Dari kejauhan, di puncak salah satu bukit Pulau Sebatik, saya memandang Tawau dengan takjub. Kota itu terlihat hidup dan megah, kontras sekali dengan daratan yang tengah saya injak.
Sebuah pesan singkat lantas masuk ke ponsel saya. “Dunia yang berbeda, bukan?” ucap seorang teman, seraya mengingat perjalanannya pada masa lampau—ketika kekontrasan Tawau dan Sebatik terlihat lebih nyata, antara terang dan gelap.
Saya baru tiba di ruang kedatangan Pelabuhan Tawau, Sabah, Malaysia. Interior ruangan yang bersih, didominasi warna krim, dengan dekorasi ala bandara segera menyambut saya. Begitu pula dengan bagian imigrasi.
“Mau kat mane?” tanya seorang petugas di bagian itu. Ia setengah mendesis, hampir saja tidak tertangkap telinga. Saya pun menjawab sekadarnya, toh pertanyaan itu kadang hanya basa-basi sembari menunggu paspor distempel.
Masuk ke bagian pemeriksaan, tas-tas mulai digeledah. Saya kira petugas mencari dadah atau sabu, tetapi pertanyaan yang ia ajukan justru soal barang lain: rokok. Selain narkoba, Malaysia rupanya memperlakukan rokok layaknya barang haram yang harus dibasmi—barangkali karena cukai. Saya menggeleng pada pertanyaan petugas itu, lalu diizinkan lewat.
Begitu keluar dari pelabuhan, bau amis menyeruak—membawa ingatan saya pada Teluk Jakarta, yang airnya berwarna pekat malam dan berbau busuk, lengkap dengan ikan-ikan hasil tangkapan yang dihinggapi lalat—dan menghampiri indra pencium saya. Saya segera menutup hidung rapat-rapat.
“Di sini dekat pasar ikan dan pelelangan ikan, makanya baunya semerbak,” celoteh Kai Ramli, kakek saya, sambil menunjuk bangunan di sebelah barat pelabuhan.
Tak berapa lama, mobil jemputan kami tiba. Dari balik jendela mobil, saya mengamati detail kota Tawau dengan lekat. Gedung-gedung bertuliskan aneka macam nama berderet di sepanjang jalan. Kedai makan, toko emas, dan entah toko apa yang ditulis dengan aksara mandarin itu. Imaji saya langsung melayang ke film-film laga Hong Kong ala Jackie Chan, Steven Chow, dan Jet Li yang memiliki latar tempat serupa kota ini.
Sementara, hawa yang bertiup di Tawau khas pesisir. Panas menyengat, bau amis hasil tangkapan laut, dan pengap polusi saling beradu hingga saya perlu membekap hidung beberapa kali.
Kendaraan roda empat senantiasa memadati jalan—nyaris di semua lini jalan, baik jalan utama maupun jalan kecil. Menurut Kai Ramli, harga mobil di sini relatif murah, seperti harga motor di Indonesia. Proton dan Produa adalah merek kebanggaan nasional yang mendominasi tiap petak aspal Tawau.
Jalanan di kota ini sebetulnya terbilang sempit untuk kota bandar yang ramai. Namun, tidak ada yang berebut jalan, semua saling memberi. Mobil silih berganti melewati bundaran yang memisahkan perempatan.
“Begitulah kalau di Malaysia. Kalau kemarin di Banjar itu, takut aku bawa kereta (mobil) lihat jalannya,” kata Kai Ramli.
Kai Ramli—kai sebutan untuk kakek—merupakan warga Kalimantan yang merantau ke Malaysia sejak muda untuk berdagang. Dari tutur bicaranya, logat Banjar Kai Ramli hampir habis ditelan logat Melayu, meski ia sebetulnya masih fasih berbahasa Banjar.
Ia menikah dengan seorang perempuan Jawa, Nenek Pariyem, yang juga bekerja di Tawau. Mereka beranak pinak dan tinggal di negeri jiran hingga hari ini. Meski keluarga jauh, saya tetap memanggil mereka kai dan nenek.
Keluarga Kai Ramli tentu bukan satu-satunya pendatang di Tawau. Penulis asal Malaysia Bryan Paul Lai menggambarkan Tawau sebagai “kota yang berkembang pesat melalui banyak pekerja terampil yang berdatangan” dalam catatannya A Glance of Tawau in the Sixties.
Sejarawan Asia Tenggara Leonard Andaya pun mengatakan migrasi besar-besaran orang Bugis terjadi pada abad ke-17 dan awal abad ke-18 ke berbagai penjuru Nusantara, termasuk Sabah. Penyebabnya, ketidakstabilan politik di Sulawesi Selatan.
Orang-orang Bugis kemudian beradaptasi dengan sistem yang berlaku, tidak menjadi ancaman bagi serikat dagang Eropa, dan menciptakan inovasi sistem politik, yang membuat mereka cepat berjaya di tanah rantau. Bukti pengaruh orang Bugis di Tawau pun terlihat pada Masjid Bandar Tawau atau Masjid Ahmad Daing Mapata, masjid wakaf dari salah satu orang Bugis terkaya di Tawau pada 1960an.
Sepanjang perjalanan di mobil, Kai Ramli pun bercerita soal kepulangannya ke Banjarmasin—setelah belasan tahun tidak menginjak tanah kelahirannya. Kai Ramli tidak sempat melihat adiknya untuk terakhir kali. Ia juga sudah kadung tidak mengenali Banjar karena semakin ramai, meski ia tetap disambut baik oleh keluarga besarnya.
“Sudah sampai. Ini rumah Kai di Tawau,” kata Kai Ramli.
Rumah Kai Ramli terletak di komplek perumahan nasional—semua rumah di komplek ini mempunyai bentuk dan tipe yang sama. Saya akan menginap semalam di sini, sebelum melanjutkan perjalanan ke Keningau—kota lain di Sabah—esok hari.
Dinamo segera memutar baling-baling kipas di setiap ruangan untuk mengusir suhu yang kelewat panas. Angin sepoi-sepoi dari kipas lantas mengiringi istirahat saya hari itu.
***
Jalan aspal yang mulus mulai berganti rupa. Kiri-kanan jalan ditutupi lahan hijau, yang penuh dengan tanaman monokotil penghasil minyak. Ban mobil kabin ganda terus menggilas jalanan, menerbangkan debu ke udara.
Saya pun tidak melihat komplek perumahan atau perkampungan acak di sepanjang jalan. Tidak ada macet, tidak ada yang bisa dilihat selain pegunungan dan rimba sawit raya, bahkan kadang tidak ada sinyal ponsel. Jadi, dengan jarak tempuh enam jam, tidak banyak yang bisa saya lakukan di dalam mobil—saat bulan puasa pula—kecuali tidur dan melamun.
Setiba di Keningau, suhu udara terasa sedikit lebih dingin daripada Tawau—mungkin karena barisan pegunungan yang mengelilingi kota tersebut. Keningau adalah ibu kota distrik (kabupaten) bernama sama, penghasil keningo atau kayu manis. Pada masa lalu, pengepakan kayu manis dilakukan di Keningau, sebelum dikirim ke Tenom dan disebarluaskan di Eropa.
Setiap Ramadan berlangsung, Kai Ramli dan istrinya akan menghabiskan waktu di rumah anak sulungnya, Siti Ramlah, di Keningau. Sewaktu muda, ia juga pernah tinggal di Keningau dan berjualan makanan olahan di pasar pusat kota Keningau. Sekarang, Ramlah yang meneruskan pekerjaan tersebut.
Selama di Keningau, saya mengikuti keluarga Kai Ramli saban hari pergi ke pasar induk. Kegiatan ini dimulai pukul 08.00 waktu setempat, dilanjutkan dengan meracik bumbu dan memasak. Kemudian, persiapan rampung sekitar pukul 14.00. Mereka pun bersiap-siap membuka warung di pasar.
“Bulan puasa sekarang lebih sepi,” kata Nenek Pariyem, sambil menata masakan-masakan yang sudah terhidang dan menutupinya dengan plastik.
Kuah bakso lantas dipanaskan dan pentol-pentol dimasukkan ke dalam dandang. Aroma kaldu sapi segera mengetuk hidung-hidung yang masih berpuasa. Sedangkan, yang tidak berpuasa mulai datang silih berganti menyantap bakso di sore hari.
Toleransi beragama di Keningau rupanya tidak berada dalam koridor saling menahan, tetapi saling mempersilakan. Orang yang berpuasa tidak marah melihat mereka yang makan, orang yang makan pun bukan berarti tidak menghargai yang berpuasa. Masing-masing tenang menjalankan urusannya.
Semakin sore, pasar ini kian dijejali pengunjung yang ingin mencoba aneka rupa jajanan. Kue-kue yang dijajakan tidak banyak berbeda dengan yang ditawarkan pasar-pasar Ramadan di Indonesia, hanya beda penyebutan. Sementara, yang paling saya suka adalah minuman sari buah dengan berbagai macam rasa—sangat menggoda kerongkongan yang sudah kering kerontang.
Musik pun mengalun dari pengeras suara milik musisi jalanan yang mangkal di pasar. Lagu-lagunya terdengar familiar. Rupanya, lagu-lagu Indonesia yang sedang hits umum diperdengarkan di radio maupun didendangkan orang-orang Keningau, termasuk musik Jawa pop kekinian. Saya jadi ingat salah satu berita pada medio 2008. Waktu itu, pemerintah Malaysia berencana membatasi peredaran lagu-lagu Indonesia di radio Malaysia, karena lagu Indonesia terlalu populer.
Saya kemudian berkeliling pasar dan menyambangi sebuah tenda yang menjual kebab. Setelahnya, saya membeli minuman dingin di minimarket, yang sudah tidak beroperasi lagi di Indonesia, 7-Eleven.
***
Di pasar induk Keningau, saya melihat langsung bagaimana diaspora Indonesia berkumpul dan saling berinteraksi. Mayoritas adalah orang Jawa, Bugis, dan Banjar yang sudah beralih warga negara sejak tiga generasi yang lalu. Beberapa masih fasih bertutur bahasa daerah masing-masing, sementara yang lainnya lebih fasih berbahasa Melayu, terutama generasi muda—di bawah usia 20 tahun.
Saban ada kesempatan, mereka pun masih mengunjungi sanak famili di Indonesia. Mengarungi lagi kenangan yang sudah terserak atau merekatkan kembali kekerabatan yang terpisah jauh.
“Tidak ada perbandingan yang lebih enak siapa. Ada beberapa hal yang lebih enak di sini (Malaysia), ada beberapa hal lebih enak di sana (Indonesia). Begitulah hidup,” ujar Kai Ramli. Petang itu, kami melayani pembeli yang sudah mengantre, sembari menunggu azan magrib berkumandang.
Menurut Kai Ramli, penerapan aturan begitu ketat di Malaysia, sulit mencari celah. Berbeda dengan di Indonesia, peraturan tidak terlalu mencekik dan selalu ada “jalan rahasia” untuk mengakalinya.
Misalnya, harga barang di Malaysia sama di mana pun membelinya. Sebab, pemerintah telah menetapkan ambang batas harga tertinggi untuk setiap produk. Dinas terkait pun rutin melakukan inspeksi harga agar selalu stabil. Penjual yang ketahuan mengotak-atik harga akan kena sanksi.
Kemudian, tidak ada warung-warung yang berdiri di permukiman. Untuk keluar membeli cemilan, warga harus berjalan jauh ke tengah kota. Pasalnya, mengurus izin usaha untuk membuka warung membutuhkan biaya besar, pun warga tidak bisa membuka warung di sembarang tempat.
Saya sering merindukan warung Madura, yang berseliweran di permukiman Indonesia. Konon, hanya kiamat yang bisa menutup warung-warung itu, pun cuma setengah hari.
Meski begitu, ringgit dipandang lebih mampu mengisi perut-perut yang lapar, termasuk untuk sanak saudara di seberang pulau. Karena itu, orang-orang Indonesia pergi merantau ke Malaysia untuk kehidupan ekonomi yang lebih baik—mungkin ini pula alasan Kai Ramli pindah ke negeri jiran.