpa jeda, dan aturan konservasi yang diabaikan begitu saja demi mengejar estetika digital.
Perjalanan telah berubah wajah. Ia bukan lagi cermin untuk melihat ke dalam diri, melainkan panggung untuk menampilkan versi terbaik dari diri yang ingin kita jual ke dunia. Dan yang kita korbankan—baik alam maupun nilai—jarang terlihat dalam bingkai yang kita unggah.

Foto oleh: Widibhek
***
Saatnya Berhenti Sebentar—Untuk Benar-Benar Melihat
Zaman memang berubah. Teknologi mengubah cara kita bergerak, melihat, bahkan merasa. Namun dalam arus perubahan itu, kita kadang lupa bertanya: ke mana sebenarnya kita berjalan? Ketika perjalanan tak lagi tentang pengalaman, melainkan tentang pencitraan, mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak. Bukan untuk mengambil gambar, bukan untuk menambah story, tapi untuk benar-benar melihat—ke luar, dan ke dalam.
Kita berjalan jauh, melintasi lembah dan mendaki puncak, tapi yang kita cari bukan kedalaman makna, melainkan validasi yang hanya bertahan sekejap di layar. Kita sibuk mengabadikan momen, namun gagal menghidupinya. Kita berkata mencintai alam, tapi mencederainya demi estetika. Dalam diam, mungkin kita sebenarnya sedang membohongi diri sendiri—mengira telah mengalami, padahal hanya merekam.
Kalau langkah kaki kita hanya dituntun oleh keinginan untuk diakui, bukan untuk memahami, lalu apa bedanya kita dengan filter yang menutupi kenyataan? Filter bisa membuat langit tampak lebih biru, wajah lebih bersinar, dan kabut lebih puitis. Tapi ia juga bisa membuat kita lupa: bahwa keindahan sejati sering kali tidak butuh dipoles, hanya butuh dirasakan.
Mungkin, dalam diam dan jeda itu, kita bisa kembali menemukan esensi dari berjalan: bahwa perjalanan bukan untuk ditonton, tapi untuk dijalani—sepenuhnya, jujur, dan dengan kesadaran utuh.
*Foto sampul oleh: Andrea lidwina