Terakhir, Mama Makusi sempat bertanya pada saya, “Anak, kapan kembali? Ayo lanjut pelesir!”
Ombak-ombak kecil menerpa batang kayu penopang rumah panggung sepanjang malam. Saya yang tidur di dalamnya jadi tak bisa nyenyak: kadang terlelap, kadang terbangun. Ketika hari menuju pagi, barulah ombak agak lebih tenang. Tidur bisa lebih pulas.
Bukan hanya deru ombak, tidur di rumah panggung yang letaknya persis di atas laut juga membuat badan saya sering masuk angin. Angin pantai masuk dari celah-celah antarkayu yang ada di bagian bawah dan samping rumah. Tulang-tulang di badan pun jadi linu. Dua bulan tinggal di homestay ini membuat fisik saya agak terkuras.
Setiap pagi, saya baru merasa terbebas dari angin. Saya biasanya duduk di bawah sinar matahari untuk menghangatkan badan. Sesekali di ujung dermaga, sambil melamun atau melihat lautan. Sesekali di jembatan yang terbuat dari kayu, sembari tidur-tiduran.
Jika tidak malas, saya lanjut menulis catatan-catatan selama melakukan riset di Saporkren, Raja Ampat. Pada momen ini, Unu—anak pemilik homestay—biasanya terus “mengganggu” saya dengan menarik tangan dan kaki saya untuk main bersama. Saya lebih sering tergoda dan akhirnya main kejar-kejaran dengan Unu.
Unu, yang berusia delapan tahun, tidak sekolah. Mama Unu bilang ia memiliki kelainan. Pertumbuhannya melambat. Di usianya saat itu, ukuran badan dan mental Unu seperti anak berusia tiga tahun.
Setelah mandi keringat, air laut yang bening tentu menjadi daya tarik bagi saya dan Unu. Kami biasanya lanjut bermain air di bibir pantai. Unu senang melompat dari dermaga langsung ke laut, dengan jarak tinggi sekitar dua meter. Karena tidak terlalu dalam, saya memilih turun tangga dermaga secara perlahan dan menghampiri Unu.
Ritual pagi tersebut kami selesaikan dengan mandi dari air bersih yang dialirkan dengan selang di dekat dermaga. Karena air buangannya langsung menuju laut, saya mandi tanpa menggunakan sabun.
Di siang hari, Bapak dan Mama Makusi sering datang berkunjung, bercengkerama dengan Mama Unu dan saya. Bapak Makusi adalah saudara Mama Unu. Ia menikah dengan Mama Makusi, perempuan asal Manado yang waktu itu berusia akhir 40an tahun. Keduanya senang saat tahu saya tinggal sementara di homestay Mama Unu. Mereka bilang rasanya seperti mendapat anak baru dari Jawa.
Bapak dan Mama Makusi tinggal di pulau dekat Saporkren, hanya 30-45 menit perjalanan dengan perahu kayu bermotor tempel. Dengan suara besar dan menggelegar, sapaan Mama Makusi selalu terdengar sebelum kapal yang ia tumpangi singgah di dekat homestay. Mereka biasanya singgah 30 menit sampai satu jam untuk beristirahat sejenak. Lalu, mereka melanjutkan perjalanan ke kota guna membeli bahan makanan harian.
***
Selama beberapa waktu di Saporkren, saya mendapati beberapa turis “tersasar” dan minta menginap di homestay. Memang hanya turis yang salah jalan atau mendapat rekomendasi dari orang di pelabuhan yang berkunjung ke desa ini, karena tidak ada promosi pariwisata apa pun.
Saya biasanya langsung menyambut dan mengajak mereka duduk di meja makan, yang terbuat dari potongan-potongan kayu. Menyuguhkan teh, berbasa-basi sebentar, kemudian membantu menyiapkan kamar yang akan digunakan tamu menginap di malam itu. Saya menepuk-nepuk kasur dan bantal dengan sapu lidi, dilanjut menyapu lantai. Setelah kamar siap, saya mempersilakan mereka masuk dan beristirahat di kamar.
Beginilah kira-kira tugas saya selama dua bulan di Raja Ampat. Mama Unu tidak bisa berbahasa Inggris, padahal tamunya kebanyakan orang asing. Jadi, saya diminta bantu mengajak bicara para tamu. Imbalannya, tentu saja saya dapat menginap di homestay secara gratis.
Jika homestay sedang ramai, Mama Unu biasanya meminta Mama Makusi untuk datang dan membantu menyiapkan berbagai kebutuhan tamu. Misalnya, ketika itu kami menerima delapan orang turis dari Jepang. Mama Unu tentu kewalahan mengurus sendiri. Makanya, Mama Makusi hadir dan membantu sementara, itu pun kalau ia sedang tidak memiliki tamu di pulaunya.
Mama Makusi lebih percaya diri berbahasa Inggris dibandingkan Mama Unu. Ia seringkali menanyakan beberapa pertanyaan template, seperti dari mana asal sang tamu, berapa lama akan liburan di Raja Ampat, dan ke mana saja tujuan mereka selama di pulau ini. Mama Unu biasanya ikut nimbrung, meski hanya bermodalkan senyum dan sesekali menebak arah percakapan.
“Oh, tamu dari Jepang ya,” bisik Mama Unu pada saya sambil tersenyum malu.
Setelah bercengkerama dan mengetahui durasi menginap tamu, Mama Unu meminta beberapa saudaranya untuk mencari ikan dengan perahu motor. Jika dapat, ikan akan dimasak dan jadi santapan para tamu, juga kami sekeluarga. Jika tidak dapat, makanan yang bisa disuguhkan hanya nasi dan sayuran.
Ada cara lain sebenarnya untuk mendapat ikan: menunggu nelayan yang sesekali datang menjajakan ikan hasil tangkapannya. Namun, mereka pun tidak selalu pergi melaut.
Akhirnya, kami membeli sayuran di pasar yang terletak di kota. Mama Makusi akan menunggu di homestay, sementara saya dan Mama Unu menuju kota. Saya membonceng Mama Unu di motor dan menempuh satu jam perjalanan. Beberapa kali Mama Unu harus turun karena tanjakan terlalu terjal.
“Anak, biar sudah, semua orang pasti turun dari motor di posisi ini. Kau tunggu Mama di atas ya,” kata Mama Unu sambil berjalan menyelesaikan tanjakan. Sedangkan, saya berusaha menggeber mesin motor tua tersebut agar tenaganya kuat untuk melalui tanjakan.
Mama Unu paling senang membeli kangkung. Kangkung di sana terlihat segar dan banyak jumlahnya dalam satu ikat. Di pasar itu, kami sebenarnya bisa juga menemukan ikan dengan mudah, tapi harganya mahal. Jadi, Mama Unu seringkali hanya membeli sayur dan telur sesekali.
Setelah pulang dari kota, kami langsung masuk ke dapur. Tidak jarang tikus-tikus hitam besar langsung lari terbirit-birit keluar dari dapur. Di sana, saya dan Mama Makusi membantu memetik kangkung dan menemani Mama Unu memasak.
Mama Unu senang memasak dengan bawang putih dan bawang merah, dilengkapi bumbu penyedap pabrikan. Kangkung dimasak di atas wajan besar berwarna hitam, dengan api hasil bakaran kompor minyak tanah. Meski hanya kangkung, wangi yang dihasilkan wajan tua itu sangat menggugah selera. Mungkin juga karena angin di malam hari sudah semakin kencang, jadi perut mulai keroncongan.
Setelah makanan jadi, Mama Makusi langsung mengoordinasi kami untuk membantu menyiapkan makanan bagi para tamu. Nasi, sayur, dan telur—ditambah ikan jika ada. Kami akan makan bersama para tamu, dilanjut saling bercengkerama. Saat malam semakin larut, kami pun mulai berberes.
Saya sebenarnya paling malas mencuci piring. Jadi, paling banter saya hanya menumpuk dan membawakan piring kotor ke dapur. Di sana, Mama Unu, Mama Makusi, dan anggota keluarga lain sudah berkumpul dan bersiap mengakhiri hari dengan mencuci piring.
Listrik yang hanya dinyalakan pada sore hari membuat malam terasa sangat gelap. Tanpa sedikit pun penerangan lampu. Akhirnya, kami lanjut tidur di kamar masing-masing—atau, bagi saya, kembali memulai derita masuk angin.
***
“Anak, kau bantu Mama belikan minyak saja. Nanti kita keliling pulau sama Unu dan Mama Unu juga,” kata Mama Makusi.
“Baik, Mama. Besok kita pergi ramai-ramai ya,” jawab saya.
Begitu kira-kira percakapan saya dengan Mama Makusi, dua hari sebelum saya meninggalkan Saporkren. Karena menganggap saya bak anaknya sendiri, ia berharap dapat memberikan saya kebahagiaan dengan mengelilingi pulau-pulau di Raja Ampat.
Saya sebenarnya pernah ikut keliling dengan perahu sewaan para tamu selama di Raja Ampat. Namun, memang ada beberapa titik yang belum pernah saya kunjungi. Mama Makusi bersikeras saya belum ke Raja Ampat kalau belum mengunjungi lokasi-lokasi tersebut. Jadi, ya sudah, saya ikut saja. Hitung-hitung bisa liburan bareng bersama keluarga baru saya di Raja Ampat.
Sehari sebelum jalan-jalan, saya dan Bapak Makusi membeli bensin sebagai bahan bakar jonson dan makanan untuk dibawa saat tamasya bersama. Saya mengeluarkan uang pegangan sebesar Rp 300 ribu ketika itu. Uang ini tadinya hendak dipakai untuk menginap dan makan sehari-hari selama di Saporkren. Namun, karena Mama Unu membiarkan saya tinggal secara gratis, uang tersebut bisa dialokasikan untuk pelesiran di hari terakhir sebelum pulang ke Jawa.
Esok paginya, saya sudah siap melakukan perjalanan dengan kapal. Kantong-kantong bekal juga telah kami siapkan untuk di perjalanan. Kami tinggal menunggu Bapak dan Mama Makusi datang menjemput.
Nahas, tidak ada tanda-tanda kedatangan mereka sampai siang hari. Saya mulai lelah menunggu. Saya sampai tertidur di atas kayu-kayu dermaga karena bosan. Sinar matahari yang kian terik di atas kepala akhirnya membangunkan saya untuk pindah tidur di atas kasur. Tiga jam terbuang sia-sia untuk menunggu Bapak dan Mama Makusi, pikir saya ketika itu.
Mendekati petang, Bapak Makusi akhirnya datang. Bukan kebahagiaan, ternyata kabar duka yang ia bawa. Ayah dari Mama Makusi sakit keras dan sudah memasuki kondisi kritis. Hal inilah yang menghambat mereka untuk memenuhi janji tadi pagi. Sinyal telepon yang terbatas juga mempersulit kami untuk berkomunikasi kala itu.
Bapak Makusi langsung meminta saya naik ke atas kapal untuk melanjutkan janji pelesir. Mama Makusi meminta pada Bapak untuk tetap menjalankan janjinya pada saya. Toh, uang yang kemarin saya berikan sudah berubah wujud menjadi bensin.
Meski begitu, saya merasa tidak enak hati. Bagaimana mungkin saya tetap pelesir di saat Mama Makusi sedang berduka. Malah, perjalanan ini merupakan idenya. Akhirnya, saya memilih untuk tidak pelesir dan mengunjungi Mama Makusi di pulau tempat ayahnya tinggal. Saya lupa nama pulaunya, kira-kira dapat ditempuh dengan kapal motor selama 45 menit.
Sampai di sana, saya langsung diajak Bapak Makusi berjalan masuk ke dalam kampung yang berada di pesisir laut. “Itu rumah mertua saya, kau masuk saja ke dalam,” terang Bapak Makusi.
Baru sampai di luar rumah, hati saya gemetar mendengar suara tangis Mama Makusi yang terisak-isak. Ayahnya baru saja meninggal, beberapa menit sebelum saya sampai. Mama Makusi terus menangis dan berteriak menyerukan panggilan pada ayahnya.
Di luar pintu kamar, saya memandangi sang bapak yang telah memejamkan mata di atas kasur. Mama Makusi berlutut di sampingnya, sambil memeluk ayahnya erat-erat. Semua orang di rumah tersebut diselimuti kedukaan yang amat mendalam.
Mendekati malam hari, Mama Makusi yang kondisinya sudah lebih stabil minta maaf pada saya karena urung melaksanakan janjinya. Saya tentu saja menenangkan Mama Makusi dan menyampaikan saya tidak apa-apa—alasan batalnya rencana pelesir ini sangat bisa saya terima. Saya pun minta Mama Makusi menggunakan uang yang sudah berubah menjadi bensin untuk membawa jenazah ayahnya ke kota. Rencananya, mereka akan menguburkan sang ayah di sana.
Kami pun berpisah di malam itu. Saya kembali ke Saporkren diantarkan Bapak Makusi. Inilah gambaran hari terakhir saya di Saporkren. Besok paginya, saya pergi ke kota dan melanjutkan perjalanan kembali ke Jawa.
Lima tahun berselang, saya masih sering berkontak dengan Mama Unu dan Mama Makusi. Terakhir, Mama Makusi sempat bertanya pada saya, “Anak, kapan kembali? Ayo lanjut pelesir!”