“Apakah ia merasa kesakitan? Apakah ia dikelilingi oleh suara lembut para penjaganya yang sudah seperti keluarga?”
2016
Senja di Taman Nasional Tesso Nilo hadir seperti cat air yang tumpah di langit. Cahaya keemasan menyelinap malu-malu di sela kanopi hutan yang rapat. Langit memudar perlahan menjadi lukisan—sebuah keindahan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang bersedia masuk ke jantung rimba.
Kami baru saja tiba. Langkah-langkah berat kami meninggalkan jejak di tanah yang lembab setelah seharian menyusuri hutan. Bersama saya, ada Danar dan beberapa petugas Taman Nasional. Tugas kami sederhana tapi penting: mengambil rekaman dari kamera jebak yang dipasang di lorong alami yang biasa dilalui gajah. Lorong itu bukan jalur buatan, melainkan jalan setapak yang diukir oleh ribuan langkah kaki besar makhluk megah itu, satu generasi demi generasi. Induk gajah mengajarkan jalur ini kepada anak-anak mereka, sehingga menjadi bagian dari perilaku kelompok. Kamera-kamera ini adalah mata kami, merekam kehidupan liar yang tersembunyi di balik dedaunan. Kegiatan memasang kamera jebak dan proses penggantian memory card-nya adalah bagian dari rutinitas petugas.
Sudah beberapa hari Tesso Nilo menjadi rumah sementara kami. Setiap pagi, kami masuk ke dalam hutan, melangkah di jalur-jalur samar yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang mengenal belantara ini seperti rumah sendiri. Dipandu oleh naluri, pengalaman, dan suara hutan, bersama kami ada empat mahout—pawang gajah yang membawa sahabat-sahabat besar mereka, gajah-gajah terlatih yang menjadi bagian penting dari misi kami.
Di antara mahout dan gajah, ada sesuatu yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Mereka bukan sekadar penjaga dan hewan peliharaan, bukan pula majikan dan bawahan. Hubungan mereka lebih mirip saudara—persahabatan yang terjalin di tengah peluh, kerja keras, dan kasih yang tumbuh dari waktu yang tak sebentar. Saya melihat bagaimana mereka saling memahami tanpa kata, hanya dengan isyarat atau bahkan tatapan. Sebuah keintiman yang hanya mungkin lahir dari perjalanan panjang bersama.
***
Di tengah perjalanan, langkah kaki berhenti di depan pohon belimbing raksasa. Pohonnya begitu besar, sampai-sampai lima lelaki dewasa tak akan mampu melingkarkan tangan mereka untuk memeluk batangnya. Menurut Ilham, salah satu petugas taman yang kerap mendampingi tamu, pohon belimbing ini adalah favorit banyak pengunjung. Tapi mereka tak hanya datang untuk melihat pohon ini. Para tamu datang dengan alasan berbeda, termasuk ingin menyaksikan langsung gajah Sumatera di habitat aslinya. Di Sumatera, habitat gajah semakin menyusut. Dari sekitar 70 persen hutan yang hilang selama beberapa dekade terakhir, Tesso Nilo kini adalah salah satu benteng terakhir bagi gajah Sumatera.
Hari itu, terik siang menyengat kulit. Kami tiba di sebuah sungai kecil di tengah hutan. Airnya kecoklatan, mengalir tenang di atas batu-batu licin. Di sinilah mahout dan gajah-gajah mereka memutuskan untuk bermain air, melepaskan lelah setelah perjalanan panjang.
Memandikan gajah bukan sekadar rutinitas, tetapi sebuah ritual. Setiap mahout memiliki caranya sendiri. Ada yang dengan sabar menyikat punggung gajah dengan sikat besar, menggosok kulit tebal itu hingga bersih. Ada pula yang membiarkan gajah menikmati percikan air yang mereka semprotkan sendiri dengan belalai, seperti anak kecil yang tak pernah kehilangan kegembiraannya.
Sorenya, di tengah lapang area tempat kami menginap dan dengan segala riuh burung bersahutan, suara seperti terompet kecil melengking disertai dengusan-dengusan lembut menandakan panggilan untuk bermain. Sumber suara itu berasal dari seekor bayi gajah, baru dua bulan usianya. Namanya Rimbani, lahir di tengah belantara Lubuk Kembang Bunga, Ukui, Pelalawan, Riau. Lahir pada 1 Juni 2016, Rimbani adalah gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis), betina kecil yang merupakan anak dari Lisa, seekor gajah jinak dari Flying Squad—tim gajah yang dilatih khusus untuk menjadi penjaga hutan sekaligus pendamai di wilayah konflik antara manusia dan gajah liar.
Ketika ada laporan tentang gajah liar yang mendekati ladang atau pemukiman, Flying Squad akan segera dikerahkan. Dalam formasi yang rapi, mereka mendekati gajah liar dengan tenang, menggunakan suara, bau, dan kehadiran fisik mereka untuk menggiring gajah liar kembali ke hutan.
Tidak hanya itu, Flying Squad juga menjadi duta pendidikan bagi masyarakat sekitar. Ketika mereka tidak bertugas di lapangan, mereka sering terlibat dalam kegiatan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi gajah dan hutan. Anak-anak sekolah, wisatawan, dan penduduk lokal datang ke camp untuk melihat gajah-gajah ini, belajar tentang kehidupan mereka, dan memahami hubungan mereka dengan ekosistem hutan.
Rimbani melangkah dengan kaki-kaki mungilnya yang menggemaskan, sementara belalainya yang pendek terus menggoyang-goyang, mencoba mengenali dunia yang masih baru baginya. Di belakangnya, Lisa, mengawasi dengan penuh kewaspadaan. Tubuh besar Lisa tampak seperti benteng, melindungi si kecil dari ancaman yang mungkin datang dari hutan yang tak lagi sepenuhnya aman. Rimbani mendekat, belalainya mengendus tanah, lalu menggulung daun kering, entah untuk bermain atau mencicipi rasanya. “Rimbani, ayo ke sini!” seruku. Rimbani merespons dengan berlari kecil ke arahku dengan semangat, lalu berhenti tiba-tiba seolah malu-malu.
Lisa bergerak mendekat, suaranya mengeluarkan gemuruh pelan. Aku tahu, ini adalah pengingat halus darinya bahwa Rimbani adalah anaknya, bagian dari dunia yang ia pertahankan mati-matian. Aku mundur beberapa langkah, memberinya ruang. Lisa membelai tubuh kecil Rimbani dengan belalainya, mengisyaratkan rasa cinta yang mendalam.
Gajah kecil seperti Rimbani, hanya memiliki peluang bertahan hidup 30 persen di alam liar. Ancaman terbesar bukan hanya dari predator alami, tetapi dari manusia—perburuan, konflik lahan, dan keracunan dari kebun sawit yang mengapit taman nasional ini. Fakta itu menggigit lebih keras daripada nyamuk-nyamuk yang berputar di sekelilingku.
Matahari terus tenggelam, menyisakan semburat merah jingga di cakrawala. Rimbani akhirnya lelah dan bersandar pada kaki Lisa, meringkuk di bawah bayang-bayang induknya. Aku memandang mereka, dua makhluk yang begitu berbeda dari manusia, tetapi mengajarkan kita hal yang sama: bahwa dunia ini hanya akan bertahan jika ada cinta, perlindungan, dan ruang untuk hidup.
Malam mulai menyelimuti Tesso Nilo, tetapi Rimbani tetap ada di pikiranku. Di balik belalainya yang kecil dan tingkah lakunya yang ceria, ia menyimpan pertanyaan yang berat: apakah hutan ini, rumahnya, akan bertahan cukup lama untuk ia dewasa?

***
2025
Di sebuah malam yang masih menyisakan suara petasan tahun baru di awal Januari, saya duduk menatap layar ponsel. Timeline media sosial bergulir dengan kabar yang biasa saja, hingga sebuah berita muncul dan mencengkeram perhatian saya. Sebuah kabar duka, tentang kematian seekor gajah bernama Rimbani. Usianya baru delapan tahun—usia yang seharusnya menjadi awal dari perjalanan panjangnya di hutan-hutan Sumatra yang megah.
Rimbani, nama yang mungkin asing bagi sebagian besar orang, tapi tidak untuk mereka yang mengikuti perjuangan pelestarian satwa liar. Ia adalah simbol harapan, seekor gajah muda yang mewakili masa depan spesiesnya yang semakin terancam. Namun, harapan itu redup terlalu cepat. Ia pergi karena gangguan pencernaan yang akhirnya merenggut nyawanya.
Berita itu bukan hanya sekadar berita. Kematian Rimbani diberitakan di berbagai media nasional, seakan menjadi pengingat betapa gentingnya situasi satwa liar kita. Gajah mati tak hanya meninggalkan gading; ia meninggalkan duka, pelajaran, dan pertanyaan yang menggema di hati kita.
Saya mencoba membayangkan detik-detik terakhir Rimbani. Apakah ia merasa kesakitan? Apakah ia dikelilingi oleh suara lembut para penjaganya yang sudah seperti keluarga? Atau apakah ia pergi dalam keheningan, seperti malam itu, ketika saya membaca tentangnya?
Dari semua itu saya harus berterimakasih pada Rimbani. Kematiannya mewariskan semangat. Semangat saya untuk menulis kembali.
