“Kita luput meletakkan keduanya dari sudut pandang anak-anak sebagai pelaku aktif. Mereka tidak diajak bicara. Orang-orang dewasa terus berteori dan memperdebatkan pro-kontra dari kegiatan tersebut.”
Perjalanan kali ini tidak terlalu ideal buat saya. Nafas mulai terengah-engah setelah satu jam pertama perjalanan. Kontur bukit yang naik-turun—dengan permukaan yang tersusun dari kombinasi batu kali dan tanah kering—serta cuaca yang agak panas menjadi tantangan. Untung saja hari itu tidak hujan.
Persiapan yang seadanya, kurangnya riset mengenai lokasi, serta kesibukan harian membuat fisik tidak terlalu siap untuk perjalanan ini. Namun, karena sudah di tengah perjalanan, tanggung rasanya untuk tidak diselesaikan. Akhirnya, saya terus berjalan dengan total perjalanan sekitar enam jam. Tentunya dengan banyak istirahat dan berhenti di sana-sini untuk mengambil nafas panjang.
***
Kami memulai perjalanan dari Stasiun Kalibata, transit di Stasiun Manggarai dan Tanah Abang, lalu menuju ke Rangkasbitung. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan menuju kampung Cakuem, Lebak. Tujuan kami hari itu adalah trekking menuju kampung Cibeo.
Sesampainya di kampung Cakuem, saya dan tiga orang teman beristirahat sejenak, mengisi perut sambil menyiapkan diri untuk trekking. Bagi masyarakat lokal, perjalanan biasanya ditempuh sekitar 3-4 jam, katanya. Beberapa penduduk Cibeo—terlihat dari pakaian khas suku mereka—pun ikut duduk-duduk di sekitar tempat kami bersiap-siap. Sebagian dari mereka adalah anak-anak kecil berusia 5-10 tahun.
Sebelum melakukan perjalanan, pemandu perjalanan menginformasikan pada para wisatawan bahwa mereka bisa meminta bantuan anak-anak lokal itu untuk membawakan tas mereka sampai ke kampung Cibeo. Sontak saya kaget dengan tawaran tersebut.
Benar saja, banyak wisatawan yang langsung memberikan tas mereka pada anak-anak tersebut dengan perjanjian upah berupa uang Rp 100 ribu untuk pergi dan pulang. Besaran uang ini dianggap sebagai standar yang biasa anak-anak dapatkan sebagai porter.
Saya terus bertanya-tanya dan menggerutu sepanjang perjalanan soal jasa membawakan tas ini. Bagaimana mungkin para wisatawan dewasa rela meminta anak-anak itu membawakan tas mereka. Dua orang anak yang sempat saya ajak bicara mengaku masih berusia lima dan delapan tahun. Pantas saja, beberapa tas yang mereka angkut bahkan lebih besar dari ukuran badan mereka dan teman-temannya.
Malah, anak-anak tersebut membawa lebih dari satu tas. Tiap orang membawa dua, tiga, bahkan empat potong tas. Mereka membawa pikulan yang terbuat dari kayu, dan menggantung tas sambil mengikatkan tali rafia di ujung tas tersebut. Katanya, itulah pekerjaan anak-anak di sana setiap kali ada wisatawan yang mengunjungi wilayahnya.
Jika berhenti pada faktor ekonomi, mungkin semua dimenangkan dengan adanya fenomena ini. Namun sayangnya, banyak juga yang menentang
Yang tua menjaja, yang muda bekerja
Topik mengenai pekerja anak sebenarnya bukan barang yang baru-baru amat di dunia pariwisata. Di berbagai destinasi wisata, anak-anak kecil yang turut berpartisipasi dapat ditemukan dengan mudah. Mereka menjajakan berbagai macam jasa, seperti melayani semir sepatu, berjualan makanan, mengambil kelapa, dan menjadi porter.
Dalam artikel “Child labour – An Ugly Face of Travel and Hospitality Industry”, Anupama Sharma dkk. meyakini dunia pariwisata secara natur memang memiliki banyak faktor penarik bagi anak-anak untuk bekerja. Mereka bisa bertemu orang baru dan merasa tempat tinggalnya menjadi ramai setelah sehari-hari hanya sepi.
Selain memberi kesenangan itu, bekerja di sektor pariwisata membantu si anak memenuhi kebutuhan jajan pribadi maupun kebutuhan pokok keluarganya.
Dalam konteks anak-anak Cibeo, salah satu warga yang berbincang dengan saya menjelaskan bahwa uang sangat diperlukan masyarakat di kampung itu. Sebab, mereka harus membeli beras, ikan, sayuran, mi instan, camilan, dan bahan konsumsi harian lainnya.
Kebutuhan tersebut memang tidak seluruhnya dipenuhi dari hasil pariwisata—mereka juga mengumpulkan madu hutan, berladang, dan menjual hasil panen ke kota. Namun, pariwisata memiliki potensi besar dalam mendongkrak ekonomi dan memperbaiki masa depan kampung itu. Akhirnya, kepala keluarga yang setuju berpartisipasi di dalam kegiatan pariwisata juga melibatkan anak-anak mereka. Sehingga, anak-anak Cibeo pun dapat beradaptasi dan bertahan hidup dengan sistem pariwisata yang kian menggiurkan.
Jika berhenti pada faktor ekonomi, mungkin semua dimenangkan dengan adanya fenomena ini. Namun sayangnya, banyak juga yang menentang. Kesempatan sekolah yang berkurang*, risiko kecelakaan kerja, kurangnya waktu bermain, pertumbuhan fisik dan mental yang tidak sesuai dengan usia menjadi beberapa alasan.
ILO dan UNICEF, dalam booklet “Pekerja Anak di Indonesia 2022”, secara gamblang mengategorikan anak berusia 5-12 tahun yang melakukan pekerjaan sebagai pekerja anak. Tidak peduli seberapa besar penghasilannya, seberapa lama waktu mereka bekerja, dan seberapa besar risiko pekerjaannya, anak pada kelompok usia tersebut sangat tidak direkomendasikan untuk bekerja. Apa pun pekerjaannya.
Lebih lanjut, dalam laporan “At Your Service: Combating Child Labour in Tourism Industry”, NUWHRAIN menjelaskan bahwa terkadang anak-anak menikmati dan merasa senang dengan pekerjaannya. Namun, di balik semua itu, pekerja anak tetap tidak bisa dibenarkan. Anak-anak dianggap tidak sadar dengan konsekuensi jangka panjang dari apa yang mereka lakukan di masa sekarang. Mereka meyakini, pada dasarnya hak anak anak adalah bermain, bukan bekerja.
Keterlibatan anak dalam pariwisata juga bisa menjadi sarana bagi orang tua untuk mewariskan pengetahuan, ingatan, tradisi, dan berbagai praktik kultural.
Terkadang, kesadaran mengenai pekerja anak—dengan jenis pekerjaan tertentu—memang agak samar dalam pandangan beberapa orang. Mungkin karena efek negatif tidak terlihat kasat mata secara langsung.
Teman saya sendiri sempat mempertanyakan, “Memangnya salah jika mereka bekerja? Toh, anak-anak ini memang mau melakukannya.” Atau, ada pula teman yang berpikir bahwa hal tersebut lumrah saja karena tujuannya baik, yakni membantu ekonomi keluarga. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa para wisatawan dengan entengnya memberikan tas mereka yang berat ke anak-anak Cibeo ini.
Saya pun bertanya-tanya mengenai “pakem” ini. Tidak jarang saya berbelanja di warung tradisional dan dilayani oleh anak-anak. Jika diperhatikan, sebenarnya mereka bukan bekerja penuh waktu sebagai penjaga warung, tetapi hanya menggantikan sementara peran orang tua yang berhalangan. Anak-anak dalam kasus ini mendapat pengalaman nyata untuk bekerja dari usia dini, malah bisa menjadi bekal bekerja di masa dewasa mereka. Apakah hal tersebut tetap tidak dibenarkan?
Dalam studi global mengenai anak dan pariwisata, sebenarnya terjadi diskursus panjang mengenai peran anak-anak di pariwisata. Peran anak-anak seringkali tidak dianggap dan dipandang sebelah mata. Mereka perlu diproteksi dan dilepaskan dari berbagai tanggung jawab kerja semata-mata untuk menjauhkan mereka dari status pekerja anak.
Bakas dalam “Tourism Analysis” menolak konvensi fundamental yang dianggap menihilkan konteks dari berbagai masyarakat dalam penentuan status pekerja anak. Toh, setiap kultur memiliki pandangan sendiri soal pelibatan anak dalam bekerja. Jenis pekerjaan juga tidak dapat disamaratakan karena memiliki risiko dan pengaruh yang berbeda-beda terhadap si anak.
Ia juga menjelaskan bahwa mengajarkan anak-anak untuk berperan serta dalam kegiatan pariwisata merupakan hal penting untuk pendidikan mereka. Kemampuan kewirausahaan dan bertahan hidup mereka akan terlatih saat berperan aktif di dunia kerja. Keterlibatan anak dalam pariwisata juga bisa menjadi sarana bagi orang tua untuk mewariskan pengetahuan, ingatan, tradisi, dan berbagai praktik kultural.
Perdebatan soal boleh atau tidaknya anak-anak bekerja tentu akan jadi perdebatan tanpa henti. Meski begitu, kembali pada kasus anak-anak Cibeo, saya khawatir pekerjaan porter memiliki risiko besar bagi kesehatan mereka di masa depan.
Ahli kesehatan anak Yamini Durani dalam tulisan “Backpack Safety” berpendapat beban yang terlalu berat pada anak-anak akan menimbulkan ketidakseimbangan otot yang menyebabkan risiko cedera. Risiko ini biasanya tidak dirasakan secara langsung, tetapi baru dialami saat anak-anak mulai beranjak dewasa. Contoh risiko lainnya adalah kelainan bentuk tulang belakang yang serius serta nyeri pada pundak dan punggung. Pada jangka panjang, gejala-gejala ini dapat memengaruhi kesehatan sistem saraf.
Pada akhirnya, seperti kata Antonia Canosa—peneliti yang fokus pada topik anak dan pariwisata—kita yang lebih dewasa terkadang lupa dan hanya fokus pada penelitian dan analisis tentang anak. Namun, kita luput meletakkan keduanya dari sudut pandang anak-anak sebagai pelaku aktif. Mereka tidak diajak bicara. Orang-orang dewasa terus berteori dan memperdebatkan pro-kontra dari kegiatan tersebut.
Bahkan, saya sendiri tidak terlalu banyak berbincang mengenai pandangan anak-anak Cibeo terhadap pekerjaannya. Meski begitu, keluhan mengenai beban yang berat dan pundak yang terasa sakit sempat saya tangkap beberapa kali sepanjang perjalanan ke kampung tersebut.
Ah sudahlah, saya juga tidak paham-paham amat. Semoga saja, praktik “bermain” anak-anak Cibeo sudah mengutamakan posisi anak-anak tersebut, bukan cuma racikan mereka yang dewasa saja.
*Di tempat yang saya datangi, anak-anak kecil tidak melakukan sekolah formal sesuai arahan adat istiadat di wilayah tersebut.
Referensi:
Bakas, F. (2018). The political Economy of Tourism: Chidren’s neglected role. Tourism analysis, 23(2): 215-225.
Durani, Y. (2023). Backpack Safety. Kidshealth.org
Golsdtein, J. (2020). CSR best practice for abolishing child labor in the travel and tourism industry. Denver journal of international law and policy, 44(4): 475-519.
NUWHRAIN., & ILO. (2000). At your service. Combating child labour in the tourism industry.
Sharma, A., Sukreja, S., & Sharma, A. (2012). Child Labour – An ugly face of travel and hospitality Industry. Journal of Business and Management, 4(1): 8-17.
UNICEF., BPS., & Bappenas. (2022). Pekerja anak di Indonesia 2022.