“Ia pasti lelah, setelah mengalirkan ratusan kapal dari satu camp ke camp lainnya sehari penuh.”
Sore itu, kami duduk-duduk di atas kursi kayu di ujung kapal klotok yang tengah berjalan. Kami hendak kembali ke Dermaga Kumai, setelah dua hari menyusuri Sungai Sekonyer dan mengunjungi tiga camp orang utan di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah.
Kami membiarkan angin sore membelai wajah kami dengan lembut, sementara kami menatap Sekonyer lekat-lekat. Airnya serupa warna teh, bening kecokelat-cokelatan. Kami pun bisa melihat akar tumbuhan yang ditanam di tepi sungai sepanjang area Camp Leakey atau camp ketiga.
Saking jernihnya, air Sekonyer juga menghasilkan refleksi sempurna dari langit biru dan awan putih di atasnya. Kami bagaikan memiliki dua langit, meski yang di bawah terus dibelah oleh klotok kami.
Konon, nama Sekonyer berasal dari perpaduan dua kata. “Sei” yang berarti sungai dan “Konyer” yang diambil dari nama kapal patroli Belanda—Lonen Konyer. Pada 1948, Belanda kembali menjadi musuh masyarakat Indonesia karena berusaha merampas kemerdekaan yang baru seumur jagung itu.
Rakyat setempat lantas bergerilya di hutan sekitar sungai—sebelumnya bernama Sungai Buaya, tentu karena banyaknya populasi buaya di sana. Dengan taktik ini, mereka berhasil menembakkan meriam pada si Lonen Konyer. Kapal tersebut akhirnya karam di muara sungai, dan yang tersisa kini hanyalah namanya.
Sebelum dan setelah masa perjuangan itu—layaknya sungai di Indonesia—Sekonyer mendukung kehidupan sehari-hari manusia di sekitarnya. Ia adalah mata air yang bisa digunakan untuk mandi, mencuci pakaian, dan membersihkan peralatan makan. Meski, selama kami tinggal di klotok, air Sekonyer hanya dipakai untuk sebagian urusan kamar mandi.
Ketika Tanjung Puting ditetapkan sebagai taman nasional, Sekonyer menjadi pemisah antara area taman nasional dan areal penggunaan lain (APL)—boleh digunakan untuk pembangunan di luar bidang kehutanan. Ia seolah garda terdepan Tanjung Puting.
Sekonyer juga menaungi hewan-hewan yang hidup di dalam taman nasional. Sebagai contoh, bekantan yang naik ke pucuk pohon saban sore untuk mencari tempat tidur aman. Jika monyet berhidung panjang ini merasa terancam, terutama oleh macan, mereka akan menyelamatkan diri dengan loncat dari pucuk pohon ke dalam sungai. Macan pun tak bisa lagi mengejar mereka.
Sore itu, Sekonyer tak berhenti mengalir. Ia mengantar kami keluar dari Camp Leakey menuju camp berikutnya.
***
Sekonyer mulai menunjukkan wajah berbeda. Menuju Pondok Tanggui atau camp kedua, jalurnya jadi lebih lebar (cukup untuk lalu lintas kapal dua arah) dan deretan rumah panggung nelayan di pinggir sungai terlihat lagi. Warna airnya pun berubah, dari serupa teh jadi kopi susu.
Di antara wajah itu, kami menemukan beberapa jalur kecil—hanya muat satu perahu ramping—yang bercabang dari jalur utama Sekonyer. Kata pemandu wisata kami, Mas Muncos, jalur bercabang itu mengarah langsung ke perkebunan sawit, yang letaknya persis di sebelah Tanjung Puting.
Ah, kondisi airnya yang tergolong lebih buruk jadi tak mengherankan. Warnanya keruh, mengandung minyak pula, jelas tercemar limbah sawit yang mengalir ke Sekonyer.
Sebelum sawit, beberapa hasil riset menunjukkan aktivitas penebangan dan penambangan liar—emas dan pasir—marak terjadi di sekitar Sekonyer semasa Orde Baru, tepatnya pada 1990an. Akibatnya, kebakaran hutan besar kerap terjadi dan Sekonyer tak mampu mengendalikan diri.
Hutan habis. Sungai banjir saat musim hujan dan kering saat musim kemarau. Tanah terkikis dan longsor. Hewan-hewan pun jadi korbannya: orang utan dan beragam jenis monyet kehilangan habitat mereka, sementara populasi ikan dan buaya terancam.
Polusi dari aktivitas-aktivitas tersebut akhirnya mengubah Sekonyer selamanya. Ia berganti warna menjadi cokelat keruh, menjadi seperti apa yang kami saksikan pada susur sungai kali ini.
Artinya, bagian sungai yang tercemar tak bisa kembali seperti sedia kala. Kandungan minyak tak akan tiba-tiba menghilang, lantas warna airnya menyatu lagi dengan warna utama Sekonyer. Malah, bisa berubah kian buruk dan memengaruhi bagian lainnya jika terus-menerus tercemar.
Mas Muncos bercerita, ia dan beberapa kawannya membeli sebagian tanah milik penduduk setempat di area hutan seberang taman nasional. Tanah itu lantas ditanami kembali dengan beragam jenis tumbuhan, sekaligus mencegahnya dibeli taipan-taipan kota dan diubah jadi perkebunan sawit. Menjaga Sekonyer, Tanjung Puting, dan habitat satwa di sana.
“Ini tanah yang kami beli, sudah ditanami. Itu juga,” kata Mas Muncos, sembari menunjuk sepetak tanah, dan sepetak tanah lagi, di tepi Sekonyer yang dipenuhi pepohonan rimbun. Tanah itu juga ditancap papan yang menunjukkan kepemilikannya.
Meski tengah mendendangkan kisah pilu, Sekonyer tetap melancarkan perjalanan kami. Matahari yang justru mulai tak sanggup mengejar kapal kami dan akhirnya tak terlihat lagi. Awan gelap muncul selanjutnya, membuat Mas Muncos dan kapten kapal waswas hujan deras akan turun nanti malam.
***
Klotok kami bersandar di depan deretan pohon nipah, sudah lebih dekat dengan Dermaga Kumai ketimbang Tanjung Harapan atau camp pertama. Lokasi ini dipilih sebagai tempat parkir kapal karena sebelumnya kami melihat sekumpulan kunang-kunang “unjuk kebolehan” di antara pepohonan ini.
Makan malam lantas mulai disajikan di atas meja. Sebakul nasi putih, seekor ikan kerandang bakar, mi goreng, tahu kecap, sayuran, dan beberapa potong buah naga. Di bawah remang-remang lampu kuning kapal, makanan ini terlihat sungguh lezat, siap meredam bunyi keroncongan di perut kami.
Ikan kerandang—sejenis ikan gabus—di meja itu kami beli dari nelayan yang tinggal di tepi Sekonyer pada siang harinya. Bobot untuk dua ekor ikan yang kami bawa pulang mencapai satu kilogram, tetapi hanya merogoh kocek Rp 35 ribu. Sementara, bahan-bahan menu lainnya dibawa juru masak dari kota.
Usai makan malam, Sekonyer telah menjelma warna hitam pekat. Bukan hanya airnya, tetapi juga apapun yang ada di sekelilingnya. Sinar purnama raya yang terang benderang malam itu bahkan tak mampu melawan gelapnya Sekonyer.
Hewan-hewan yang hidup bersama Sekonyer pun tak lagi melakukan gerak-geriknya. Bekantan sudah tak berloncatan antarpohon dan kunang-kunang meredam pendar dari bagian bawah tubuhnya. Buaya sedari tadi memang tak terlihat dan ikan mungkin telah tidur lelap.
Gelap. Sunyi. Tenang. Ini rasanya tanda Sekonyer pamit dari hadapan manusia dan mengistirahatkan indranya. Ia pasti lelah, setelah mengalirkan ratusan kapal dari satu camp ke camp lainnya sehari penuh.
Sayangnya, tak lama berselang, hujan datang dengan banyak pasukan. Ah, kekhawatiran Mas Muncos dan kapten kapal benar terjadi. Kami langsung membantu menutup bagian depan dan samping kapal dengan terpal agar tidak tempias ke arah tempat tidur kami. Lalu, kami mengecek bagian atap kapal, mengantisipasi bocor yang bisa mengarah pula ke tempat tidur kami.
Sedangkan, Sekonyer bergeming. Airnya bertambah tinggi dalam sekejap, menutup lebih banyak bagian daun-daun nipah yang memagari sungai. Doa-doa baik kemudian kami kirimkan sebelum beristirahat di balik kelambu.
Hujan menjadi kidung pengantar tidur kami sepanjang malam itu, bahkan hingga esok paginya. Namun, klotok kami tetap aman, tak ada kebocoran sedikit pun, dan kami bisa kembali ke Dermaga Kumai. Dalam heningnya, yang sebetulnya penuh pilu dan lelah itu, Sekonyer ternyata tak henti bekerja menjaga kami.