“Artis itu sempat menitipkan pesan pada Bu Eko untuk menjaga pantai tetap bersih dan sepi.
..dengan kesal Bu Eko menimpali dalam hati, “Oh, berarti enggak mau orang sini maju dong.””
Di banyak tempat yang saya kunjungi, entah sebagai pejalan atau peneliti pariwisata (atau keduanya!), selalu ada cerita tentang tegangan antara apa yang orang lokal mau dan apa yang turis inginkan.
Pada umumnya, meski tentu tak semua, masyarakat lokal yang terlibat pariwisata menginginkan tempat tinggalnya semakin dikenal, semakin banyak didatangi turis, dan imbasnya semakin banyak pendapatan yang diraup.
Di sisi lain, kerap kali turis (apalagi tipe wisatawan tertentu) menginginkan suatu tempat wisata tak terlalu ramai dan lebih sedikit turis yang datang (betapa paradoksikalnya, turis anti-turis).
Cerita-cerita soal tegangan semacam ini biasanya muncul dalam bingkai ‘kemajuan’ pariwisata. ‘Maju’ yang dimaksud masyarakat lokal adalah hal-hal yang disebut di atas: makin tenar, makin ramai, makin cuan. Sedangkan, dalam kerangka berpikir itu, sebagian wisatawan akan dicap tak mau pariwisata suatu tempat ‘maju’.
Setiap pihak berdiri pada pijakan berpikir-bertindak masing-masing. Tak ada salah-benar. Namun, dalam konteks tertentu, dua gagasan yang bertolak belakang itu seringkali mesti bergulat secara riil. Dan, dalam setiap pergulatan, biasanya ada yang menang dan ada yang kalah. Mau ramai atau sepi? Mau maju atau tidak?
Ombak rahasia
Saya mau cerita tentang Lhoknga, Aceh dan menautkannya dengan narasi ‘ombak rahasia’, bagaimana ia terkait dengan imajinasi lokal soal kemajuan pariwisata, juga taraf hidup yang lebih baik karena pariwisata.
Dalam dunia selancar, lokasi ombak yang relatif baru diketahui atau ’ditemukan’ biasanya dijaga betul kerahasiaannya. ‘Secret spot’ atau ‘Spot X’ adalah sesuatu yang nyaris sakral. Semakin lama suatu ombak dijaga kerahasiaannya, semakin lama pula peselancar yang mengetahuinya bisa menikmati ombak itu dengan leluasa, tanpa harus berebut ombak dengan peselancar-peselancar lain.
Di Indonesia, banyak tempat surfing tadinya adalah titik-titik selancar ‘rahasia’, meski lambat-laun waktu memudarkan kerahasiaan itu. Hingga akhirnya ia benar-benar bukan rahasia lagi, ia jadi konsumsi umum.
Lhoknga, bisa dibilang, adalah salah satu contoh lubernya rahasia ombak selancar. Penyebabnya? Ombak besar tsunami.
Saya duduk santai dengan Bang Rizal* di suatu sore musim barat. Ia cerita bahwa dulunya, sebelum tsunami, wisata selancar di Lhoknga tak seramai sekarang. Dulu bule peselancar yang datang ke Lhoknga “itu-itu saja”. Orang-orang lama. Bule-bule itu enggan membocorkan soal keberadaan Lhoknga ke teman-temannya. Mereka ingin menyimpan ombak Lhoknga untuk diri dan kalangan sendiri. “Mereka tak mau kita maju,” ucapnya.
Namun, setelah tsunami, informasi tentang ombak selancar di Aceh jadi lebih terbuka. Itu karena banyak LSM asing masuk ke Aceh. Mereka jadi tahu bahwa ada ombak selancar di Aceh. Banyak di antara ‘bule LSM’ itu berselancar, atau mencoba selancar di Aceh. Mereka pun mengabarkan soal keberadaan titik selancar Aceh ke teman-temannya yang berselancar. Imbasnya rahasia soal ombak Aceh yang disimpan bertahun-tahun bocor ke publik. Ia bukan rahasia lagi.
Ombak tsunami membuka keran informasi tentang ombak selancar Aceh. Tanpa tsunami, tanpa adanya LSM-LSM asing yang masuk ke Aceh, mungkin Lhoknga akan tetap sepi seperti dulu, terjaga kerahasiaannya. Setelah tsunami, perkembangan wisata selancar di Lhoknga cukup pesat. Ditandai banyaknya turis yang datang dan pertumbuhan akomodasi selancar.
Sekarang, bule-bule ‘lama’ yang disebut Bang Rizal, yang sebelum tsunami ingin menjaga kerahasiaan ombak Lhoknga, bahkan turut meramaikan geliat wisata selancar di sana, misalnya dengan membuka bisnis homestay atau kafe pantai.
Bang Abdul*, peselancar lokal, pada momen yang lain menambahkan bahwa bule-bule peselancar yang ia kenal biasanya memang betul-betul menjaga kerahasiaan ombak yang relatif baru diketahui di jagat selancar.
“Dia memang enggak mau kasih tahu, biar apa, dia enggak mau orang nanti ramai. Kalau ramai, dia enggak bakal nyaman lagi pergi surfing. Dia enggak bakal kasih tau, karena nanti suatu saat dia balik lagi ke tempat itu, tetap seperti itu, sepi,” tandasnya.
Ia lalu mengisahkan ulang cerita yang pernah ia dengar, tentang sosok yang disebutnya sebagai ‘penemu ombak pertama di Bali’. Katanya, “Setelah Bali (jadi) seperti ini, setelah Bali ramai dikunjungi, dia pernah bilang, ‘Saya sangat menyesal memperkenalkan Bali ke dunia luar, akhirnya seperti ini. Kalau tahu seperti ini, saya enggak akan beri tahu semuanya tentang Bali’.”
“Tapi,” lanjut Bang Abdul, “ya kalau seperti itu, masyarakat tetap seperti dulu. Ekonominya nggak berubah, ya sama-sama aja. Kalau sekarang kan ekonomi sudah lebih bagus. Tinggal kita saja mikirnya untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang banyak.”
Yang sepi yang dicari
Lhoknga adalah salah satu bagian dari riset disertasi saya tentang wisata selancar di Indonesia. Lokasi lain adalah Watukarung, Pacitan, Jawa Timur. Di sana juga muncul cerita tentang tegangan antara wisatawan yang mau pantai dan laut sepi dengan warga lokal yang mau pariwisata ‘maju’.
Di warung makan pinggir pantai, pada Sabtu siang yang tak terlalu ramai, saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Pak Eko* dan Bu Eko*. Kami membahas hal-hal yang tak paralel: benur, musim dingin New Zealand, dan betapa sulitnya mengelola homestay selancar tanpa kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni.
Pada satu titik, Bu Eko tiba-tiba cerita soal artis-artis Jakarta yang pernah berkunjung ke Pantai Watukarung. Ia menyebut nama Dono Warkop DKI, yang datang jauh sebelum Watukarung populer seperti sekarang. Ada juga Meriam Bellina, Dewi Hughes, Fathir, Aliando, dan lain-lain.
Yang menarik adalah cerita soal salah satu artis, yang tak perlu saya sebut namanya. Artis itu, ketika berkunjung ke Watukarung, sempat menitipkan pesan pada Bu Eko dan beberapa warga lokal lain untuk menjaga pantai tetap bersih dan sepi. Caranya? Jangan dikasih tahu ke orang-orang, supaya tetap bersih.
Saat itu, katanya, dengan kesal Bu Eko menimpali dalam hati, “Oh, berarti enggak mau orang sini maju dong.”
Pesan si artis toh nyatanya tak digubris sama sekali. Pantai Watukarung bisa dibilang semakin dikenal, semakin banyak dikunjungi wisatawan, dan semakin banyak pula penghasilan yang diraup darinya.
Sabtu-Minggu biasanya dipenuhi wisatawan domestik yang ingin bersantai di pantai. Sedangkan, pada musim angin timur, kira-kira April hingga Oktober, turis-turis peselancar (mayoritas bodyboarder) akan memadati Watukarung, di darat dan laut.
Ramai sama dengan ‘maju’. Kata Pak Eko, sekarang orang-orang yang mau sepi jadinya cari pantai-pantai lain, tidak ke Watukarung.
Disandera paradigma pertumbuhan
Apa yang disebut ‘pariwisata yang maju’ tentu saja tak sesederhana kelihatannya. Memahami pariwisata dari situasi riil sehari-hari di lokalitas pariwisata, kompleksitas dan tegangan-tegangan akan muncul lebih terang benderang.
Keberhasilan atau kemajuan pariwisata selama ini ditakar lewat paradigma pertumbuhan (growth paradigm), yang lekat dengan indikator-indikator kuantitatif, seperti angka kunjungan wisatawan, jumlah akomodasi pariwisata, jumlah pemasukan sektor pariwisata, angka pengeluaran turis di destinasi, dan lain-lain.
Lalu, muncul gagasan soal degrowth dalam konteks pariwisata, yang berusaha membongkar dan meredefinisi konsepsi dominan soal ‘pariwisata yang maju’. Degrowth secara radikal menawarkan pergeseran paradigma: menolak paradigma pertumbuhan dalam memahami dan menilai maju-tidaknya, baik-buruknya, pariwisata. Penekanan pada aspek-aspek ekonomi dan kuantitatif ditinggalkan sama sekali.
Namun, apakah degrowth harus dibaca sebagai ‘membuat tempat wisata tidak ramai turis, tidak banyak dikenal, eksklusif dan rahasia’? Pembacaan semacam itu bisa jadi akan mengabaikan suara-suara lokal dan menyederhanakan realitas akar rumput yang kompleks.
Jika tujuan akhir yang disepakati adalah perubahan taraf hidup lokal ke arah yang lebih baik, dalam iklim pariwisata neoliberal/kapitalistik hari ini, agak sulit memang untuk langsung melepaskan diri dari paradigma pertumbuhan yang telah bertahun-tahun menyandera cara berpikir kita tentang pariwisata yang ‘maju’.
Jalan panjang perlu ditempuh untuk sama sekali lepas dari belenggu paradigmatik itu. Sampai hari itu tiba, masyarakat di lokalitas-lokalitas pariwisata akan terus bergelut memformulasi dan mereformulasi apa itu pariwisata yang ‘maju’.
*bukan nama sebenarnya