“Hasil laut tersebut, kalau tidak disasi, setiap hari diambil, maka tidak akan ada bibit lagi.”
Pagi itu, 17 September 2023, seperti pagi-pagi di hari Minggu yang lain, orang-orang Luang pergi ke gereja. Dinginnya angin laut tidak membuat langkah para jemaat surut untuk memuji Tuhannya. Tapi, ada yang berbeda hari ini dibanding hari-hari Minggu lain. Setelah menanti dua tahun lamanya, sasi akan dibuka lagi. Masyarakat Luang bersuka cita: mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil laut yang sebelumnya telah disasi. Herman Hayer adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menanti sasi dibuka.
Pendeta Soplantila membacakan doa di hadapan para jemaat. Di altar yang berbentuk ikan kerapu—salah satu hasil laut yang melimpah di sekitar Pulau Luang, dia berdoa dengan syahdu kepada Tuhan. Doa yang diucapkan dalam bahasa Indonesia itu berisikan permohonan: semoga Tuhan memberi karunia yang luar biasa di tahun ini. Dua tahun adalah waktu yang dianggap cukup untuk teripang, lola, kima, dan batu laga untuk bertumbuh besar dan bertambah banyak.
Pagi hari berikutnya, tepat di ujung dermaga Luang Barat, semua kalangan berkumpul untuk menyaksikan pembukaan sasi: pendeta, para kepala soa (persekutuan teritorial geneaologis), aparat desa, lelaki, perempuan, juga anak-anak berkerumun. Adat yang telah berlangsung sekian lama itu disambut dengan gegap gempita.
Perwakilan kepala soa, Yosua Saleki, yang mewakili ‘mata rumah’ (kumpulan marga) Hurupun, merapalkan kalimat suci dalam bahasa Luang, bermunajat kepada Tuhan. Sekali lagi memohon untuk mendapatkan karunia yang besar untuk buka sasi tahun ini.
Yakob Wolonteri, sebagai marinyo—penyampai informasi desa, jabatan kuno yang masih dipertahankan hingga sekarang—mulai menancapkan bendera di perahu miliknya, pertanda dimulainya buka sasi hari pertama. Waktu pencarian pada masa buka sasi, baik siang maupun malam, ditentukan oleh perangkat desa, menyesuaikan kondisi pasang surut air laut. Batas jarak sasi akan terus bertambah dari hari ke hari, sampai batas maksimal untuk orang Luang Barat di Pulau Metimarang dan orang Luang Timur di Pulau Wekenau.
Herman Hayer, yang turut serta di sasi kali ini, berjibaku dengan lautan yang hanya sebatas kakinya, dan mulai menyisir setapak demi setapak lautan surut yang terhampar di depannya. Di hari pertama, dia mendapatkan tujuh teripang susu, dua teripang batu, dan dua teripang gama bintik. Pengepul yang sudah siap menerima hasil mulai menimbang hasil tangkapannya. Selama beberapa waktu, dia juga tinggal bersama dengan warga Luang Barat lainnya di Pulau Metimarang, di pondok-pondok yang mereka dirikan sepanjang pantai.
Herman memanfaatkan kesempatan buka sasi dengan baik. Dia mengumpulkan rata-rata 10 teripang per harinya, meskipun adakalanya dia harus kembali dengan tangan hampa. Selama periode sasi berlangsung, total teripang yang ia kumpulkan mencapai 50 kilogram. Harga yang diberikan pengepul bervariasi, mulai dari teripang susu yang per kilogramnya sebesar 300.000 rupiah sampai teripang cera hitam dengan harga termurah 20.000 rupiah per kilogram.
“Teripang dari Luang memang terkenal,” tambah Herman.
Dua tahun adalah waktu yang singkat untuk menumbuhkan teripang, tetapi dalam dua tahun itu pula teripang sudah mencapai tahap perkembangan yang cukup untuk dijual.
“Tujuan sasi untuk jaga hasil laut, toh. Kalau setiap tahun dibuka, itu bibit masih kecil nanti diambil juga. Makanya dikasih waktu dua tahun itu untuk kasih besar.”
Orang-orang Luang cukup taat mematuhi sasi yang telah dijalankan turun menurun. Meskipun terlihat ketat, sasi memberikan kelonggaran untuk penduduk Luang: mereka diperbolehkan mengambil untuk keperluan perut, tapi tidak untuk dijual.
“Saya pernah kena denda adat,” ucap Herman. Denda yang dibayarnya saat itu berupa uang tunai 20 juta rupiah, satu ekor babi, dan lima liter sopi. Denda adat ini terjadi bukan karena Herman melanggar sasi, tetapi ada perselisihan dengan kepala desa terkait siapa pengepul teripang yang diterima. Suasana desa jadi panas, ada ketegangan yang tidak biasa yang terjadi di antara dua kubu. Buka sasi tahun itu menjadi muram, orang-orang sibuk mengencangkan urat kepala, dan Herman adalah pelopor ketidaksetujuan dengan keputusan yang telah diambil oleh desa.
“Sasi sarat dengan politik,” ujarnya sambil menghela nafas, mengingat masa ricuh itu terjadi.
Sherly Dadiara, perempuan asal Kisar yang telah menggembalai jemaat GPM selama tiga tahun, sudah dua kali mengalami kegiatan buka sasi. Namun, dirinya hanya sekali memimpin prosesi ini. Prosesi doa sasi oleh gereja hanya diselenggarakan di dalam gereja. Jelas, hal itu sedikit menurunkan nilai kesakralan acara buka sasi di Luang, yang di daerah lainnya umumnya diselenggarakan langsung di tepi pantai.
“Dong hanya kasih masuk nazar, tapi aktanya (tata aturan) seng ada,” jelasnya mengenai prosesi buka sasi di Luang. Tetapi tahun 2022, ia mengusulkan untuk melayani akta dengan turun langsung ke meti.
“Katong percaya semua ini punya Tuhan, bukan kebetulan ada. Tapi apa salahnya katong bikin akta? Ini [kegiatan buka sasi] perlu disakralkan,” ujarnya. Usulannya diterima dan dilaksanakan di Pulau Metimarang.
Pendeta Sherly sebelumnya bertugas di Dobo, dimana semua masyarakat turun ke meti dan berdoa. Ini yang tidak terlihat di Luang dan ingin ia terapkan. Kuasa gereja dalam buka sasi di Luang hanya pada hal-hal yang bersifat spiritual; membuka dengan doa syafa’at dan nazar. Sisanya, pemerintah desa yang mengatur tawaran dan penjualan hasil sasi.
“Dong [orang Luang] menanggap hal tersebut adalah rutinitas. Makanya dong tidak menjadikan meti ini sebagai anugrah. Karena itu dong pikir ya biasa-biasa saja.”
“Tapi kalau par beta, buka sasi rasanya sakral sekali. Katong seng mendewakan binatang-binatang, tapi dong punya cara untuk mensyukuri berkat Tuhan itu.”
Pendeta Sherly memimpin gereja terbesar di Luang Barat, Gereja Protestan Maluku. Selain GPM, di Luang Barat juga berdiri Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) yang terletak di selatan desa. Saya menemui Dolfinus Hayer, pendeta GJSA di selasar rumahnya.
Pendeta Dolfinus merupakan salah satu warga asli Luang Barat yang membaktikan hidupnya demi gereja. Sebelum bertugas di Luang Barat, dirinya pernah membimbing umat di Pulau Lakor selama delapan tahun. Selama puluhan tahun hidup di Luang, ia sudah mengikuti banyak acara buka-tutup sasi.
“Sasi hasil laut itu biasanya dari pihak gereja, kita menunggu pihak desa sudah terima pembeli yang datang. Kalau desa sudah sepakat dengan harga, barulah desa memohon kepada pihak gereja untuk membukakan sasi,” ucapnya. Dalam jangka waktu tertentu, sasi akan dibuka sesuai kesepakatan desa dan investor. Peran gereja pada proses sasi hanya dalam aspek spiritualnya, sedangkan aspek ekonomi diserahkan kepada pemerintah dan masyarakat desa.
“Hasil laut tersebut, kalau tidak disasi, setiap hari diambil, maka tidak akan ada bibit lagi.”
Di suatu waktu, saya menemui Daniel Saleky, kurang lebih 80 tahun. Dia merupakan salah seorang warga yang dituakan dan dihormati.
“Sasi? Dari jaman beta, tidak ada yang berubah. Semua sama,” ucapnya.
Sasi di Pulau Luang terlihat lebih sederhana dibanding sasi di daerah lain. Ritual sasi pada masa 70-an pun sederhana: para tetua adat akan berkumpul di pusat desa dengan berbekal sopi, mereka akan membuka sasi dengan doa-doa dalam bahasa tua yang sudah hampir punah. Tanda sasi dibuka adalah dengan menggantung daun kelapa muda di pusat desa (leta ohorni). Saat itu, orang-orang menganggap adat masih lebih tinggi daripada agama, sehingga proses buka-tutup sasi tidak memerlukan persetujuan gereja, melainkan raja. Pemerintahan waktu itu masih menggunakan sistem kerajaan, dan raja terakhir adalah Yakob Maneka, kakek dari Daniel Saleky.
Ia juga menuturkan matakau yang sarat akan kutukan adalah hal yang lumrah di masa lalu. Sekarang, matakau ditinggalkan. Kristen membawa jalan yang terang, hingga para penganut ilmu ‘hitam’ tersebut sudah hampir tidak ada.
“Tapi sekarang Alkitab sudah terbuka. Rahasia sasi [matakau] itu tidak bisa pakai lagi.”
Perbedaan paling mencolok antara sasi masa lampau dan sekarang hanyalah dari segi hasil. Sekarang, orang-orang Luang sudah sesak memenuhi tiap sudut desa, sehingga hasil laut otomatis dibagi ke lebih banyak orang. Dalam hukum matematika, semakin banyak orang maka semakin sedikit jatah sumber daya yang didapat per masing-masing orang.
Kepada saya, Daniel berkenan membagi doa tutup sasi dalam bahasa Luang kuno, bahasa yang orang Luang saja kesulitan memahaminya. Penuturnya hanya tersisa para tetua, yang jumlahnya juga kian sedikit.
“Atameni nuruhiera teklairiri. Pena mlola lora pena ruhriuliora naturnaanu. Mlolaraa pena wawiria’a pena reutnaanu pena mliolahiandanda kaam loi kaam mara liwarnaanu.”
“Siapa yang melanggar sasi ini, ketika dia di laut maka ikan layar makan dia, dan lewat darat babi hutan yang menyerang dan siapa yang melewati atas maka pelepa koli pukul kasih mati.”
Sebelum pamit, Daniel membisikkan nama asli Pulau Luang: Luona Mdona Hileli Watumaha. Ia mengulanginya sekali lagi, dan saya mencatatnya dengan tergesa-gesa. Malam ini, saya akhirnya mengetahui nama kuno Pulau Luang. Nama yang tidak pernah dipakai dalam dokumen resmi kenegaraan, nama yang diberkati untuk setitik pulau yang senyap dalam dekap lautan yang senantiasa gemuruh.