“Seandainya Bapak punya IC gimana?” celetuk saya. “Mungkin aku tidak pigi sini. Tapi itulah Tuhan tunjukkan saya untuk di sini lah,”
Kapal merapat ke pelabuhan. Pelabuhan baru itu menyajikan dua pemandangan sekaligus: daratan Pulau Sebatik dan Kota Tawau di negara seberang, lengkap dengan kapal patroli dari kedua negara. Dari sandaran kapal, saya terus berjalan menyusuri titian nun panjang ke pelabuhan utama.
“Mau ke mana?” tanya seorang pengendara yang menghentikan laju motornya di hadapan saya. Saya agak bingung menentukan tujuan meskipun sudah sampai di Pulau Sebatik.
“Arah perbatasan saja, Pak,”ucap saya mengiyakan tawaran tumpangannya.
Dari bajunya, saya mengenali namanya. Endi, seorang UPT Pelabuhan Sungai Nyamuk. Dari pelabuhan, kami berkendara melalui keramaian hingga melewati kebun sawit yang menjejali kawasan sedikit penduduk.
Saya kemudian sampai di perbatasan Indonesia-Malaysia yang berada di Desa Aji Kuning. Desa ini menjadi destinasi yang cukup populer di kalangan pelancong dalam negeri karena adanya sebuah rumah yang dapurnya berada di Malaysia dan ruang tamunya di Indonesia. Perkampungan ini didominasi oleh rumah-rumah panggung khas orang Bugis; baik yang masih menggunakan arsitektur asli yang menggunakan kayu, atau yang sudah berubah sepenuhnya menggunakan bata dan tidak ada lagi kolong rumah yang memberi sekat antara lantai dan tanah.
Batas Indonesia-Malaysia lahir dari traktat Grenzen Borneo antara Hindia Belanda yang berkuasa di selatan dan Inggris yang bercokol di Borneo Utara. Atas dasar kolonialisasi, keduanya sepakat membagi kekuasaan di atas pulau terbesar ketiga di dunia ini. Inggris mendapat Serawak, Sabah, dan Brunei, sedang Hindia Belanda mendapat bekas kerajaan-kerajaan di Kalimantan bagian timur dan barat, berikut vasal-vasalnya. Sampai hari ini, batas-batas tersebut masih berlaku, termasuk di Sebatik.
Saya diterima oleh Arham, ketua BPD Desa Aji Kuning. Kami berjabat tangan. Saya bertanya kepadanya adakah sebuah tanah lapang tempat saya bisa mendirikan tenda. “Nggak usah pasang tenda, nanti tempat tinggal buat kamu saya sediakan,” timpalnya. Tawaran yang mustahil saya tolak. Saya diinapkan di sebuah rumah yang disediakan oleh Abu, pamannya. Rumah panggung khas Bugis yang kolongnya sudah dimodifikasi jadi bengkel dan kamar.
Kami mengobrol malam itu. Saya juga berkenalan dengan pemuda-pemuda Desa Aji Kuning yang mengurus karang taruna dan Bumdes. Malam pertama di Sebatik, saya habiskan untuk berbicara ini-itu diselingi gelak tawa. Tertawa, tertawa, dan bercerita. Desa Aji Kuning memang tidak seramai Desa Sungai Nyamuk. Jalanan hampir sama gelapnya dengan pekat malam. Pekat malam ini jualah yang membuat anjing yang menyebrang hampir tidak terlihat.
“Anjing liar?” tanya saya kepada Darman yang bercerita tentang dirinya yang baru saja mengalami kecelakaan karena menabrak anjing.
“Bukan, Mas. Itu anjing peliharaan warga juga buat jaga kebun,” tuturnya. Memelihara anjing adalah pilihan yang murah dan mudah untuk menjaga kebun daripada mengandalkan tenaga manusia. Isu yang beredar sekarang, akan diberlakukan aturan untuk mengurus anjing yang berkeliaran, saking banyaknya kecelakaan di Aji Kuning yang disebabkan oleh anjing yang melintas di gelap jalan yang tidak disorot lampu.
Pos Dalduk Aji Kuning
Jalan cor menghembuskan debu yang beterbangan tak keruan arah. Lalu lalang mobil dan motor silih berganti memijaki lintas batas kedua negara. Dua orang tentara yang sedang berjaga terlihat sedang menerangkan sesuatu kepada pelintas batas asal Malaysia. Perlintasan ini memang yang paling ramai dilalui, sebab itu pula pos perbatasan dekat dengan permukiman warga.
Umar, yang sudah berusia lebih dari setengah abad, berseloroh tentang kehidupan di negara tetangga yang tidak lebih baik dari negara sendiri.
“Kalau ada IC (Identitiy Card) macam senang di sana, tapi macam saya ini nda boleh, ya sudahlah.” Sambil menghela nafas, ia melanjutkan, “kalau di sana orang yang punya IC, kerja kasar pun mahal gajinya.”
IC atau Identity Card di Malaysia sama dengan KTP di Indonesia. Beberapa warga Sebatik mempunyai kewarganegaraan ganda untuk mempermudah urusan pulang-pergi, untuk urusan perdagangan—terutama di Tawau. Dengan IC, mereka bisa mendapat barang subsidi karena sudah terdaftar sebagai warga negara Malaysia. IC juga digunakan oleh mereka yang bekerja di perkebunan sawit untuk mendapatkan berbagai privelese, seperti tunjangan kerja dan perlakuan yang lebih baik.
Selama lebih dari 20 tahun, Umar bekerja di industri sawit sebagai pemetik buah dan mandor di sebuah perkebunan di Malaysia. Untuk hitungan masa silam, kerja di Malaysia itu menjanjikan upah yang besar, jauh lebih besar dibanding yang ditawarkan di Indonesia. Bagaimana sekarang?
“Lebih mahal sini (Indonesia) kalau dibandingkan pigi sana sekarang,” ucapnya.
Sebenarnya, Umar memiliki keinginan untuk memiliki IC, namun menurutnya yang beruntunglah yang bisa memiliki IC. “Seandainya Bapak punya IC gimana?” celetuk saya. “Mungkin aku tidak pigi sini. Tapi itulah Tuhan tunjukkan saya untuk di sini lah,” ucapnya setengah tertawa. Dulu sekitar tahun 1950-1980, pelintas batas yang telah bermukim lebih dari lima tahun dapat mengajukan diri untuk menjadi warga negara Malaysia. Namun, tidak semua bisa memperoleh IC—keberuntungan bermain di sini. Yang tidak dapat IC harus berlapang dada untuk kembali ke Indonesia.
Sekarang, penjagaan sudah semakin ketat, pelintas batas ilegal susah masuk—meski sebenarnya tetap bisa dengan siasat tertentu. Yang resmi pun hanya diberikan izin kerja sementara. Anak muda Sebatik tidak lagi melintas batas negara untuk cari kerja, meskipun negara tetangga tetap dipandang sebagai negara yang bisa memenuhi harapan hidup, terutama soal uang.
***
Salah satu kesulitan yang dirasakan masyarakat Aji Kuning adalah soal akses air. Tidak semua tanah di Aji Kuning mengandung air, dan yang banyak diharapkan adalah tetesan air dari langit. Kalau hujan tidak turun, terpaksa mereka harus beli air seharga 80 ribu rupiah per tandon. Kabar baiknya, baru-baru saja, air sudah bisa teralirkan ke rumah-rumah, setelah sekian puluh tahun mesti menadah hujan untuk mendapat air.
Seingat Umar, Menteri Pembangunan—entah siapa, dia tidak menyebutkan—pernah menjanjikan pembangunan di Sebatik menyaingi Tawau dalam kurun tiga tahun. Umar berseloroh tertawa dan bilang tidak mungkin untuk meniru Tawau dalam waktu sesingkat itu. “Buktinya saja sampai sekarang Sebatik begini-begini saja.” Dan hawa panas Sebatik mulai menghentikan pembicaraan kami.
Dalam balutan sengat panas yang menerjang tubuh, saya menghampiri pos penjagaan Aji Kuning yang dijaga dua orang angkatan darat. Air mineral asal Malaysia menjadi suguhan yang saya terima kali ini. “Di sini kalau masalah makanan dan bahan pokok, sering datang dari Malaysia. Kalau mau nunggu dari Nunukan atau Tarakan itu kejauhan,” ujar mereka.
“Kami di sini memeriksa keluar masuknya orang-orang. Karena banyak orang Sebatik Indonesia yang punya keluarga di Sebatik Malaysia, begitu pun sebaliknya. Yang perlu diawasi adalah barang-barang terlarang macam narkotika dan sabu,” terang salah seorang dari mereka yang akan berganti giliran jaga kala senja menjelang.
Ada hal-hal yang tidak semestinya dilakukan tapi diperbolehkan di tapal batas ini. Salah satunya penggunaan dua mata uang. Ketika saya hendak membeli sandal, si penjual menanyakan uang apa yang saya gunakan, ringgit atau rupiah. Penggunaan dua mata uang kerap kali jadi perbincangan di ranah nasional, dan pemerintah berusaha agar rupiah tidak kalah saing dengan ringgit di Sebatik.
Suatu malam, Abu dan Abdul Malik bercerita kepada saya tentang bagaimana mereka dahulu lebih kenal ringgit daripada rupiah. “Dulu itu orang di sini punya ringgit semua. Ketika krisis moneter terjadi, orang-orang sini malah tidak terdampak.” Kenangan akan ringgit ternyata lekat dengan ingatan tentang kemakmuran di masa suram 1998. Saat wilayah lain kolaps, Sebatik stabil.
“Jauh memang ketinggalan kita dari Malaysia, dari segi ekonomi atau apa pun,” timpal seorang lelaki bertubuh tambun yang sedang menunggu jemputan. “Kalau ringgit mau pigi rupiah mudah, kalau rupiah pigi ringgit itu susah.” Ia bercerita tentang ringgit yang lebih mudah orang terima karena nilai kursnya yang lebih tinggi dibanding rupiah. Para pengepul sawit akan menjual kemana mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak
“Kalau mahal di Indonesia, ya ke Indonesia. Kalau mahal di Malaysia, ya pigi Malaysia.”