Erupsi gunung berapi di Islandia itu membuat Rene menyadari bahwa gunung, benda-benda, dan aktor-aktor bukan manusia adalah subjek yang sepenuhnya aktif, ia dapat menentukan bagaimana pariwisata bekerja—atau tidak bekerja.
Akhir pekan baru saja berlalu di Watukarung. Sabtu-Minggu yang sibuk telah usai. Senin dan Selasa adalah hari libur warga desa; waktu di mana orang-orang mengambil jeda dan rehat dari kesibukan pariwisata akhir pekan, juga dari hiruk-pikuk yang ditimbulkan wisatawan dan knalpot kendaraannya.
Senin pagi dan siang, di Watukarung, halaman-halaman penginapan lokal dihiasi jemuran seprai, handuk, sarung bantal, dan lain sebagainya. Sambil bersepeda santai, saya mengamati seprai-seprai dan handuk-handuk itu, benda-benda pariwisata yang selama ini kerap terlupakan ketika kita terlalu sibuk menautkan pariwisata dengan konsepsi abstrak soal perencanaan, pembangunan dan pengelolaan.
Mengamati jemuran-jemuran itu, saya teringat pada beragam objek, benda, atau materialitas pariwisata lain yang selama ini telah memediasi praktik kultural kita dalam berwisata dan/atau menjamu wisatawan.
Benda-benda, yang representasional dan material
Hampir 20 tahun yang lalu, Michael Haldrup dan Jonas Larsen (2006) memulai artikelnya dengan kenyataan yang miris: “Meskipun wisatawan terus-menerus berinteraksi secara fisik dengan payung, sepatu bot, kacamata, alas berjemur, bangku, jalan setapak, pantai berpasir, cendera mata, peta, koper, mobil, kamera, dan banyak benda serta tempat fisik lain, kajian pariwisata selama ini telah gagal memahami betapa pentingnya materialitas dan benda dalam pariwisata modern”.
Benda-benda fisik dan aktor-aktor bukan manusia telah lama dianggap bukan sebagai subjek yang aktif, melainkan objek yang sepenuhnya pasif. Paling-paling, benda-benda pariwisata hanya dianggap penting sebagai penanda simbolis; kita tak peduli seutuhnya pada aspek fisik/material darinya, melainkan simbol apa yang diwakilinya. Menara Eiffel penting karena ia menyimbolkan Paris dan gagasan lain tentang Prancis, Gunung Rinjani memberi kita imajinasi tentang Pulau Lombok, Rumah Tongkonan akan membuat kita mengingat Tana Toraja dan/atau Sulawesi Selatan, dan gudeg seringkali dicampur nostalgia tentang Yogyakarta.
Fokus pada representasi yang dihasilkan sebuah benda, bukan material bendanya, membuat kita melupakan aspek fisik-material dari benda-benda itu. Dalam prosesnya kita membayangkan mereka sebagai ‘benda mati’ saja, yang sepenuhnya tak punya kehendak dan bisa sepenuhnya diatur oleh aktor-aktor manusia.
Rene van der Duim—dosen saya dulu saat sekolah di Wageningen University—pada suatu kuliah, mengakui bahwa dirinya dulu berpikir seperti itu. Sampai suatu saat, ketika hendak pulang dari Kenya menuju Belanda, pesawat yang seharusnya ditumpanginya tak bisa terbang karena sebuah gunung meletus di Islandia. Erupsi Eyjafjallajökull 2010 membuat banyak jadwal penerbangan batal, mungkin banyak rencana liburan juga gagal karenanya. Erupsi gunung berapi di Islandia itu membuat Rene menyadari bahwa gunung, benda-benda, dan aktor-aktor bukan manusia adalah subjek yang sepenuhnya aktif, ia dapat menentukan bagaimana pariwisata bekerja—atau tidak bekerja.
Melihat keju dan ransel bekerja
Ada banyak contoh bagaimana benda-benda pariwisata ‘bekerja’ (how things doing things). Walau topik-topik kuno seperti soal autentisitas, dampak pariwisata, atau tipologi wisatawan masih persisten dan dominan di kajian pariwisata, minat untuk meneliti materialitas mulai tumbuh pelan-pelan sejak tengah 2000-an. Fokus pada materialitas, objek fisik, benda, dan aktor bukan-manusia nyatanya memberi cara pandang—bahkan pijakan ontologis—baru dalam memahami pariwisata dan perjalanan.
Ada dua contoh yang ingin saya pakai di sini. Pertama soal keju. Di Zakopane, sebuah kota di kaki Pegunungan Tatra, Polandia, satu aktor pariwisata lokal mencuri perhatian Carina Ren (2011). Aktor itu bernama oscypek, sebuah keju, yang ada di mana-mana di Zakopane. Ren lalu ‘mengikuti’ si aktor, yang sekilas tampak “tak terlalu penting”—“toh pada akhirnya ia hanya keju”. Ren menemukan empat ‘cara kerja’ oscypek, yaitu sebagai ‘keju tradisional’, ‘keju pariwisata’, ‘keju modern’, dan ‘keju unik’. Melalui cara-cara kerja itu, oscypek sejatinya bermutasi, mulai dari awalnya diproduksi secara tradisional oleh gembala domba di gubuk-gubuk (bacowka) di gunung-gunung, lalu berubah jadi ‘keju pariwisata’ ketika dipajang di kios cendera mata dan kedai pinggir jalan di pusat kota Zakopane, lalu menjadi ‘keju modern’ ketika ditodong tuntutan soal higienitas dan keamanan makanan oleh otoritas Uni Eropa, dan lalu oscypek bekerja sebagai keju yang ‘unik’ untuk kepentingan politik budaya Polandia.
Dalam segenap proses itu, oscypek bergerak dari gubuk-gubuk gembala di pegunungan, ke tangan-tangan (dan mulut-mulut) wisatawan, ke pameran-pameran internasional di Eropa dan Amerika, bahkan hingga ke meja-meja birokrat di Brussels. Dari fokus sederhana ke satu jenis keju, Ren membuat kita memahami kompleksitas sebuah objek atau benda pariwisata. Ia tetap sebuah keju, tapi bukan sekadar keju lagi.
Sama halnya dengan ransel/backpack dalam artikel Neil Walsh dan Hazel Tucker (2009). Sudah terlalu banyak orang menguliti soal kultur backpacking dan persona/identitas backpacker. Tapi, backpack—yang darinya istilah backpacking muncul, pernahkah ia dibahas dengan serius? Walsh dan Tucker mengklaim bahwa ransel berperan besar membentuk gaya perjalanan dan kultur backpacking, serta identitas seorang backpacker. “Pada level mikro, ransel mengorganisir dunia backpacker. Ransel mengubah dan memungkinan sebuah pengalaman; secara nyata ransel memengaruhi seberapa jauh backpacker berpergian setiap harinya, berapa lama tinggal di suatu tempat, tempat-tempat seperti apa yang dikunjungi, jalan seperti apa yang dilalui, toko seperti apa yang dimasuki, penginapan seperti apa yang ditinggali, dan apa saja yang bisa dibawa di dalamnya,” kata mereka.
Selain simbol penting bagi backpacking dan backpacker, ransel secara material berkelindan dengan tubuh dan emosi backpacker. Misalnya, membawa ransel yang berat dalam waktu yang lama mengandung risiko fisiologis dan emosional tertentu. “Ketika aku memikul beban itu di punggungku, dan tali tas melilit pundakku, aku menjadi orang yang tak sabaran,” bunyi salah satu narasi otoetnografi dalam artikel. Singkatnya, studi soal ransel ini memberi kepekaan baru soal kehidupan sosial benda-benda dan betapa materialnya kehidupan sosial kita. “The material is the social and vice versa,” pungkas Walsh dan Tucker.
Memahami pariwisata secara sosio-material
Pendekatan sosio-material seperti itulah yang membuat saya tertegun ketika melihat jemuran handuk dan seprai di Watukarung, Senin siang itu. Bagaimana benda-benda sehari-hari ini ‘bekerja’ dalam konteks pariwisata? Tentu dari sana kita bisa saja membahas soal kebersihan, kenyamanan, higienitas, dan lain-lain. Saya juga jadi ingat cerita beberapa kawan yang punya usaha homestay selancar di Sumatra, bahwa salah satu modal paling awal untuk membikin homestay adalah kasur dan seprai. Betapa pentingnya benda-benda tersebut dalam memulai kewirausahaan pariwisata.
Menjadikan benda atau aktor bukan-manusia lain sebagai fokus atau titik berangkat dalam memahami pariwisata mungkin bisa menjadi pendekatan alternatif, yang mungkin akan membawa kita ke gagasan-gagasan yang segar. Amiria Henare dkk. (2007) menyebut pendekatan semacam itu ‘berpikir melalui benda-benda’ (thinking through things). Tapi, pertama-tama kita perlu sadar bahwa benda-benda adalah subjek yang aktif. Dari sana, kita jadi tahu bahwa benda-benda punya banyak cerita… dan cerita-cerita itulah yang akan menuntun kita ke pemahaman yang lebih utuh tentang pariwisata.