“Sasi itu katong punya larangan supaya masyarakat itu tidak boleh mengambil hasil alam di luar kesepakatan. Apabila ada pelanggaran yang ditemukan—sesuai ketentuan adat—akan dikenakan denda berupa satu ekor kerbau dan satu tempayan sopi”
Di Pulau Luang—sebuah pulau yang terserak di antara Laut Banda dan Laut Timor—semua orang bergumul dengan laut. Hidup mati tersandar di laut. Lewat laut mereka mengais ikan, menanam rumput laut, dan mendapatkan pasokan barang dari daerah lain. Noh Ini Rai Ami, ujar orang-orang di barat daya menyebutnya. Pulau Ibu Bapak. Konon, dari sanalah orang-orang barat daya, bahkan tenggara Maluku, berasal.
Dari atas perbukitan yang menjilat langit, saya memandang laut yang mengepung Desa Luang Barat. Pulau ini dibagi ke dalam dua desa—Luang Barat dan Luang Timur—yang dipisahkan oleh perbukitan. Jolor-jolor (perahu tradisional) silih berganti keluar masuk ke pulau, mengantarkan orang-orang dari/ke berbagai pulau besar lainnya di Maluku Barat Daya. Jolor juga digunakan untuk mengangkut rumput laut, yang selama satu dekade ke belakang telah menjadi sandaran hidup orang Luang. Angin sepoi menerpa rerumputan yang tumbuh di bukit, membawa udara panas yang menguap dari lautan. Bagaimana orang Luang menjaga wilayah lautnya agar tetap bisa menghidupi mereka? Pertanyaan tersebut membawa saya kepada Paulinus Wolunteri, Kepala Desa Luang Barat, di beranda rumahnya, pada suatu sore temaram.
“Sasi itu katong punya larangan supaya masyarakat itu tidak boleh mengambil hasil alam di luar kesepakatan,” jelasnya.
Sasi merujuk pada cara pengelolaan sumber daya laut oleh komunitas. Biasanya berupa larangan pengambilan hasil laut dalam jangka waktu tertentu, sesuai kesepakatan. Sasi juga bersifat komunal apabila menyangkut hajat hidup orang banyak, dan personal apabila menyangkut kepemilikan pribadi. Secara umum, sasi dikenal di wilayah timur Indonesia, mencakup Maluku dan sebagian Papua. Tentunya dengan penyebutan dan aturan yang berbeda-beda di tiap daerah. Bagaimana dengan Pulau Luang?
Hrer’ti, begitulah Pulau Luang menyebut aturan sasi. Sasi di Pulau Luang diatur oleh perangkat desa, yang juga menjabat sebagai perangkat adat, dan gereja sebagai pemangku agama. Secara jenis, sasi dibagi jadi dua: sasi adat atau matakau/matoa dan sasi gereja.
Aturan sasi diterapkan dalam jangka waktu tertentu, berkisar 2-5 tahun, tergantung ketersediaan pembeli. Sasi akan dibuka oleh perangkat desa apabila ada ‘calon pembeli’ yang sudah menawar harga dan bersepakat. Maka dalam jangka waktu tertentu pula sasi dibuka, dan semua orang boleh memanen apa yang selama ini sudah dilarang. Penduduk Luang kerap melabeli pembeli sebagai ‘investor’.
“Apabila ada yang melangkahi dari waktu yang disepakati, akan diberikan denda,” jelasnya.
Apabila ada pelanggaran yang ditemukan—sesuai ketentuan adat—akan dikenakan denda berupa satu ekor kerbau dan satu tempayan sopi.
“Tapi sekarang satu tempayan sudah digantikan satu gen 35 liter sopi dan uang sekitar 5 juta.”
Desa Luang Barat menerapkan sasi pada beberapa hasil laut: teripang (Holothuroidea), bia lola (Trochus Niloticus), kima (Cardiidae), dan batu laga (Turbinidae). Poli, sapaan akrabnya, juga menjelaskan dulunya rumput laut yang bukan budidaya sempat dikenakan sasi. Namun, berhubung sudah banyak warga desa yang budidaya rumput laut dan jumlahnya juga tidak berkurang, maka sasi untuk rumput laut dihapuskan. Selain sasi hasil laut, sasi juga diterapkan pada hasil bumi meliputi berbagai macam tanaman. Paling umum adalah kelapa, yang tersebar di beberapa lokasi di Pulau Luang.
Sasi adat dan sasi gereja berjalan beriringan agar aturan yang diterapkan lebih mengikat. Jadi, dengan ada dua sasi sekaligus, orang-orang harapannya menjadi lebih taat. “Sebab orang bilang Tuhan itu panjang sabar, jadi dia sering melangkahi, nanti [hukuman] terjadi tapi tidak saat ini. Tetapi kalau adat, secepatnya dia kena.” Dengan adanya sasi, menurut Poli, sumber daya alam yang ada di Luang Barat selalu tersedia sampai sekarang.
Jadwal tutup sasi akan disesuaikan dengan masa kesepakatan awal. Ketika sasi ditutup maka akan dibacakan doa di gereja dan para tetua adat akan turun ke meti (bibir pantai) untuk membaca doa dalam bahasa lokal dan meminum sopi. Patok penanda akan dipasang di laut sebagai pengingat bahwa wilayah tersebut sedang menerapkan sasi.
Selama tutup sasi berlangsung, masyarakat akan turut serta menjaga dan mengawal. Apabila ada pelanggaran, masyarakat wajib melaporkan ke pihak desa atau gereja untuk kemudian diproses. Siapa pun yang menangkap sesuatu yang dilarang pada wilayah yang ditentukan akan dikenakan hukuman adat, sekalipun orang dari luar pulau.
“Terkadang ada orang luar yang melanggar, namun kita susah untuk menangkapnya. Sebelum ada pos penjagaan, orang Alor sering kasi habis teripang di Metimarang.”
Pernah ada masanya ketika orang-orang Alor mengambil teripang di wilayah Luang Barat. Orang-orang desa, dibantu aparat, mengejar mereka. Naasnya, terjadi perlawanan hingga mengharuskan aparat berwenang untuk mengambil tindakan: dor. Beberapa nyawa melayang. Setelah ada Pos Pamputar di Metimarang, wilayah tersebut jadi lebih aman.
Saya kemudian bertanya, kapan ada buka sasi dalam waktu dekat ini. Sayangnya, saya terlambat untuk menyaksikan kegiatan tersebut. Katanya, buka sasi telah dilakukan Oktober 2023.
“Tunggu dua tahun lagi paling cepat,” ucapnya.
Poli lanjut bercerita, matakau lebih ampuh diterapkan karena menggunakan kekuatan alam untuk menghukum orang yang melanggarnya: disengat pari, disengat morea atau belut, dan dimakan karui atau hiu.
“Tapi kan sekarang katong tidak terlalu sadis, katong tidak memakai sasi dengan hukuman tadi lagi, karena membahayakan. Sekarang cukup didenda saja, sesuai kesepakatan,” ujar Poli. Selamatlah orang Alor tadi dari kutukan yang menyeramkan.

***
Papan bertuliskan ‘Awas, ada sasi Gereja GPM’ tergantung di sebuah pohon kelapa di Pulau Tia’ta, Luang Timur. Kebun milik Wellem Kanety itu terdiri dari beberapa pohon kelapa berbagai ukuran, dengan buah yang siap untuk dipanen. Kata Semi Yakob Kanety, pemuda Luang Timur yang menemani saya, ada istilah ‘pohon boleh milik pribadi, tetapi buah milik umum’. Itulah kenapa setiap kebun yang ada di sini biasanya disasi terlebih dulu.
“Bahkan sasi gereja kadang tidak mempan buat orang-orang. Orang-orang lebih takut sasi adat dibanding gereja,” ucap Semi. Seperti kata Paulinus Wolunteri, orang-orang lebih takut dengan sasi adat yang hukumannya langsung dari alam, seperti digigit hiu, hilang ditelan badai, atau kemaluan menjadi bengkak. Kenapa lebih takut kena karma dibanding dosa?
“Entahlah,”sahut Semi sembari mengangkat bahu.
Semi mulai bercerita tentang sasi. Katanya, kalau sudah terkena sasi matakau, sifatnya permanen dan hanya bisa disembuhkan melalui kerelaan orang yang punya sasi tersebut. Semisal, mencuri kelapa, maka orang yang mencuri harus mengembalikan hasil curian dan meminta maaf ke orang yang punya kebun.
Di lain waktu, Herman Hayer berpendapat bahwa sudah sulit menjumpai penganut sasi matakau, apalagi di kalangan muda, hampir tidak ada yang mempelajarinya lagi. Kalaupun ada, mereka adalah sisa dari generasi sebelumnya dan tidak menampakkan batang hidungnya secara umum. Herman sendiri mengaku tidak tertarik untuk belajar sasi matakau.
“Buat apa mempelajari itu? Bikin orang sengsara saja.”
Herman kemudian bercerita tentang seseorang yang pernah melakukan matakau pada rumput laut. Seorang warga tidak sengaja masuk ke wilayah rumput laut tersebut dan mengambil patahan rumput laut yang jatuh di dasar. Seketika itu pula, seekor ikan kecil berbisa menyambar tangannya, dan langsung mengakibatkan tubuhnya menjadi lemas dan air liur membanjir dari mulutnya. Untungnya, korban langsung dibawa ke pihak yang melakukan matakau. Ia kemudian disembuhkan dengan air laut yang telah didoakan, dan dimandikan ke tubuhnya.