“Tapi masa-masa itu telah berlalu. Indonesia sudah berbenah, sedikit demi sedikit”.
“Cuma ada satu hal yang belum berubah,” selanya menghentikan obrolan seputar pendidikan, “kepastian hukum bagi pedagang lintas batas.”
Saya menemui Haji Tahir, generasi ketiga penghuni Pulau Sebatik yang datang dari Sulawesi. Sebatik dulu bukanlah tempat yang populer untuk tinggal. Hanya ada dua desa: Sungai Pancang dan Sungai Limo. Aji Kuning masih berupa hutan dan lumpur tak berpenghuni.
“Dulu-dulu masih hutan ini semua,” terang Haji Tahir, merujuk kawasan Desa Aji Kuning.
Menurut ingatannya, patok batas antarnegara di Aji Kuning sudah ada sejak dia menginjakkan kakinya di sini. Lalu ada pengukuran ulang di tahun 1982, melibatkan tentara dan penduduk sekitar.
“Kita kalau dulu di sini berkebun, ada hasil kebun dibawa pegi Tawau,” ia menerangkan hubungan dengan Tawau sudah terajut dengan baik sejak ia muda dan pindah menetap di Aji Kuning.
Kenapa dinamakan Aji Kuning?
“Ini memang sungai [namanya] Haji Kuning, penunggunya semua kuning,” Haji Tahir melotot dan mengeraskan suaranya sambil menunjuk ke arah sungai.
“Penunggu? Jinnya?”
“Penunggu buaya itu di sungai. Bukan alang-alang di situ, buaya banyak,” serunya, sambil memasang muka yang bergidik ngeri. Tiba-tiba istri Haji Tahir menyela pembicaraan. Katanya, kita tidak boleh berkata sombong karena penghuni di sana bisa mendengar. Saya mengangguk.
Haji Tahirlah yang mengusulkan untuk tetap memakai nama (H)Aji Kuning ketika wilayah ini akan dijadikan desa. Desa ini umurnya belum terlalu tua. Dari telusur ingatannya, desa mulai ramai oleh kebun pada tahun 1982. Mulanya, Sebatik ramai oleh kebun kakao—yang dalam dasawarsa terakhir disulap jadi hamparan sawit nun hijau. Sawit lebih menghasilkan uang daripada coklat, dan perawatannya lebih mudah dan murah.
***
Suatu siang, di tengah terik yang mengepung, saya bertemu Fadlan. Ia menceritakan kisahnya pindah dari Malaysia ke Indonesia. “Saya pernah bersekolah di Malaysia, darjah satu sampai enam.”
Saat pindah sekolah ke Indonesia, Fadlan terkejut dengan fasilitas sekolah yang seadanya. Fisik sekolah yang tidak berpagar dan tenaga pengajar yang kurang adalah dua hal yang membuatnya terhenyak. “Jauhlah (pendidikan Indonesia dan Malaysia) bagai langit dan bumi,” ujarnya sembari menggelengkan kepala, “kadang ada guru, kadang nggak ada guru.” Jika sekolah di Malaysia penuh disiplin, sekolah di Indonesia sebaliknya. Mau masuk tepat waktu atau terlambat tidak masalah; kadang muridnya yang terlambat, kadang juga gurunya.
“Hari ini pun, saya melihat sekolah itu secara fisik aja masih jauh, dengan apa yang saya rasakan tahun 1998 di Malaysia.”
Tapi masa-masa itu telah berlalu. Indonesia sudah berbenah, sedikit demi sedikit.
“Cuma ada satu hal yang belum berubah,” selanya menghentikan obrolan seputar pendidikan, “kepastian hukum bagi pedagang lintas batas.”
Sebagai perlintasan batas paling ramai, Aji Kuning adalah gerbang masuk barang-barang dari Malaysia untuk menunjang hidup warga perbatasan. Namun, perdagangan lintas negara ini secara resmi tidak dipayungi hukum, hanya sebatas kebijaksanaan dari pemerintah daerah dan aparat-aparat yang bertugas.
“Padahal dari dulu tuh kebutuhan pokok kita bergantung kepada produk-produk Malaysia. Sampai hari ini, yang saya lihat tidak hadir adalah pemerintah untuk melahirkan suatu produk kebijakan perdagangan lintas batas.” Harapan Fadlan—dan warga lainnya—adalah adanya peraturan yang mengatur perdagangan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.
“Kita harus berterima kasih pada pedagang-pedagang yang pemberani dan mempertaruhkan nyawa demi memenuhi kebutuhan pokok orang Sebatik. Mereka harus melewati berbagai lapis pos penjagaan untuk mengambil barang subsidi di Malaysia untuk di jual di sini,” ujar Arham, pada suatu tengah malam yang melenakan di Sebatik.
***
Hubungan yang terjalin di antara penduduk Indonesia dan Malaysia di Tawau, selama dan setelah masa konfrontasi “Ganyang Malaysia”, berbasis urusan perut. Malaysia punya kurs mata uang yang lebih tinggi dan jaminan hidup yang lebih wah bagi warga negaranya. Tak heran banyak orang Indonesia yang beralih menjadi warga negara Malaysia. Ini bukan soal nasionalisme.
“Tiada tempat di negara ini (Malaysia) yang mempunyai konsentrasi pekerja dari Indonesia lebih besar dari distrik ini, yang mana pada saat darurat pun, upah yang menarik di Tawau banyak menarik para pekerja, baik yang berbasis kontrak ataupun (menjadi) penduduk tetap. Gerakan ini (konfrontasi Indonesia-Malaysia) tentu saja telah berhenti. Namun, secara politik penduduk Tawau dari Indonesia terbukti pasif secara signifikan. Menurut angka yang baru-baru ini dikeluarkan oleh pemerintah Sabah, dari 323 orang yang mengajukan kewarganegaraan Malaysia, 212 orangnya merupakan penduduk Indonesia,” tulis Cyril Alliston dalam Threatened Paradise: North Borneo and Its People.
Kehidupan harus terus berjalan, dan urusan perut tak perlu mengenal nasionalisme, bukan?
Endang Rudiatin, dalam Malaydonesia: Integritas Ekonomi di Perbatasan Indonesia-Malaysia, menyebut Sebatik sebagai titik pertemuan antaretnis yang berhasil menciptakan hubungan komplementer Indonesia-Malaysia tidak lagi dalam tatanan pembedaan “kita” dan “mereka”. Yang terjadi adalah masyarakat yang bekerja sama untuk menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif.
Di titik perbatasan Aji Kuning, bendera Indonesia dan Malaysia saling bersisian. Berkibar terkirap angin sore yang datang dari timur. Pelabuhan Aji Kuning ramai oleh para penumpang. Barang-barang dari Malaysia bejajar, menunggu diangkat dari kapal. Beberapa tabung gas produksi Malaysia juga saling bertaut satu sama lain, yang kemudian siap diangkut untuk disebar ke seantero Sebatik. Aji Kuning adalah penyambung langsung interaksi Malaysia dan Indonesia, meski saat ini jalur itu statusnya hanyalah sekadar jalur tikus, mengingat kedua negara menempatkan satu gerbang keluar-masuk di Nunukan. Dari irisan sungai kecil itulah iring-iringan kehidupan bermula.
Di sisi lain desa, seorang kakek tua bersama segerombolan bocah ramai bermain domino. Tidak ada uang dalam permainan ini, hanya kelereng yang di mata para bocah adalah harta karun tak ternilai. Si kakek menakuti bocah-bocah itu, mengatakan bahwa saya adalah intel yang akan mengirim mereka ke Brunei. Sebagian lantas memandang dengan wajah suram ketakutan, takut dijual ke negeri orang.
“Warga Sebatik itu punya mindset yang maju karena mereka punya cermin. Cermin mereka adalah Tawau, yang di dalam benak mereka adalah kota yang maju,” jelas Wahyudi, membuka percakapan kami di kafe miliknya, di pinggir jalan Desa Sungai Pancang. Wahyudi adalah akademisi asal Sebatik, lulusan Universitas Pertahanan Republik Indonesia, yang fokus meneliti isu nasionalisme di tanah kelahirannya. Membandingkan Sebatik dengan Tawau ibarat membandingkan bulan dengan cahaya lampu.
“Tapi posisi Sebatik yang baru sekitar 50 tahun, dengan perkembangan saat ini, bagi saya sudah sangat cepat,” tambahnya.
Menurutnya, teori-teori nasionalisme dari kacamata Jakarta tidak bisa digunakan untuk meneropong rasa nasionalisme masyarakat perbatasan karena ada perbedaan cara hidup yang signifikan antara penduduk Sebatik dan Jakarta. Maraknya penggunaan kartu identitas negara ganda, penggunaan ringgit yang melejit, hingga pemakaian produk-produk Malaysia bisa jadi membuat orang-orang yang jauh dari kenyataan sehari-hari Sebatik bertanya sinis: di mana nasionalisme orang Sebatik?
“Kita tidak bisa melihat nasionalisme dari hal-hal tadi. Namun kita bisa melihat hal yang mendasar, karena bila kita melihat, praktik nasionalismenya itu lebih nyata daripada apa yang diteorikan tadi.”
Wahyudi lanjut bercerita. Di darat, ketika ada penyerobotan patok perbatasan, maka petani di desa-desalah yang akan maju lebih dulu. Di laut, para nelayan akan memasang bendera merah putih di kapalnya selama mereka berlayar di wilayah Ambalat.
“Apa yang mereka tunjukkan itu adalah bentuk dari nasionalisme.”
Bentuk nasionalisme yang tidak sekadar pepesan kosong, seperti yang keluar dari mulut-mulut birokrat yang terlalu sibuk menerangkan Indonesia harga mati tapi korupsi jalan terus. Negara selalu menuntut kesetiaan rakyatnya; apakah negara sudah memenuhi hak-hak warganya?
“Garuda di dadaku, harimau di perutku,” ucap seseorang berbadan gempal yang berseloroh memekakkan telinga.
Slogan dualisme patriotik semacam itu sudah jadi sehari-hari di Sebatik. Malam itu, saya bersama beberapa anak muda berdiskusi tentang bagaimanakah negara yang ideal itu. Berdiskusi soal negara dan kebangsaan di depan warung bisa jadi adalah praktik politik yang paling murni, paling mendasar. Kami membahas banyak hal: kemelut ekonomi, impian Sebatik menjadi daerah otorita, dan kembali dibukanya perlintasan resmi Sebatik-Tawau. Perlahan mata, kepala, dan tubuh saya kehabisan daya, malam semakin menusuk ke sumsum tulang belakang. Saya pamit tidur, tapi warung tetap semarak dengan obrolan-obrolan.
Dentuman suara biduan yang menggetarkan dada keluar dari pengeras suara besar yang disusun bertumpuk lima tingkat. Tenda hajatan yang digelar untuk menaungi para tamu yang berdatangan rupanya tak cukup menahan udara panas yang datang dari segala sisi. Bupati yang ditunggu tak kunjung datang. Warga yang sudah duduk mulai mengipaskan apa saja yang ada di tangannya untuk mengusir hawa panas dan rasa bosan. Acara peresmian pengaliran air PDAM ini adalah seremoni kecil kemenangan warga Aji Kuning. Seremoni sama dengan makan-makan. Saya ikut mengisi perut, diiringi nyanyian bupati, berupa lagu melayu yang membangkitkan memori tahun 90-an.
Warga bersorak. Bupati terus menyanyi. Dan saya akui bahwa suaranya cukup merdu untuk ukuran pejabat, mungkin dia sudah berlatih di rumahnya.
Cindailah mana tidak berkias
Jalinnya lalu entah beribu
Bagailah mana hendak berhias
Cerminku retak seribu
***
Saya menginjakkan kaki di Pelabuhan Tawau, yang dulu pernah saya lihat dari Pelabuhan Sungai Nyamuk. Bau anyir mendominasi pelabuhan, yang kebetulan berdekatan dengan Pasar Ikan Tanjung. Interiornya yang apik mengingatkan saya dengan penampakan bandar udara. Meski hanya sepelemparan batu saja dari Sebatik, saya memasuki dunia yang sama sekali berbeda. Begitu berbeda. Hanya karena garis batas imajiner yang membagi dua saudara serumpun ke dalam dua entitas yang berbeda. Dan tentu nasib yang tak sama pula.