“kami nyaris tak sadar akan bayangan besar yang tiba-tiba melintas di atas kami. Sekilas, saya kira itu kapal selam. Jantung saya seolah tertinggal beberapa denyut. Tanpa ragu, kami semua tahu, itulah hiu paus.”
Pulau Kapoposang masih sama seperti terakhir kali saya pulang: sunyi, tenang, menyimpan kesan yang sulit dijelaskan. Sejak saya pindah ke Gowa untuk berkebun lima tahun lalu, pulau ini memang menjadi tempat saya “pulang kampung.” Meski, saya hanya sesekali kembali ke sini, itu pun biasanya karena ada kebutuhan dari teman-teman di pulau, terutama yang berkaitan dengan dunia selam.
Kali ini, saya kembali atas permintaan Fadli Insani Ihsan, atau akrab disapa Addonk, dari YEKHALI (Yayasan Keanekaragaman Hayati Laut Indonesia). Ia meminta saya untuk membantu mengajar anak-anak pulau agar naik tingkat dalam sertifikasi selam—dari Advanced Diver menjadi Rescue Diver. Harapannya, mereka akan punya rasa tanggung jawab lebih besar ketika menjadi pemandu selam. Mereka bukan hanya tahu cara menyelam, tapi juga tahu bagaimana menjaga keselamatan orang lain dan menjaga laut tempat mereka hidup.
Perjalanan saya ke Kapoposang ditemani Aryo, seorang kawan dari Makassar, dan Mas Yudi, rekan instruktur saya dari Jakarta. Saya pernah bercerita pada mereka tentang pulau ini. Ia sudah lama dikenal sebagai destinasi wisata selam. Airnya jernih, dengan dinding karang yang jatuh seperti jurang laut dalam—bisa tembus lebih dari 50 meter. Pada 2020, saat saya rutin menyelam, saya pun sering melihat penyu, hiu, giant trevally, dan tuna.
Namun, beda dengan destinasi wisata selam lainnya, sekarang lebih banyak orang datang untuk menangkap ikan ketimbang sekadar melihatnya berenang di bawah laut Kapoposang. Ikan-ikan besar rasanya semakin jarang. Perairan ini seperti mulai sunyi.
Terlepas dari kondisi itu, seusai pelatihan, saya, Mas Yudi, Addonk, dan Aryo sepakat: sebelum pulang, kami akan fun dive di Shark Point, sebuah titik selam di ujung barat Kapoposang. Entah masih ada hiu atau tidak di sana, tak jadi soal. Yang penting adalah turun ke kedalaman, meski hanya untuk dua kali penyelaman.
Kami berangkat pagi dengan jolloro, kapal kayu tradisional khas Sulawesi. Badannya ramping, terbuat dari papan-papan yang disambung dengan pasak kayu, bukan paku—sebuah teknik pertukangan yang diwariskan turun-temurun. Ami, sang juru mudi, turut membawa kawan. Ia ditemani adiknya, bocah berusia 10 tahun bernama Illang. Mereka akan mengantar kami menyelam, sembari mencari ikan. Ami membawa speargun, senjata perburuan bawah laut, sedangkan Illang cukup dengan kaleng bekas yang dililit tali pancing dan kail sederhana.
Hidup di pulau kecil, jauh dari denyut kota, membentuk Ami dan Illang menjadi manusia yang sepenuhnya bergantung pada laut. Di sini, tak ada pasar harian, tak ada supermarket, bahkan listrik pun hanya hidup sesekali, mengandalkan genset atau panel surya seadanya.
Karena itulah, ikan yang mereka tangkap harus segera diolah begitu naik ke darat. Tak ada lemari pendingin tempat menyimpan hasil tangkapan. Tak ada kulkas yang bisa menahan waktu. Yang bisa dilakukan hanyalah memasak sebagian, lalu menyimpan sisanya.
Sementara mereka hendak berburu makan, kami tengah bersiap berburu sunyi.
***
Kesunyian penyelaman pertama
Kami mengambil titik paling utara untuk penyelaman pertama. Hari itu, arus mengarah ke selatan, jadi kami akan menyelam sambil mengikuti tarikan laut.
Seperti yang sudah saya duga sejak menyentuh air, visibilitas hari itu luar biasa jernih. Kami turun perlahan ke kedalaman. Namun, semakin dalam kami meluncur, semakin jelas pula kenyataan yang tersaji: spot ini sedang sepi penghuni. Tak ada kerumunan ikan besar, hanya kawanan ikan-ikan kecil selayaknya yang ada di akuarium rumah.
Kami mencoba menikmati kesunyian itu. Memandangi dinding karang yang abstrak—penuh lekukan tak beraturan, penuh tonjolan-tonjolan karang lunak yang tumbuh menjurai seperti tangan-tangan kecil yang ingin disapa. Mengamati setiap lipatan karang, berharap menemukan sesuatu yang cukup menarik dan memantik rasa—entah nudibranch warna-warni, entah seekor gurita yang pemalu.
Kami pun tenggelam dalam pengamatan. Saking tenggelamnya, kami nyaris tak sadar akan bayangan besar yang tiba-tiba melintas di atas kami. Sekilas, saya kira itu kapal selam. Jantung saya seolah tertinggal beberapa denyut. Namun, siluet itu perlahan menjadi lebih jelas, menjadi lebih hidup. Garis-garis putihnya yang khas, gerakannya yang anggun dan tenang. Tanpa ragu, kami semua tahu, itulah hiu paus.
Seekor Rhincodon typus, si raksasa lembut lautan. Panjang tubuhnya sekitar 6-7 meter, nyaris selebar gang sempit di kota tua. Ia bergerak tanpa tergesa, seolah menari mengikuti arus. Dan kami—empat manusia dengan paru-paru yang dibatasi tabung selam—hanya bisa membeku. Antara tak percaya dan terlalu terpukau untuk benar-benar bergerak.
Hiu paus adalah makhluk yang penuh paradoks. Ia adalah ikan terbesar di dunia, tapi memakan makhluk-makhluk laut yang nyaris tak terlihat, seperti plankton, telur ikan, dan krill, yang disaring lewat mulutnya yang bisa terbuka hingga lebih dari satu meter. Ia adalah hiu, tapi tak berburu. Tak ada gigi tajam yang menakutkan, tak ada naluri pemangsa. Ia hanya berenang perlahan, bagaikan meditasi hidup yang mengajarkan kita untuk hadir.
Tanpa komando, kami semua mencoba mengejarnya agar bisa lebih lama bersama keajaiban ini. Hasilnya, sia-sia. Meski ia tampak berenang santai, tubuhnya menembus arus seolah air tak memberi sedikit pun hambatan. Kami jelas tertinggal, lalu hanya bisa menatapnya menjauh, menelan ketakjuban.
Kami lantas berhenti, berbagi isyarat guna mengetahui berapa banyak udara yang tersisa, dan mengangguk sepakat untuk mengakhiri penyelaman pertama.
Begitu kepala kami muncul di permukaan, air seolah pecah oleh teriakan kami yang tumpah bersamaan. Tawa, sorak, dan kata-kata tak utuh keluar dari mulut kami karena ingin merayakan satu hal. Kami baru saja bertemu hiu paus yang melegenda di Kapoposang.

***
Kejutan penyelaman kedua
“Sudah cukuplah saya menyelam hari ini,” ujar Addonk, setengah tersenyum, setengah masih tenggelam dalam sensasi yang belum habis dicerna. “Bahagia betul rasanya, bisa bertemu hiu paus. Menyelam lagi hanya akan menjadi antiklimaks. Tak mungkin bisa sama.”
Kami mengangguk pelan, sambil terombang-ambing di atas kapal yang melayang di permukaan laut, seperti perasaan kami yang juga belum benar-benar menapak. Euforia tadi—pertemuan tak terduga dengan raksasa laut itu—masih mengisi ruang-ruang kepala kami, bagaikan gema yang lambat hilang.
Meski Addonk tak ingin menyelam lagi, saya, Mas Yudi, dan Aryo memutuskan untuk turun kembali. Bukan karena berharap lebih, justru karena tak berharap apa-apa.
Penyelaman kedua dilakukan di area dekat titik selam pertama. Kontur karang yang sama. Kedalaman yang serupa. Bahkan, kesunyian yang—kami duga—juga akan sama. Namun, kemungkinan kembali bertemu hiu paus adalah hal yang nyaris mustahil. Keajaiban jarang datang dua kali di tempat yang sama.
Sesampainya di sana, Ami mulai berenang di permukaan sekitar kapal, memeluk speargun-nya, menanti ikan besar lewat. Sementara, Illang masih setia di belakang kemudi, sesekali melirik tali pancingnya, berharap ada ikan yang memakan umpannya.
Kami pun bersiap. Tiga tubuh masuk ke laut lagi. Di kedalaman 15 meter, kami melayang mengikuti arus. Kami tidak lagi tertarik pada dinding karang yang tadi sudah kami kenali lekuk-lekuknya. Kali ini, pandangan kami menembus lurus ke laut biru—ke ruang kosong tempat segala kemungkinan bisa muncul.
Dan, ia benar-benar muncul.
Seekor hiu paus datang dari kejauhan. Sebuah bayangan besar yang mendekat tanpa suara. Kami saling memberi kode, tangan bergetar tak sabar, kamera saya sudah siap. Raksasa itu melintas tepat di hadapan kami. Tenang, tak tergesa, seolah kami ini hanya sekelompok ikan kecil yang tak perlu ia perhatikan.
Ia tidak sebesar yang pertama, mungkin cuma sekitar empat meter panjangnya. Tapi, ia tetap makhluk paling anggun yang pernah kami temui. Kami melayang bersama, mengiringi langkah perlahan makhluk itu sejauh kami mampu. Tak ingin mengganggu, hanya ingin dekat. Menyerap momen dengan santai.
Hari itu, kami benar-benar sedang beruntung. Dua kali menyelam, dua kali bertemu hiu paus. Tak sabar rasanya naik ke kapal untuk menggoda Addonk, membuatnya sedikit menyesal telah memilih tinggal di kapal.
Memang begitulah laut. Ia tak selalu memberi pada mereka yang mencarinya, kadang ia memberi pada mereka yang cukup hening untuk sekadar hadir. Pemberiannya pun bukan milik satu waktu saja. Jika kita cukup tenang untuk menerimanya, ia bisa datang dua kali.
“Alhamdulillah, Alhamdulillah, saya dapat ikan!” teriak Illang dari atas kapal, suaranya mengiris permukaan air.
Ternyata, bukan hanya kami yang sedang berbahagia.
