“Saya dikejutkan desahan seorang perempuan dari kursi belakang. Jalan rusak dan bergelombang diiringi desah birahi tak berkesudahan. Semua penumpang diam tak bersuara, mungkin turut khusyuk mendengar rintihan kenikmatan tersebut.”
Kepala saya berkali-kali terantuk jendela Kijang Innova keluaran tahun 2011, yang melesat kencang bagai kuda pacu di lintasan. Berkali-kali pula mobil ini salip-menyalip dengan truk dan kendaraan lain di atas jalanan yang tak seberapa besar. Bau matahari, peluh yang menempel di baju, hingga debur napas yang mengandung nikotin silih berganti merasuki hidung saya. Perjalanan bakal lama, dan saya harus sabar berhimpit tubuh dengan penumpang lain di dalam mobil.
“Saya pernah di Tarakan satu tahun,” ucap seorang penumpang, setelah menanyakan tujuan saya. “Sekarang saya kerja di Malinau. Ini mau ke sana. Kerja alat berat,” tambahnya, menceritakan pengalaman hidup yang membawanya melintasi Sulawesi dan Kalimantan. Kami terlibat dialog yang panjang dan hangat, menunggu supir yang sering singgah mengambil barang titipan.
Saat tirai malam mulai menutup langit, jalanan jadi gelap. Sesekali cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk membikin jalanan terasa begitu terang, dan sesekali pula lampu jalanan yang temaram membantu penglihatan supir. Sisanya, hanya sorot lampu dari kendaraan lain saja yang menemani kami membelah trans-Kalimantan.
Di hening perjalanan, saya dikejutkan desahan seorang perempuan dari kursi belakang. Dua sejoli tampaknya sedang adu birahi di jok paling belakang, yang bersisian dengan tempat duduk saya. Saya sedikit memicingkan mata, mengintip apa yang terjadi. Jalan rusak dan bergelombang diiringi desah birahi tak berkesudahan. Semua penumpang diam tak bersuara, mungkin turut khusyuk mendengar rintihan kenikmatan tersebut.
Kalimantan—yang ditampilkan sebagai hutan belantara di brosur-brosur wisata—kian memantapkan diri dengan status rimba sawit raya. Nyaris tak ada petak tanah yang tak ditanami sawit. Betapa sawit telah menjadi tumbuhan nasional yang menghidupi (atau menyingkirkan—tergantung sudut pandang mana yang kita pakai) banyak orang.
“Anak saya kerja sawit semua. Yang pertama sudah punya 40 hektar, “ujar seorang penumpang yang lain, mengobrol dengan supir soal mana yang lebih menguntungkan, sawit atau karet. Saya mencuri dengar pembicaraan mereka dengan seksama.
Selang beberapa saat kemudian, barulah penampakan hutan rimba muncul di balik jendela. Saya akhirnya bisa melihat langsung pohon ulin yang tumbuh menjulang bak pencakar langit. Tapi, dari balik kedalaman hutan yang sama, saya mendengar bunyi lirih gergaji mesin yang menggema sampai ke ujung jalan.
Memasuki Berau, saya melihat koridor—sebutan tambang batu bara ilegal masyarakat—yang membabat habis hutan di kanan dan kiri jalan raya.
“Kalau saja yang menambang ini perusahaan, pasti LSM langsung turun. Karena ini masyarakat yang buat, jadinya ya gitu,” diiringi helaan putus asa dari seorang warga Berau yang ikut menaiki mobil ini. Tentu sulit menangkap masyarakat yang dibekingi orang-orang kaya di daerah itu. Lubang-lubang menganga bekas galian menimbulkan keresahan dalam pembicaraan di mobil. Berau, sebentar lagi mungkin akan bernasib naas seperti Batulicin yang kerap banjir.
***

Jalanan begitu lengang. Kendaraan yang lewat hampir bisa dihitung jari. Deru mesin kelotok meraung, membelah Sungai Kayan yang membagi Tanjung Selor dan Tanjung Palas menjadi dua bagian. Orang-orang bersantai di tepian siring, entah melambungkan lamunan ke langit atau sekadar mengosongkan pikiran. Yang jelas, lebih banyak orang di tepi sungai daripada di jalanan. Saya bertanya pada seorang ibu yang sedang menyapu jalan, bagaimana cara termudah sampai ke Tanjung Palas. “Pakai tambangan aja, murah cuman 5000,” katanya memberi saran, setelah melihat saya bolak-balik kebingungan.
Orang-orang mengantre menggunakan jasa tambangan, kapal kecil untuk mengangkut orang dari Tanjung Selor ke Tanjung Palas, atau pun sebaliknya. Inilah medium utama yang merekatkan kedua daratan, ketimbang jembatan yang jarak tempuhnya lebih jauh.
Saya berkunjung ke bekas istana Kesultanan Bulungan, yang sekarang jadi museum kecil; menampung peninggalan dan foto-foto kuno masa silam. Kenangan 1964 memang tidak terekam di ingatan Aini, namun kisah itu terus-menerus diceritakan sebagai pengingat bahwa kesultanan ini pernah ada—dan kemudian dihancurkan republik. Aini, masih dari lingkaran kerabat kesultanan, dipercaya mengurus museum dan segala rupa tinggalannya.
Saya melihat berbagai macam peninggalan: guci, pistol pucuk, keris, mahkota, ranjang. Tak luput pula meriam yang diberi kain kuning, corongnya menghadap ke arah sungai, seakan siaga mengawasi datangnya serangan dari musuh. Tapi, Kesultanan Bulungan sekarang hanyalah kenangan yang mematung di tepi zaman, yang dibangun ulang untuk menumbuhkan romansa masa lalu bahwa Bulungan pernah mendapatkan keistimewaan layaknya Yogyakarta.
Kapal cepat membelah nadi sungai kayan. Air sungai yang keruh terpercik dan pecah, menciptakan gelombang yang menghempas badan kapal. Kapal terus melaju dan mata saya terkatung-katung menahan kantuk. Di seberang, Tarakan siap menyambut lewat gedung-gedungnya yang menonjol dari laut. Saya tak menyangka, Tarakan yang hanya sebuah pulau kecil yang terpisah dari daratan besar Kalimantan, justru tumbuh pesat dalam semrawut pembangunan yang acakadut, mengingatkan saya akan kota-kota besar lainnya di Kalimantan. Dibanding kota-kota lain di wilayah Kalimantan Utara, Tarakan terlihat jauh lebih ‘berkembang’.
Pada masa kolonial Belanda, Baatavishe Petroleum Maatchapij masuk untuk mengeksplorasi, membangun, dan menduduki Tarakan sebagai kawasan strategis penghasil minyak. Hingga hari ini, produksi minyak Tarakan terus berlanjut di bawah kontrol BUMN, meski statusnya tak lagi sementereng dahulu.
Jalanan yang mengisi denyut Kota Tarakan sama seperti Jakarta; mobil-mobil berseliweran tanpa jeda, motor-motor ada dan tiada, dan persimpangan jalan sama ruwetnya. Sebagian ruas jalan lainnya terlihat lebih sepi, mungkin karena kota ini menarik garis lurus untuk melokalisir sejumlah titik keramaian. Saya menyusuri jengkal demi jengkal kota ini dalam peluh: melihat bekantan di hutan bakau dalam kota, berbincang dengan orang-orang tentang apa saja terkait Tarakan. Yang paling menarik bagi saya adalah pusat perbelanjaan Tarakan, yang memiliki predikat sebagai ‘mal tersepi di Indonesia’.
Tapi, Tarakan hanya persinggahan sementara. Ia titik tolak untuk mencapai Sebatik, pulau perbatasan. Pulau itu memisah-sambungkan dua entitas politik yang berbeda: sebelah selatan bersimpuh pada Indonesia, sebelah utara memilih Malaysia. Untuk menuju Sebatik, saya menumpang kapal cepat yang ditempeli poster calon wakil rakyat—maklum jelang tahun pemilu. Goyangan kapal membuat kepala saya berdenyut. Lambung saya berontak minta makan, sedang perjalanan masih jauh.
Mantap